Selasa, 20 Desember 2011

Tempat Mencari Pahala

Pahala adalah hadiah yang diberikan Allah kepada manusia apabila ia lulus dari ujian yang dihadapinya. Ujian-ujian ini pada dasarnya terletak pada dua jalur, yaitu jalur hablum-minallah dan jalur hablum-minannas. Pada kedua jalur ini, Allah dan Rasul-Nya tellah menentukan “aturan main” bagaimana manusia itu harus bersikap. Misalnya saja, dalam jalur hablum-minallah manusia diwajibkan shalat; da dalam jalur hablum-minannas manusia diwajibkan berbuat baik terhadap sesamanya. Semua “aturan main” ini tertuang lengkap dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW. Barangsiapa yang dapat tetap patuh melaksanakan “aturan main” ini, dengan niat semata-mata karena Allah, maka ia disebut orang yang bertaqwa. Dan dia akan memperoleh pahala, yang kelak akan dirasakan kenikmatannya di akhirat nanti. Jadi dengan perkataan lain, lading tempat mencari pahala itu terletak pada jalur hablum minallah dan jalur hablum-minannas, karena pada dua jalur inilah Allah menguji ketaatan manusia mematuhi aturan-aturan yang ditentukan-Nya dalam Al-Qur’an dan Hadits. Allah melengkapi manusia dengan mata, telinga, dan hati bukan tanpa tujuan. “perlengkapan” ini merupakan sarana bagi Allah untuk menguji manusia, apakah dalam setiap situasi dan kondisi -baik atau pun buruk- ia mampu tetap taat mengikuti “aturan main” yang sudah ditetapkan-Nya atau tidak. Simaklah baik-baik Surat Al-Insaan: 2, 3 berikut: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (Al-Insaan: 2, 3) Supir ugal-ugalan di jalan raya, atasan yang menjengkelkan, kolega yang picik, atau pun teman yang menyebalkan, ini semua terjadi karena Allah melengkapi kita dengan mata, telinga, dan hati. Oleh karena itu, orang-orang negatif ini harus dipandang sebagai ujian Allah pada jalur hablum-minannas. Apabila orang-orang ini dapat kita hadapi sesuai dengan tuntunan yang diberikan-Nya melalui Rasul-Nya, maka berarti kita lulus. Sebaliknya, bila mereka itu kita hadapi dengan emosi atau nafsu, maka berarti kita gagal. Hendaklah kita senantiasa mengingat pengalaman para bijak, “Kepuasan sejati bukanlah menuruti hawa nafsu, tetapi kepuasan sejati adalah keberhasilan menahan diri untuk tidak mengikuti hawa nafsu.“ Dengan demikian, dapatlah dimengerti, bahwa semua masalah, baik itu masalah hubungan dengan Allah (seperti misalnya rasa malas mendirikan shalat), maupun masalah hubungan dengan manusia (misalnya menghadapi orang yang menyebalkan), pada hakikatnya adalah hendak menguji kita, mampu atau tidak untuk bersikap sesuai dengan kehendak Allah dan Rasulullah SAW. Bila ujian ini berhasilkita atasi, artinya kita tetap taat bertindak menurut ketentuan Al-Qur’an dan hadits dengan niat “lillahi ta’ala”, maka tindakan kita itu dikategorikan sebagai amal saleh, yang kelak akan diganjar dengan pahala. Dengan demikian, semakin banyak amal saleh yang kita lakukan, maka semakin besar kemungkinan kita untuk masuk ke dalam surga. Lihatlah penegasan Allah dalam Al-Qur’an berikut ini: Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh baik ia laki-laki maupun perempuan sedangkan ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun. (An-Nisaa: 124) Dan surga itu diberikan kepada kamu berdasarkan amal yang telah kamu kerjakan. (Az-Zukhruf: 72) Sesungguhnya orang-orang yag beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal. Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah daripadanya. (Al-Kahfi: 107, 108) Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah:82) Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga …… (An-Nisaa: 57) Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. (Al-A’raaf: 42) Dengan memahami hal di atas, akan dapat mencegah Nanda tertipu dan terlena mengikuti emosi atau pikiran negatif, sehingga tidak akan menyimpang dari aturan main yang ditetapkan-Nya. Dan insya Allah Nanda tidak akan mengalami stress atau pun menjadi pendendam. Adapun salah satu kiat untuk mengatasi kecenderungan hati pada hal-hal yang negatif, adalah dengan mengendalikan mata. Bila kita renungkan, mata itu pada hakikatnya adalah hanya alat (scanner) yang memasukkan informasi ke dalam hati. Informasi yang masuk ke dalam hati ini, akan menimbulkan kesan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, ada seorang penderita penyakit kusta. Bila yang difokuskan oleh mata itu adalah penyekitnya, maka niscaya hati akan niscaya hati akan memunculkan kesan jijik. Tetapi bila yang difokuskan oleh mata segi manusiawinya, maka yang akan timbul adalah rasa iba. Dikisahkan bahwa nabi Isa AS. ketika berjalan dengan para muridnya, pernah menemukan bangkai seekor anjing. Para muridnya serentak menutup hidung sambil menunjukkan rasa jijiknya. Namun nabi Isa AS. tersenyum seolah-olah ia tidak melihat ada bangkai di hadapannya. Beliau berkata, “Coba lihat giginya, betapa putihnya!” Inti pelajaran yang diberikan oleh nabi Isa AS. itu ialah, bila mata dapat dikendalikan hanya untuk melihat kejadian dari segi-segi positifnya saja, maka niscaya hati tidak akan memunculkan kesan negatif. Kita dapat menggunakan “ilmu” nabi Isa tersebut untuk meredam rasa iri hati yang kadang-kadang muncul secara spontan ketika mendenagr ada teman kita yang lebih sukses atau lebih kaya dari kita. Caranya yaitu dengan tidak memandang pada pangkat atau harta yang dimilikinya, tetapi dengan mengingat pada kenyataan, bahwa soal rezeki itu memang dibuat Allah berbeda-beda. Hal ini dilakukan-Nya semata-mata untuk menguji manusia. ….. Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. (Al-An’am: 155) Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (An-Nisaa’: 32) Nabi Muhammad SAW pun tampaknya sangat menyadari betapa beratnya beban orang yang dititipi harta yang banyak. Hal ini tampak pada perilaku hidupnya yang terkenal sederhana. Pada salah satu haditsnya diriwayatkan: Rasulullah SAW bersabda : “Tuhanku telah menawarkan kepadaku untuk menjadikan lapangan di kota Mekah menjadi emas. Aku berkata, “Jangan Engkau jadikan emas wahai Tuhan! Tetapi cukuplah bagiku merasa kenyang sehari, lapar sehari. Apabila aku lapar, maka aku dapat menghadap dan mengingat-Mu, dan ketika aku kenyang aku dapat bersyukur memuji-Mu.” (HR. Ahmad & Tarmidzi) Sesungguhnya Allah telah melihat kepada rupa dan hartamu, tetapi Allah melihat kepada hati dan amalmu. (HR. Muslim) Penulis: Hamba Allah SWT

Alat yang Diperlukan untuk Mencari Bekal 2

Dari uraian terdahulu, tentu Nanda sekarang mengerti, bahwa kehidupan di dunia ini haruslah dijadikan arena untuk mengumpulkan pahala. Mengumpulkan pahala tidaklah mudah. Diperlukan perjuangan lahir dan batin untuk melawan godaan nafsu dan setan yang menyesatkan. Untungnya Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang melengkapi kita dengan “alat” yang dapat memudahkan pengumpulan bekal akhirat ini. Alat yang dimaksud adalah seluruh fasilitas yang kita miliki, yaitu dapat berupa harta benda, keluarga, pekerjaan, dan lain-lain. Fasilitas ini tentu saja tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus kita cari dengan gigih. Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu dan carilah karunia Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Al-Jumu’ah:10) Bersegeralah kamu mencari rezeki, dan berusahalah mencari keperluan hidup, maka sesungguhnya berpagi-pagi mencari rezeki itu adalah berkat dan keberuntungan. (Riwayat Ibnu ‘Ady dari Aisyah) Seluruh fasilitas yang kita miliki, pada hakikatnya adalah hanya sarana untuk kelancaran bertaqwa. Dengan demikian, semakin banyak fasilitas yang kita miliki, maka kualitas taqwa kita pun tentunya harus semakin lebih tinggi. Dengan memiliki banyak uang misalnya, memudahkan kita bersedekah, menolong orang susah, menyantuni anak yatim, membahagiakan orang tua, melaksanakan ibadah haji, dan lain sebagainya. Dengan memiliki rumah yang asri, taqwa dapat kita jalankan dengan baik. Bagaimana dapat menghasilkan taqwa yang baik kalau kita tinggal di rumah yang sumpek? Dengan memiliki kendaraan, maka kita tidak perlu mengeluarkan banyak energi atau pun naik bis yang penuh sesak. Dengan demikian badan kita tetap segar sampai di tujuan. Bagaimana dapat shalat dengan baik kalau badan dan pikiran kita lelah? Pekerjaan yang kita miliki, termasuk fasilitas untuk melancarkan taqwa juga. Bila kita tidak memiliki pekerjaan atau tiba-tiba dipecat, maka semangat hidup dapat turun, frustasi dan depresi mental pasti terjadi. Bagaimana dengan kondisi seperti ini dapat diharapkan menghasilkan taqwa yang berkualitas baik? Pangkat atau kedudukan yang dimiliki juga untuk mempermudah bertaqwa. Dengan pangkat yang tinggi,maka akan memudahkan menghasilkan kualitas taqwa yang lebih baik dibandingkan dengan pegawai rendahan. Keluarga (suami/istri dan anak) saqinah yang dimiliki, itu pun merupakan fasilitas untuk melaksanakan taqwa. Mereka dapat menjadi pelipur lara yang membuat hati menjadi tenteram. Dengan hati yang tenteram tentu akan lebih mudah untuk melaksanakan taqwa. Bila kita sedang diserang penyakit malas ataupun merasa jenuh dalam bertaqwa, maka renungkanlah sejenak akan tujuan hidup kita di dunia, lalu gunakan fasilitas yang kita miliki untuk mengusir kemalasan atau kejenuhan itu. Misalnya bercengkrama dengan keluarga, atau pun pergi ke tempat-tempat hiburan yang dapat menghilangkan perasaan itu. Jadi jelaslah, fasilitas atau materi yang kita miliki itu gunanya hanya untuk menunjang kelancaran pelaksanaan taqwa. Bila kita telah menghayati hal ini, maka insya Allah kita tidak akan silau oleh materi atau pun kedudukan. Karena sesungguhnya, semua itu dititipkan Allah kepada kita semata-mata sebagai alat untuk meningkatkan ketaqwaan saja. Penulis: Hamba Allah SWT

Alat yang Diperlukan untuk Mencari Bekal

Allah menciptakan surga dan neraka, yang kelak akan diisi oleh manusia. Di mana nanti kita berada -surga atau neraka- akan ditentukan melalui proses kompetisi yang panjang selama hidup di dunia; yaitu kompetisi dalam mengumpulkan pahala. Kompetisi ini berakhir pada waktu kita mati, karena tidak ada kesempatan pengumpulan pahala lagi setelah kita mati. Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan bagi manusia, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (Al Kahfi:7) Seseorang yang berhasil mengumpulkan pahala yang banyak, tempatnya kelak adalah di surga. Sedangkan bagi yang lalai, tidak diragukan lagi, ia akan berada di tempat sebaliknya, yaitu neraka. Jadi, surga adalah merupakan puncak hadiah yang akan diraih oleh manusia. Dan untuk mendapatkan hadiah puncak ini, tentu saja tidaklah mudah. Diperlukan perjuangan yang sungguh-sungguh, karena Allah akan terus menerus menguji keuletan kita dalam mematuhi “aturan main” yang dibuat-Nya. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan: ‘kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? (Al-Ankabuut: 2) Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. (Al-Anbiya’:35) Rasulullah SAW Pun memperingatkan kita: Dunia itu adalah nerakanya orang mukmin dan surganya orang kafir. Surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disukai, dan neraka itu dikelilingi oleh hal-hal yang menyenangkan (nafsu). Bentuk ujian Allah itu bermacam-macam. Hal ini adalah wajar, mengingat hadiahnya pun luar biasa, yaitu hidup abadi dalam kebahagiaan di surga. Ujian terberat yang dirasakan oleh kebanyakan orang, umunya adalah yang berkaitan dengan harta atau pangkat. Harta atau pangkat dapat dengan mudah membuat manusia terbius, terlupa akan tujuan hidupnya di dunia. Harta yang seharusnya digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan ketaatan pada aturan main-Nya, terbuai justru digunakan untuk melanggar ‘aturan main’ itu (!). dalam hal ini sayidina Ali r.a. berwasiat, ‘Hati-hatilah terhadap hartamu, karena ia dapat menjadi bahan utama pelampiasan hawa nafsu!” [ "... Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami dan jangan Engkau jadikan dunia di hati kami"] Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anak kamu itu hanyalah sebagai cobaan ….. (Al-Anfaal: 28) ….. Dan Kami coba mereka dengan nikmat yang baik-baik dan bencana yang buruk-buruk. (Al-A’raaf: 168) Untuk dapat mengatasi berbagai macam ujian Allah ini, Nanda harus mempunyai bekal motivasi yang kuat. Karena hanya denagn motivasi yang kuat, akan tercipta semangat yang hebat. Dan dengan semangat yang hebat, segala godaan yang berasal dari nafsu dan setan yang gila pun akan dapat ditaklukkan. Ayat-ayat berikut ini dapat dijadikan sebagai bekal untuk motivasi: Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permaianan dan senda gurau ….. (Muhammad: 36) Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk kedalam kubur. (At-Takaatsur: 1,2) Maka janganlah harta benda dan anak-anak, mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir. (At-Taubah: 55) Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. ……… Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (Hadiid: 20) Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenar-benarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (Al-Ankabuut: 64) Sesungguhnya barangsiapa datang kepada Rabbnya dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya mereka jahanam. Ia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. (Thaha: 74) Menurut Imam Ghazaly. Kelak semua manusia akan melintasi jembatan yang di bawahnya terdapat neraka. Jembatan ini dikenal dengan sebutan shiratha’l-mustaqim. Kelak bakal ada yang melewatinya secepat kilat, ada juga yang berlalu seperti angina atau sekencang larinya kuda, dan ada pula yang secepat terbangnya burung. Namun di samping itu, ada juga yang berjalan biasa atau yang merangkak hingga hangus menjadi arang. Bahkan ada yang tersandung sehingga terjatuh ke dalam neraka. Perbedaan cara ini dikarenakan perbedaan sikap hidup selama di dunia, yaitu apakah selalu taat, atau sering membangkang pada aturan main-Nya. Shiratha’l mustaqim bukanlah jembatan seperti di dunia yang dapat ditempuh dengan kekuatan fisik atau kaki, tetapi jembatan ini hanya dapat diseberangi dengan kekuatan hati. Hati yang selalu membangkang ibarat sepasang kaki yang lumpuh (pincang), sedangkan hati yang selalu taat pada aturan main-Nya ibarat sepasang kaki seorang pelari ulung. Penulis: Hamba Allah

Kehidupan Dunia Adalah Kesenangan yang Menipu

Pada suatu waktu. Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik datang ke Madinah. Beliau ingin bertemu dengan Abu Hazim, yaitu satu-satunya sahabat Rasulullah saw. Yang masih hidup. Kepada Abu Hazim, Khalifah menanyakan tentang bagaimana keadaan seseorang itu pada waktu ia akan meninggal dunia. Maka Abu Hazim pun berkata : “Keadaan orang yang akan meninggal dunia itu ada dua macam. Pertama, seperti perantau yang dipanggil pulang ke kampong halamannya untuk menyaksikan hasil kirimannya yang sudah dibuatkan rumah yang bagus dengan taman yang indah. Foto mengenai semuanya itu telah dikirimkan kepadanya sebelum dia berangkat. Kita dapat bayangkan bagaimana sukacitanya perasaan sang perantau, tentu ia ingin segera mempercepat kepulangannya itu. Apalagi dikhabarkan pula kepadanya, bahwa kedatangannya nanti akan disambut oleh masyarakat dengan riang gembira sebagai perantau yang berhasil. Adapun keadaan yang kedua, adalah seperti penjahat yang lari dari penjara kemudian dia tertangkap kembali. Ia akan diseret, disiksa, dan dilemparkan dengan kejam ke tempatnya semula. Dapat dibayangkan, betapa takut dan ngerinya perasaan orang itu.” Mendengar penjelasan Abu Hazim itu, kontan Khalifah menangis tersedu-sedu sambil berdoa dengan syahdu : ‘Ya Allah ! Janganlah Engkau jadikan aku di waktu kembali kepada-Mu seperti layaknya seorang penjahat yang melarikan diri kemudia tertangkap kembali’. Kelompok pertama, menggambarkan orang-orang yang meyakini bahwa suatu waktu mereka akan kembali kepada Allah, mereka berusaha sekuat tenaga menyiapkan bekal yang banyak untuk perjalanan yang amat jauh di alam akhirat. Bekal itu ialah amal saleh dalam jalur hablum-minallah dan jalur hablum-minannas. Kelompok kedua, mewakili orang-orang yang lalai menyiapkan perbekalan, umur dihabiskannya untuk memenuhi kepuasan hawa nafsu belaka. Mereka gigih mencari fasilitas demi memuaskan kebutuhan nafsu, seperti foya-foya dan mengumbar nafsu syahwat, memiliki rumah seperti istana dan mobil-mobil mewah yang kesemuanya itu hanya untuk prestise saja. Mereka mengukur kesuksesan hidup di dunia ini dari kehebatan fasilitas atau materi yang mereka miliki. Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (Al-Baqarah: 212) Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafir pun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (Al-Baqarah: 126) Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar. (An-Nuur:39) Penulis: Hamba Allah SWT

Jumat, 16 Desember 2011

Aku Ingin Menikah, Tapi...

Pernikahan, adalah momen penting bagi setiap orang. Termasuk juga bagiku. Setelah sekian lama, aku berharap kejadian sakral itu segera terjadi dalam hidupku. Aku benar- benar ingin menikah, tapi... Aku belum bisa memantaskan diriku dengan keikhlasan karena Allah, untuk sebuah pengabdian kepada seorang laki- laki. Ya, laki- laki yang nantinya akan menjadi suamiku. Semua karena masih besarnya egoku, dan susahnya diriku, bahkan untuk sekedar menyenangkan orang lain. Yang ada malah, aku ingin selalu dimanjakan dan disenangkan. Tak ada istilah kemakluman bagiku atas diri orang lain. Karena itu sungguh sangatlah sulit untuk ku lakukan. Tidak ada istilah `kita` dalam hidupku, yang ada adalah, kamu dan aku. Aku ingin menikah, tapi... aku belum bisa dan belum terbiasa untuk berbagi. Bagiku, semua milikku adalah milikku, dan menurutku orang lainpun harus berusaha sendiri untuk mendapatkan sesuatu yang kemudian akan menjadi milik mereka. Aku ingin menikah, tapi...aku belum bisa bersabar. Aku terbiasa mengumbar emosiku atas apapun yang aku mau dan yang aku suka. Yang aku mau adalah, justru orang lain bersabar atas apa adanya aku. Yang aku mau adalah, orang lain selalu membenarkan apapun pendapatku, serta menurutinya. Aku ingin menikah, Tapi... aku belum bisa bersikap lembut. Buatku, lembut adalah lemah. Dan menurutku, wanita lembut adalah identik dengan ketidak mampuan mereka untuk melawan dan hanya sekedar menuruti keinginan orang lain. Aku ingin menikah, tapi...aku adalah pribadi yang susah dipercaya. Bagiku kejelekan siapapun, kecuali diriku sendiri adalah sesuatu yang enak untuk dibicarakan dan bagiku itu adalah hiburan. Kadang aku bertanya pada diri sendiri, lalu bagaimana jika nanti suamiku memiliki kekurangan yang jelas- jelas aku akan tahu.. entahlah, yang aku tahu aku hanya ingin menikah. Aku ingin menikah, Tapi aku belum bisa tampil indah bagi orang lain. Menurutku, orang lain harus menerima apa adanya aku. Jika mereka tak menyukainya, itu hak mereka dan bukan urusanku. Dalam pikiranku, kritik adalah tuntutan orang lain atas aku, dan sama sekali aku tidak suka itu. Aku ingin menikah, tapi aku tak tahu atas niatan apa aku ingin menikah. Yang aku tahu, aku hanya membutuhkan seseorang yang akan mendampingi aku. Paling tidak supaya aku tidak mendapat julukan `tidak laku`.. saja. Dan aku tidak mau diribetkan dengan rentetan tuntutan dan kewajiban dari sebuah pernikahan. Yang aku tahu, aku hanya ingin menikah. Aku ingin menikah, tapi...mungkin sebaiknya aku bertanya kepada diriku sendiri dahulu, Aku memang ingin menikah, tapi apakah aku sudah benar- benar mempersiapkan diri untuk menikah? (Syahidah/Voa-Islam.com)