Senin, 31 Mei 2010

PT. YOKOGAWA MANUFACTURING BATAM

PT. YOKOGAWA MANUFACTURING BATAM sebuah perusahaan berlokasi di Kawasan Industri Batamindo (Pulau Batam), saat ini membutuhkan tenaga kerja sebagai Tecnician dengan syarat sebagai berikut :
1. Technician Tooling
• Sehat jasmani
• Lulusan D3 Mesin (diutamakan fresh graduate)
• Pria Singel, umur 22-25 th.

2. Technician SMT
• Sehat jasmani
• Lulusan D3 Elektronika/ Mekatronika (diutamakan fresh graduate)
• Pria Singel, umur 22-25 th.

3. Technician Maintenance
• Sehat jasmani
• Lulusan D3 Elektro (diutamakan fresh graduate)
• Pria Singel, umur 22-25 th.

Hubungan kerja : Sistem kontrak 2 tahun.
Fasilitas :
Biaya dan transportasi ke Batam ditanggung perusahaan.
Tempat tinggal/ Dormitory
Gaji Negosiasi

Syarat administrasi :
Surat lamaran, CV, Kartu Kuning, SKCK, FC KTP, FC Ijazah dan transkrip nilai, FC akta kelahiran, FC Kartu Keluarga, Surat Ijin Orang Tua, 2 lembar Pas foto berwarna ukuran 3 x 4 (baju putih dengan latar belakang warna merah).
Berkas lamaran dimasukkan dalam stopmap warna merah. Dokumen asli (KTP, ijazah, transkrip nilai) harap dibawa saat seleksi yang direncanakan insyaallah tanggal 10 Juni 2010.

Bagi yang berminat dapat mendaftarkan diri di BKK FT UNY paling lambat Selasa, 08 Juni 2010 jam 12.00 WIB.

Keutamaan Tauhid

Kaum muslimin yang semoga dirahmati oleh Allah, tatkala Allah memerintahkan sesuatu kepada kita maka Allah tidak semata-mata memerintahkan begitu saja, namun agar kita antusias untuk melaksanakan perintah-Nya maka Allah memberikan iming-iming kepada kita. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa perintah yang paling agung yang Allah wajibkan kepada seluruh manusia adalah perintah untuk mentauhidkan Allah yaitu agar manusia hanya beribadah kepada Allah semata. Oleh Karena itulah Allah memberikan iming-iming yang tidak tanggung-tanggung lagi bagi orang yang melaksanakannya. Lalu apakah iming-iming tersebut? Marilah kita simak pembahasan berikut ini.

Di antara keutamaan tauhid adalah:

Orang yang mentauhidkan Allah akan mendapatkan ketenangan serta hidayah

Baik hidayah di dunia berupa ilmu serta taufiq untuk mengamalkan ilmu tersebut maupun hidayah di akhirat yaitu petunjuk untuk menuju surga. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala, “orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al An’am: 82) Ibnu Mas’ud mengatakan, “Ketika ayat ini turun, terasa beratlah di hati para sahabat, mereka mengatakan siapakah di antara kita yang tidak pernah menzalimi dirinya sendiri (mis. berbuat maksiat -pent), maka Rasulullah bersabda, “Tidak demikian, akan tetapi yang dimaksud (dengan kezaliman pada ayat tersebut) adalah kesyirikan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Lukman kepada anaknya, “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar” (QS Lukman: 13).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syirik disebut kezaliman karena orang yang melakukan syirik telah menujukan ibadah kepada sesuatau yang tidak berhak mendapatkannya. Ibadah adalah hak Allah semata, tidak pantas ditujukan kepada makhluk, meskipun kepada Nabi ataupun malaikat, lebih-lebih kepada jin atau arwah orang fasik.

Macam-macam Kezaliman:
Kezaliman yang paling besar yaitu menyekutukan Allah (Syirik),
Kezaliman seseorang terhadap dirinya sendiri yaitu bisa berupa maksiat atau tidak memberikan hak-hak dirinya sendiri, misalnya menyiksa diri sendiri dengan aksi mogok makan dan lain-lain,
Kezaliman seseorang terhadap orang lain, misalnya mengganggu ketenangan orang lain, mencuri harta orang lain, menganiaya orang lain dan lain-lain.

Seberapa besarkah ketenteraman dan hidayah yang didapat oleh orang yang tidak melakukan Kezaliman? Jika keimanan seseorang sempurna dan tidak tercampuri oleh maksiat maka ia akan mendapat ketenteraman yang mutlak/sempurna, dan jika keimanan tersebut tidak sempurna maka rasa aman yang ia dapatkan juga tidak sempurna. Sebagai contoh orang yang melakukan dosa besar (di bawah kesyirikan) maka ia tetap mendapat rasa aman dari ancaman kekal di neraka karena dosa besar tidak menyebabkan seseorang kekal di neraka akan tetapi ia tetap tidak merasa aman dari ancaman azab di neraka meskipun tidak kekal.

Orang yang bertauhid pasti akan masuk surga

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bersyahadat bahwa: tidak ada yang berhak untuk disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu baginya, Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, Isa bin Maryam adalah hamba dan utusan-Nya serta kalimat yang Dia sampaikan pada Maryam serta ruh dari-Nya (yaitu ruh ciptaan-Nya, pent), surga adalah benar adanya, neraka adalah benar adanya maka Allah pasti memasukkannya ke surga betapapun amalan yang telah ia perbuat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Apakah yang dimaksud dengan bersyahadat?

Syahadat adalah persaksian yang disertai pengucapan dengan lisan, keyakinan dalam hati serta pembuktian dengan amalan badan. Jika anda bertanya kenapa harus terpenuhi tiga hal tersebut untuk disebut sebagai syahadat yang benar? Maka, sebagaimana kita ketahui, bukankah orang-orang munafik di zaman Nabi dulu juga mengucapkan syahadat, akan tetapi syahadat mereka tidak bermanfaat, bahkan mereka kelak akan berada di kerak neraka. Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka” (QS. An Nisa:145). Adapun tentang syahadat mereka, maka Allah mengisahkannya di dalam al Qur’an sebagai berikut, “ketika orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Namun pada kelanjutan ayat, Allah justru mengingkari syahadat mereka serta membongkar keadaan mereka yang sebenarnya, Allah berfirman yang artinya, “sedangkan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al Munafiqun : 1)

Jika kita tilik, kenapa syahadat orang munafik tidak diterima maka akan kita dapatkan dua hal yang menyebabkan hal tersebut:
Syahadat mereka tidak diiringi dengan keyakinan di dalam hati atau hanya sekedar di mulut mereka belaka,
Syahadat mereka tidak diiringi dengan amalan anggota badan, di mana amalan merupakan bukti benarnya syahadat seseorang.

Orang yang bertauhid akan terbebas dari azab dan api neraka

Yang dimaksud terbebas ada dua jenis, yaitu:
Terbebas dalam arti tidak pernah masuk neraka sama sekali,
Terbebas dalam arti dikeluarkan dari neraka setelah dimasukkan ke dalamnya selama beberapa waktu.

Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Muadz bin Jabal, ”Wahai Muadz, tahukah kamu apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau pun bersabda, “Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah supaya mereka beribadah kepada-Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya.” Beliau bersabda lagi, “Apakah kamu tahu apakah hak mereka jika mereka memenuhi hak Allah?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Allah tidak akan mengadzab mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan (masuk) neraka bagi orang yang mengucapkan “laa ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) dengan mengharap (pahala melihat) wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa yang dimaksud dengan hadits ini adalah tidak semata-mata mengucapkan namun harus disertai dengan melaksanakan syarat-syarat dan rukun-rukunnya.

Bobot timbangan tauhid melebihi timbangan langit dan bumi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Musa ‘alaihisallam berkata, ‘wahai Rabbku, ajarilah aku sesuatu yang dapat aku gunakan untuk berdzikir dan berdoa kepada-Mu’, Allah berfirman, ‘Katakanlah wahai Musa, laa ilaha illallah’, maka Musa berkata, ‘wahai Rabbku, semua hamba-Mu mengucapkan hal ini’, Allah berfirman, ‘wahai Musa seandainya ketujuh langit beserta penghuninya selain aku serta ketujuh bumi berada pada satu daun timbangan dan laa ilaha illallah berada pada daun timbangan (yang lain), niscaya laa ilaha illallah lebih berat timbangannya dengan itu semua.” (HR. Ibnu Hiban dan al Hakim dan ia menshahihkannya)

Tauhid merupakan sebab terbesar untuk mendapatkan ampunan Allah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman, wahai anak adam, andai engkau mendatangi-Ku dengan membawa dosa sebesar bumi kemudian engkau mendatangiku dengan tidak berbuat syirik sedikit pun kepada-Ku, maka pasti aku akan mendatangimu dengan ampunan sebesar bumi.” (HR. Tirmidzi dan beliau menghasankannya)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sungguh Allah akan membebaskan seorang dari umatku di hadapan seluruh manusia pada hari kiamat di mana ketika itu dibentangkan 99 gulungan (dosa) miliknya. Setiap gulungan panjangnya sejauh mata memandang. Kemudian Allah berfirman,’Apakah ada yang engkau ingkari dari semua catatan ini, apakah para (malaikat) pencatat amal telah menganiayamu? Dia menjawab,’Tidak, Wahai Rabbku’. Allah bertanya,’Apakah engkau memiliki udzur (alasan)?’ Dia menjawab,’Tidak wahai Rabbku’. Allah berfirman,’Bahkan sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi-Ku dan sungguh pada hari ini engkau tidak dianiaya sedikitpun’. Kemudian dikeluarkanlah sebuah kartu bertuliskan ‘Asyhadu an La ilaha illallah wa Asyhadu anna muhammadan Abduhu wa Rasuluh’. Lalu Allah berfirman,’Datangkan timbanganmu.’ Dia berkata,’Wahai Rabbku, apakah artinya kartu ini jika dibandingkan dengan seluruh gulungan dosa itu?’ Allah berfirman,’Sungguh kamu tidak akan dianiaya’. Kemudian diletakkanlah gulungan-gulungan tersebut pada satu daun timbangan dan kartu itu pada timbangan yang lain. Maka gulungan-gulungan (dosa) tersebut terangkat dan kartu (la ilaha illallah) lebih berat. Demikianlah tidak ada sesuatupun yang lebih berat dari sesuatu terdapat nama Allah”. (HR. Tirmidzi dan An-Nasa’i).

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihat.
[Sigit Hariyanto, ST. ]

Shalat jama’ah 5 Waktu itu hukumnya wajib atau sunnah???

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ’ala Rosulillah wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Saudaraku, yang semoga diberi taufik oleh Allah Ta’ala. Saat ini kita lihat di mana masjid-masjid kaum muslimin tampak megah dan indah dengan berbagai hiasan dan aksesoris di dalamnya. Namun sangat-sangat disayangkan masjid-masjid tersebut sering kosong dari jama’ah. Ini sungguh sangat mengherankan, kita kadang melihat masjid yang megah dan besar hanya dipenuhi satu shaf padahal jumlah kaum muslimin di sekitar masjid itu amat banyak. Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk dijelaskan kepada saudara-saudara kita ini mengenai hukum shalat jama’ah.

Diakui bahwa dalam hal ini terdapat perselisihan dikalangan para pakar fiqih apakah shalat jama’ah itu fardhu ’ain (wajib bagi setiap muslim), sunnah, atau fardhu kifayah (jika sebagian sudah menunaikannya maka gugur kewajiban yang lain). Namun kami tegaskan bahwa dalam setiap masalah perselisihan agama yang ada hendaklah kita kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah telah berfirman,

”Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’ [4] : 59). Itulah yang seharusnya dilakukan seorang muslim.

Dalil dari Al Qur’an

Allah Ta’ala menceritakan dalam firman-Nya mengenai shalat khouf (shalat dalam keadaan perang),

”Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka'at) , maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, shalatlah mereka denganmu.” (QS. An Nisa’ [4] : 102)

Dari ayat ini, Ibnul Qoyyim menjelaskan mengenai wajibnya shalat jama’ah:

”Allah memerintahkan untuk shalat dalam jama’ah [dan hukum asal perintah adalah wajib[1] yaitu Allah berfirman: (فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ), ”perintahkan segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu”]. Kemudian Allah mengulangi perintah-Nya lagi [dalam ayat (وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ), ”dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat,perintahkan mereka shalat bersamamu”]

Ini merupakan dalil bahwa shalat jama’ah hukumnya adalah fardhu ’ain karena dalam ayat ini Allah tidak menggugurkan perintah-Nya pada pasukan kedua setelah dilakukan oleh kelompok pertama. Dan seandainya shalat jama’ah itu sunnah, maka shalat ini tentu gugur karena ada udzur yaitu dalam keadaan takut. Seandainya pula shalat jama’ah itu fardhu kifayah maka sudah cukup dilakukan oleh kelompok pertama tadi. Maka dalam ayat ini, tegaslah bahwa shalat jama’ah hukumnya adalah fardhu ’ain dilihat dari tiga sisi: [1] Allah memerintahkan kepada kelompok pertama, [2] Selanjutnya diperintahkan pula pada kelompok kedua, [3] Tidak diberi keringanan untuk meninggalkannya meskipun dalam keadaan takut.”[2]

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,

“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera .” (QS. Al Qalam [68]: 42-43)

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menghukumi orang-orang tersebut pada hari kiamat. Mereka tatkala itu tidak bisa sujud karena ketika di dunia mereka diajak untuk bersujud (yaitu shalat jama’ah), mereka pun enggan. Jika memang seperti ini, maka ini menunjukkan bahwa memenuhi panggilan adzan adalah dengan mendatangi masjid yaitu dengan melaksanakan shalat jama’ah, bukan hanya melaksanakan shalat di rumah atau cuma shalat sendirian. Yang dimaksud dengan memenuhi panggilan adzan (dengan menghadiri shalat jama’ah di masjid), inilah yang ditafsirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits mengenai orang buta yang akan kami sebutkan nanti. [3]

Dalil dari As Sunnah

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memperingatkan keras pria yang meninggalkan shalat jama’ah yaitu ingin membakar rumah mereka. Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa shalat jama’ah adalah wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

”Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama'ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka”. [4]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, seorang lelaki buta datang kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan berkata,

”Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penunjuk jalan yang dapat mendampingi saya untuk mendatangi masjid.” Maka ia meminta keringanan kepada Rasulullah untuk tidak shalat berjama'ah dan agar diperbolehkan shalat di rumahnya. Kemudian Rasulullah memberikan keringanan kepadanya. Namun ketika lelaki itu hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya lagi dan bertanya,“Apakah kamu mendengar adzan?” Ia menjawab,”Ya”. Rasulullah bersabda,”Penuhilah seruan (adzan) itu.” [5]

Orang buta ini tidak dibolehkan shalat di rumah apabila dia mendengar adzan. Hal ini menunjukkan bahwa memenuhi panggilan adzan adalah dengan menghadiri shalat jama’ah. Hal ini ditegaskan kembali dalam hadits Ibnu Ummi Maktum. Dia berkata:

“Wahai Rasulullah, di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu mendengar seruan adzan hayya ‘alash sholah, hayya ‘alal falah? Jika iya, penuhilah seruan adzan tersebut”.” [6]

Lihatlah laki-laki tersebut memiliki beberapa udzur: [1] dia adalah seorang yang buta, [2] dia tidak punya teman sebagai penunjuk jalan untuk menemani, [3] banyak sekali tanaman, dan [4] banyak binatang buas. Namun karena dia mendengar adzan, dia tetap diwajibkan menghadiri shalat jama’ah. Walaupun punya berbagai macam udzur semacam ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan dia untuk memenuhi panggilan adzan yaitu melaksanakan shalat jama’ah di masjid. Bagaimana dengan orang yang dalam keadaan tidak ada udzur sama sekali, masih diberi kenikmatan penglihatan dan sebagainya?!

selengkapnya:
http://rumaysho.com/hukum-islam/shalat/2726-shalat-jamaah-5-waktu-wajib-ataukah-sunnah.html

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

MENGENAI HAKIKAT HATI &RUH

Adapun pertanyaanmu apa hakikat hati, syari’ah tidak menjelaskannya secara panjang lebar kecuali dalam satu ayat:

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku.” (Q.S. al-Isra [17]: 85).

Karena ruh merupakan bagian dari kekuasaan ilahiah, yaitu dari ‘alam al-amr (kuasa perintah Tuhan) Allah Swt berfirman:

“Ingatlah, yang menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (Q.S. al-A’raf [7]: 54).

Dengan demikian, pada satu sisi manusia merupakan bagian dari ‘alam al-khalq (alam ciptaan) dan pada sisi lain bagian dari ‘alam al-amr. Segala sesuatu yang bisa dikenai ukuran panjang lebar, kadar dan mekanisme adalah termasuk ‘alam al-khalq[6], namun hati tak memiliki ukuran panjang lebar dan ukuran tertentu.

Oleh karena itu, ia tak menerima pembagian. Jika bisa dibagi, maka ia termasuk ‘alam al-khalq. Contohnya, dari sisi sifat bodoh, maka ia pun menjadi bodoh dan dari sisi sifat pintar, ia pun menjadi pintar. Namun segala sesuatu yang terdiri dari sifat bodoh dan pintar pada saat yang sama adalah mustahil. Dengan kata lain, ia bagian dari ‘alam al-amr, karena dalam ‘alam al-amr tidak berlaku ukuran panjang lebar dan ukuran tertentu.

Sebagian dari mereka mengira bahwa ruh bersifat qadim (awal), maka mereka telah salah. Sebagian lain berpendapat ruh adalah ‘ard (sifat), maka mereka pun salah, karena sifat tak pernah berdiri sendiri, tapi mengikuti yang lain.

Maka, ruh adalah asal anak Adam, dan hati adalah tempat tumbuhnya mereka. Jadi, bagaimana mungkin dia adalah sifat! Sebagian golongan mengatakan ruh adalah badan jamani, mereka juga salah, karena badan jasmani menerima pembagian.

Dan ruh yang sejak tadi kita sebut hati adalah media untuk mengetahui Allah. Oleh karena itu, ia bukan merupakan badan, juga bukan sifat, melainkan unsur esensi malaikat.
Mengetahui tentang ruh sangatlah sulit[7], karena agama tak memberi jalan sedikit pun. Dan agama tak memerlukan untuk mengetahuinya, sebab agama esensinya adalah kesungguhan (mujahadah), sedang ma’rifah (mengetahui) adalah tanda hidayah, sebagaimana firman-Nya:

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Q.S. al-Ankabut [29]: 69).

Dan barangsiapa yang tidak bersungguh-sungguh, ia tidak boleh membahasnya atau mencari hakikat ruh. Dasar utama dari mujahadah adalah mengetahui tentara hati, karena manusia jika tidak mengetahui seluk beluk kemiliteran, ia tidak dibenarkan untuk berjihad.

oleh:
Imam al-Ghazali, seorang sufi agung yang hidup -/+ 900 tahun yang lalu di Baghdad/Iraq dan wafat 1111 masehi

http://bukusufigratis.wordpress.com/