Minggu, 20 April 2014

Bagaimana mengelola keuangan rumah tangga ?


Judul tulisan di atas sering dibahas di berbagai media, namun saya akan mencoba melihatnya dari sudut pandang yang lain. Rumah tangga, yang di dalamnya ada suami, isteri dan anak-anak, merupakan unit keuangan yang terkecil. Pada dasarnya mengelola keuangan rumah tangga sama seperti mengelola keuangan di perusahaan. Pada umumnya saat awal menikah, sering terjadi kesulitan mengatur keuangan rumah tangga, yang berakibat terjadi deficit cash flow pada akhir bulan, karena pengelolaan keuangan belum tertata dengan baik, dan belum ada perencanaan secara komprehensip. 1. Buat perencanaan setahun ke depan. Pertama kali, buat rencana (anggaran) dalam satu tahun kedepan, yang di break down dalam bulanan. Perencanaan dipisahkan antara sumber dana (aliran dana masuk, bisa berasal dari gaji, pendapatan lain-lain dari mengajar, menulis dll) serta penggunaan dana. Pada perencanaan telah tercantum rencana yang akan dilakukan sepanjang tahun, dan pisahkan : utama (biaya operasional), biaya pengembangan, biaya sosialisasi, cadangan (biaya tak terduga). Biaya operasional adalah biaya yang benar-benar harus dikeluarkan setiap bulannya tanpa bisa ditunda, antara lain: biaya listrik, air, biaya sekolah, transport, biaya kebutuhan bahan pokok /makan sebulan. Biaya pengembangan adalah biaya untuk meningkatkan kemampuan/kompetensi dan karir anggota keluarga, antara; biaya les komputer, les bahasa Inggris, les piano, biaya untuk kuliah lanjutan untuk suami/isteri. Biaya ini masih bisa ditunda atau dikurangi, apabila keuangan kita terbatas. Biaya sosialisasi, antara lain; sumbangan jika teman menikah, ada yang meninggal, arisan. Biaya ini bisa disesuaikan dengan kemampuan keuangan, dan apabila keuangan terbatas, pilih mengikuti arisan hanya untuk yang penting saja, dan memang harus diikuti. Biaya cadangan; diperlukan untuk menutup kebutuhan tak terduga. Seringkali keuangan kita terbatas, sehingga pos ini sering tidak ada dananya. Pembagian pos-pos tadi bisa dibuat menggunakan amplop terpisah, atau bila memungkinkan menggunakan rekening tabungan Bank. Penggunaan rekening di Bank bermanfaat agar kita tak mudah mengambil uang untuk keperluan diluar anggaran. Pisahkan rekening di Bank yang ada kartu ATM dan yang tak ada kartu ATM nya, untuk diversifikasi risiko. Sebaiknya dana yang masuk di tabungan yang ada ATM nya dibatasi , karena :a) mengurangi risiko jika kartu ATM jatuh ketangan orang lain.b) mempunyai kartu ATM sama dengan memegang uang tunai, sehingga kalau kita tak berhati-hati maka dengan mudah akan tergiur untuk membelanjakan hal-hal yang tidak perlu. Bagaimana dengan penggunaan kartu kredit? Kartu kredit bermanfaat sebagai pengganti uang tunai, sebaiknya penggunaan kartu kredit disesuaikan dengan rencana anggaran. Dengan demikian tak terjadi kesulitan karena penggunaan kartu kredit yang berlebihan, yang pada akhirnya membuat tagihan kartu kredit tak terbayar atau mengalami keterlambatan pembayaran. 2. Pisahkan sumber dan penggunaan dana a) Sumber dana : Darimana saja sumber dana akan diperoleh, apakah ada sumber dana lain selain gaji? Sebaiknya anggaran didasarkan atas sumber dana yang sudah pasti, sehingga jika ada tambahan pendapatan di luar rencana, bisa dimasukkan pada dana cadangan, yang nantinya bisa digunakan untuk investasi. b) Penggunaan dana: Memonitor secara ketat penggunaan dana sangat penting, dan yang perlu dipahami adalah bedakan antara penggunaan untuk jangka panjang dan untuk jangka pendek. Sebagai contoh: untuk biaya operasional bulanan, dapat menggunakan dana jangka pendek yang berasal dari gaji bulanan. Namun jika ingin membeli sesuatu yang akan digunakan untuk jangka panjang, seperti perabotan (mesin cuci, kulkas, televisi, furniture), kendaraan dan rumah, harus menggunakan dana jangka panjang. Dana jangka panjang berasal dari dana cadangan yang tak digunakan dan telah disimpan di rekening bank (terpisah dari kebutuhan bulanan), atau bisa berasal dari pinjaman. Jika berupa pinjaman, upayakan pinjaman juga berupa pinjaman jangka panjang, sehingga bisa diangsur setiap bulan dan dimasukkan dalam rencana/anggaran yang disusun. Hitung berapa angsuran per bulannya, apakah tidak akan mengganggu cash flow bulanan? 3. Buat prakiraan T account (neraca keuangan) sederhana serta cash flow nya Untuk mengetahui posisi kekayaan kita, buat prakiraan neraca keuangan. Dari neraca keuangan kita akan mengetahui berapa harta (aktiva), yang terdiri dari: Aktiva lancar (uang tunai dan dana di rekening Bank yang dengan mudah dapat dicairkan), aktiva tetap ( perabotan, kendaraan, rumah), serta aktiva lain-lain (diluar aktiva lancar dan aktiva tetap) Kemudian kita hitung berapa total hutang, pisahkan hutang jangka pendek (diangsur bulanan) dan hutang jangka panjang. Selanjutnya kita bisa menghitung bahwa modal sendiri adalah total aktiva (aktiva lancar+aktiva tetap+aktiva lain-lain) dikurangi dengan total hutang. Cash flow perlu dibuat untuk mengetahui aliran uang masuk dan uang yang diperkirakan akan keluar. Dengan membuat cash flow bulanan, maka diharapkan mengurangi terjadinya kejutan dalam pengelolaan keuangan rumah tangga. Dan dengan membuat perencanaan, yang kemudian dituangkan dalam cash flow yang disusun bulanan, untuk satu tahun ke depan, kita dapat menganalisis apakah pengelolaan keuangan kita wajar apa tidak. Sebaiknya cash flow didiskusikan antara suami dan isteri, sehingga keduanya sepakat untuk melakukan sesuai rencana yang ditulis. Jika ada tambahan uang masuk, seperti bonus, insentif, atau uang hasil pendapatan lain-lain , uang tersebut bisa dimasukkan dalam tabungan, yang bisa digunakan sebagai cadangan jika terjadi hal-hal di luar dugaan. Diharapkan, dengan pengelolaan keuangan yang matang, namun cukup fleksibel, suami isteri akan lebih dapat memfokuskan pada perkembangan karir masing-masing, serta memberi perhatian pada perkembangan pendidikan para putra putrinya.

Menjadi Kaya Itu Penting, Terlihat Kaya Itu Tidak Penting


Siapa sih yang gak mau jadi orang kaya? apalagi kalau tanpa usaha, tanpa kerja, tanpa susah payah… kalau menjadi kaya itu tinggal acungkan tangan saja, maka semua orang ingin menjadi kaya. Dan memang penting untuk menjadi kaya karena bisa memberikan manfaat yang lebih besar kepada orang lain. Membuka lapangan kerja, memberikan pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak, bisa menyantuni lebih besar kepada orang lain, dan sebagainya. Tapi kan gak semua orang kaya seperti itu? Ya iya sih, tapi percaya deh. Kalau memang dasar orangnya pelit, mau kaya ataupun miskin, tetap aja pelit. Kalau ada orang yang memang sombong, mau kaya ataupun miskin, ya tetap aja dia sombong. Bener gak…? Nah, kembali ke topik… menjadi kaya itu penting. Tapi… terlihat kaya itu tidak penting. Apa maksudnya “terlihat kaya”…? itu adalah upaya untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang kaya. Berharap bisa menaikkan kelas sosial dengan meningkatkan persepsi orang lain terhadap kekayaan dirinya. Biasanya dengan sesuatu yang terlihat seperti pakaian, kendaraan, rumah, dll. Tidak salah sih untuk terlihat kaya, tapi bahaya sekali kalau hanya fokus pada bagaimana caranya supaya bisa terlihat kaya tapi gagal fokus dalam menjadikan dirinya kaya. Akhirnya ambil jalan pintas, kalaupun belum kaya, minimal sudah terlihat kaya. Padahal, biaya untuk “terlihat kaya” itu lebih mahal dari biaya untuk menjadi kaya. Dan ternyata “terlihat kaya” adalah salah satu sebab utama dari gagal kaya Sad smile Sumber : http://ahmadgozali.com/menjadi-kaya-itu-penting-terlihat-kaya-itu-tidak-penting/

Beginilah Islam Mengajarkan Cinta


Saudaraku, ternyata Islam mengajarkan ilmu tentang Marotibul Mahabbahatau tingkatan prioritas cinta. Ya, agar tak asal karena cinta dan tak asal melekatkan cinta, maka agama yang tercinta ini tak asal pula mengajarkan cinta kepada umatnya. Apapun segala sesuatu tentang cinta maka Allah menjadi puncak tujuan dari segalanya. Tak ada lagi tawar-menawar untuk cinta yang satu ini. Beribadah dan mencintai dengan sepenuh hati, berserah diri, selalu ingin terus mengingat-Nya. “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS. Ar Ra’d:28) Tak ada lagi keraguan di dalam firman-Nya. Inilah kita yang wajib menghamba pada sang Maha Kuasa, Maha Perkasa lagi Bijaksana. Maka Allah ghayatuna (Allah tujuan kami) menjadi harga mati untuk ditegakkan. Setelah memenuhi yang pertama, maka senantiasa persiapkanlah diri untuk mencintai yang kedua, Rasulullah SAW. Sosok teladan, yang seakan-akan tidak ada yang tidak patut diteladani dari diri beliau. Suami yang bijaksana, ayah yang penuh dengan kasih sayang, guru teladan yang terampil, wirausaha yang sukses, pemimpin negara yang adil…sungguh mengagumkan. Maka tak ada kata tidak bagi kita untuk mengekspresikan cinta ini pada beliau. I’tibba rasul, mengikuti sunnahnya, menjalankan apa yang diberikan Allah melalui ajaran beliau, namun tidak mengkultuskannya layaknya nabi ‘Isa yang dikultuskan oleh Nasrani. Rasulullah sadar bahwa dirinya hanyalah manusia yang nyawanya pun ada dalam genggaman Allah Ta’ala, maka beliau pun menegur saat kaumnya memperlakukannya secara berlebihan, hanya sekadar untuk mengikuti, tidak untuk menghambakan diri. “Katakanlah (Muhammad): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS Ali Imran: 31) Maka Sirah Rasulullah menjadi bacaan yang tak boleh tertinggalkan dan amalan sunnah menjadi amalan yang tak boleh terlupakan. Selanjutnya ada kaum Muslim yang menjadi tempat ketiga untuk mencintai. Ukhuwah, ukhuwah, dan ukhuwah, adalah bentuk cinta antar kaum Muslim. QS Al Hujurat ayat 10 menjadi hujjah yang indah juga menjadi pengingat bahwa memang persaudaraan yang dibingkai keimanan itu begitu mempesona. Di kala ada perselisihan, maka yang lainnya wajib untuk mendamaikan. Di kala ada kegembiraan, maka yang lainnya wajib untuk ikut bersyukur. Di kala ada kesedihan, maka yang lainnya wajib untuk mendoakan. Di kala ada kesulitan, maka yang lainnya wajib untuk membantu. Subhanallah…kekuatan mana lagi yang paling indah selain persaudaraan antarmuslim ini. Maka irilah kaum Yahudi dan Nasrani melihat ukhuwah ini, dan tak henti-hentinya niat untuk menghancurkan Islam hanya dengan satu cara, merebut lalu membagi wilayah kekuasaan Islam menjadi kecil-kecil, kemudian mengadu-domba, pecah, dan akhirnya saling bermusuhan. Astaghfirullah, padahal tanah air muslim itu adalah di mana pada satu jengkal tanah saja dalam satu wilayah masih ada manusia yang menyembah dan mengagungkan Rabbnya, Allah Ta’ala, maka wilayah itulah yang wajib kita perjuangkan. Tak ada lagi yang namanya batas kenegaraan, tak ada lagi yang namanya belenggu kebangsaan, ras ataupun suku. Dan inilah bentuk nasionalisme yang seharusnya untuk seorang muslim. Maka ucapan salam sesama muslim menjadi bentuk doa pemersatu yang tak boleh terlewatkan. Apakah hanya Muslim? Hebatnya adalah tidak! Sesama manusia merupakan tujuan bentuk cinta yang keempat. Dan inilah DAKWAH, bentuk kita dengan cara yang lain kepada sesama makhluk yang diciptakan setelah malaikat dan jin, sesama makhluk yang menerima amanah setelah gunung dan seisi bumi pun menolaknya. Inilah DAKWAH, mengajak mereka pada kebenaran, pada illah satu-satunya, Allah Ta’ala. Bahkan jihad fii sabilillah tak terkecuali menjadi bentuk DAKWAH pada sesama manusia saat kemungkaran terjadi, saat kezhaliman terlihat, saat ketidakadilan terasakan. Karena kita sesama manusia, maka dakwah menjadi pengingat bahwa siapa sebenarnya manusia itu, yang hina dan tak ada apa-apanya di hadapan Allah ta’ala. DAKWAH-lah mulai dari hal yang kecil, mulai dari yang terdekat, dan mulai dari sekarang. Maka hidup dalam kerukunan dan toleransi tepat pada tempatnya menjadi ikatan yang tak boleh terputuskan. Dan ternyata, pada makhluk tak bernyawa, yaitu benda, kita pun diajarkan untuk menyalurkan cinta ini. Benda yang dimanfaatkan untuk kebaikan, tidak untuk sia-sia, cukup menjadi ekspresi cinta pada prioritas yang kelima. Maka memelihara dan berbagi sesuatu benda untuk kebaikan menjadi tindakan nyata mensyukuri apa yang Allah ciptakan. Inilah CINTA wahai saudaraku, dan terlebih ingatlah jika saat CINTA ini tidak pada prioritas yang semestinya, maka QS At Taubah: 24 menjadi peringatan yang terbaik untuk kita. Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. Ya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya, Maha Indah Allah dengan segala susunan kata-kata-Nya dalam Al-Qur’an yang selalu baik dalam menegur makhluk-Nya. Ketetapan Allah menjadi keputusan yang tidak akan terelakkan nantinya. Dan tak ada daya dan upaya bagi kita untuk dapat menghindari-Nya. Ayo kita isi waktu-waktu yang ada dengan menjalankan prioritas cinta ini sesuai dengan tingkatannya. Teruslah kita membiasakan diri, untuk mengevaluasi cinta kita yang bersemayam di hati, agar cinta tak salah pada tempatnya. Tak lupa, segeralah mengubah cinta menjadi kata kerja, agar cinta tak menjadi rasa semata, tapi ekspresi nyata yang menggugah selera hidup. Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/06/08/20952/beginilah-islam-mengajarkan-cinta/#ixzz2zO4HbHoh Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Meniru Gaya Komunikasi Ibrahim


“Kalau anak-anak dulu ditengoki aja udah takut. Kalau anak sekarang, capek mulut awak becakap mereka tak peduli”. Begitu komentar seorang ayah terhadap prilaku anak-anaknya. Apa yang diucapkannya agaknya mewakili pernyataan para orang tua. Memang saat ini banyak orang tua bingung bagaimana cara berkomunikasi dengan anak-anaknya. Seringkali apa yang disampaikan orang tua tidak diindahkan anak-anaknya. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Ketika kenakalan remaja meningkat, menjadi penting bagi orang tua memikirkan gaya berkomunikasi dengan anak-anaknya. Sebetulnya, orang tua bisa meniru gaya komunikasi Nabi Ibrahim dengan anaknya. Memang gaya komunikasi Nabi Ibrahim ini merujuk al-Quran. Tetapi, hemat saya, gaya komunikasi ini berlaku universal yang bisa ditiru oleh orang tua lintas keyakinan. Tulisan ini adalah analisa wacana pragmatik terhadap surah ash-Shafat ayat 102. Ayat ini bercerita tentang dialog nabi Ibrahim dengan anaknya Ismail tentang penyembelihan (kurban). Saat itu, Ibrahim mengatakan bahwa ia bermimpi melihat dirinya menyembelih si anak (Ismail). Dalam ajaran Islam, ayat inilah yang dijadikan dalil untuk melakukan penyembelihan (kurban) pada Hari Raya Idul Adha. Mari kita perhatikan surah ash-Shaffat ayat 102 yang menceritakan dialog antara nabi Ibrahim dengan anaknya, Ismail. Redaksi ayat diterjemahkan sebagai berikut, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?’ Ia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’” Menjelaskan ayat ini, penulis menggunakan analisa wacana pragmatik yang kerap digunakan dalam studi bahasa dan komunikasi. Analisa wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi. Sementara pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan bahasa itu digunakan di dalam komunikasi. Dengan definisi ini, maka analisa wacana pragmatik dapat diartikan sebagai telaah mengenai makna dan fungsi bahasa dalam proses komunikasi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menggunakan suatu jenis kalimat dengan makna yang berbeda. Tidak jarang, kalimat perintah digunakan untuk melarang. Contoh, seorang ibu yang melarang anaknya memanjat pohon dengan menggunakan kata, “Panjat, panjatlah!” Kalimat ini jenisnya kalimat perintah karena terdapat partikel lah. Tetapi dalam konteks percakapan ibu dan anak, kalimat itu bermakna larangan. Si anak sebagai peserta komunikasi sadar kalau kalimat itu adalah larangan walau bentuknya kalimat perintah. Kredibilitas Tinggi Topik pembicaraan antara Ibrahim dan Ismail adalah mimpi Ibrahim. Dalam mimpi itu, Ibrahim melihat dirinya menyembelih anaknya sendiri. Dalam dialog Ibrahim meminta anaknya memikirkan mimpi itu. Tetapi jawaban yang muncul dari Ismail adalah meminta Ibrahim melaksanakan perintah Allah. Mari kita perhatikan dialognya. Ibrahim berkata, “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu?” Ismail menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Ibrahim sama sekali tidak mengatakan bahwa Allah memerintahkan dirinya untuk menyembelih Ismail. Tetapi Ismail memaknai mimpi yang diceritakan ayahnya itu wahyu Allah untuk menyembelihnya. Maka timbul pertanyaan mengapa Ismail begitu percaya bahwa cerita ayahnya adalah wahyu dari Allah? Dalam kajian komunikasi, penerima pesan (komunikan) percaya kepada penyampai pesan (komunikator) apabila komunikator memiliki kredibilitas tinggi. Everett M Rogers (1983) mengatakan kredibilitas adalah tingkat di mana komunikator dipersepsi sebagai suatu kepercayaan dan kemampuan oleh penerima. Menurut Alexis S Tan (1981) kredibilitas sumber terdiri dari dua unsur, yaitu keahlian dan kepercayaan. Keahlian diukur dengan sejauh mana komunikan menganggap komunikator mengetahui jawaban yang benar, sedangkan kepercayaan dioperasionalisasikan sebagai persepsi komunikan bahwa komunikator tidak memihak dalam penyampaian pesan. Dua hal tersebut dimiliki Ibrahim, sehingga ia menjadi seorang komunikator dengan kredibilitas tinggi di hadapan anaknya, Ismail. Merujuk al-Quran, diceritakan banyak peristiwa yang membuktikan Ibrahim adalah orang yang berstatus nabi. Mulai dari pertentangannya dengan ayahnya sendiri, sampai kemudian Ibrahim dibakar oleh Raja Namrud. Peristiwa hijrahnya ke Mekkah, juga berkaitan dengan posisinya sebagai Nabi. Peristiwa tersebut juga diketahui Ismail sebagai seorang anak. Hal itulah yang mengokohkan posisi Ibrahim di mata Ismail. Sehingga ketika Ibrahim menceritakan mimpi, Ismail langsung memahami maksud sang ayah. Kesamaan Pengetahuan dan Pengalaman Proses komunikasi akan berlangsung efektif, jika komunikator dan komunikan memiliki kesamaan. Wilbur Schramm menyebut ada dua kesamaan yang membuat komunikasi efektif, yaitu frame of reference (kerangka acuan) dan filed of experience (bidang pengalaman). Schramm menyatakan bahwa filed of experience atau bidang pengalaman merupakan faktor yang amat penting untuk terjadinya komunikasi. Apabila bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan, komunikasi akan berlangsung dengan lancar. Sebaliknya jika pengalaman komunikan tidak sama dengan pengalaman komunikator, akan timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain, atau dengan kata lain situasi menjadi tidak komunikatif. (Effendy,2003:30-31) Merujuk ke surah Ash-Shafat ayat 102 itu, disebutkan bahwa ada kesamaan pengalaman dan pengetahuan antara Ibrahim dan Ismail. Hal itu dapat dilihat dari redaksi awal ayat, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim….”. Ada dua hal yang ditunjukkan dari redaksi ayat ini. Pertama, usia Ismail saat itu berada pada usia memahami perkataan dan peristiwa dengan baik. Kedua, Ibrahim dan Ismail melakukan berbagai macam kegiatan bersama. Walau dalam ayat tersebut tidak diceritakan secara detil bentuk usaha/ kegiatan yang dilakukan keduanya. Tujuan yang ingin dicapai Ibrahim dalam proses komunikasi adalah kerelaan Ismail untuk “dikorbankan”. Selain itu, Ibrahim berharap Ismail mengetahui bahwa “penyembelihan” itu sebagai bentuk penghambaan kepada Allah. Dua target yang ingin dicapai Ibrahim dalam komunikasi itu berhasil terpenuhi. Hal itu disebabkan, kesamaan frame of reference (kerangka acuan) dan filed of experience (bidang pengalaman). Kondisi itu juga ditopang dengan usia Ismail saat itu yang mampu berfikir dengan baik. Tan menyebutkan unsur kredibilitas adalah kepercayaan. Komunikan percaya komunikator tidak memihak dalam penyampaian pesan. Saat berdialog dengan Ismail, kalimat yang disampaikan Ibrahim tidak menunjukkan bahwa peristiwa penyembelihan itu untuk kepentingan Ibrahim. Kalimat yang disampaikan Ibrahim hanya menceritakan mimpi apa adanya. Ibrahim tidak menambahkan keterangan pada mimpi itu sebagai wahyu dari Allah. Kalimat itu berupa, “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu”. Kepercayaan Ismail kepada Ibrahim semakin menguat ketika Ibrahim meminta pendapat Ismail tentang perisitiwa itu dengan kalimat, “Maka fikirkanlah apa pendapatmu?” Kepercayaan Ismail itu muncul karena kesamaan pengalaman dan pengetahuan antara Ibrahim dan Ismail. Peristiwa yang dialami bersama, membuat Ismail menempatkan Ibrahim sebagai seseorang yang melakukan sesuatu semata-mata karena perintah Tuhan. Ismail percaya ayahnya tidak mempunyai kepentingan pribadi, kecuali semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Dengan pemahaman seperti itu, Ismail juga harus mengerjakan perintah Tuhan, karena Ismail juga mengakui dirinya sebagai hamba Allah. Rekomendasi Dari uraian di atas, dapat diambil point-point sebagai acuan dalam berkomunikasi kepada anak. Pertama, orang tua hendaknya selalu melakukan kegiatan bersama sehingga terbentuk kesamaan frame of reference (kerangka acuan) dan filed of experience (bidang pengalaman) antara orang tua dan anak. Kedua, menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan. Hal inilah yang akan meningkatkan kredibilitas orang tua di mata anak. Tan menyebutkan kredibilitas adalah penilaian komunikan terhadap komunikator bahwa komunikator memiliki pengetahuan dan tidak memihak atas pesan yang disampaikan. Penilaian komunikan ini bisa terwujud jika komunikator (orang tua) menyelaraskan antara perkataan dengan perbuatanya. Ketiga, menyesuaikan pesan/informasi yang disampaikan kepada anak sesuai dengan usia sang anak. Seringkali, orang tua tidak menyesuaikan perkataan (informasi) yang disampaikan dengan usia anak. Kondisi ini membuat anak tidak mampu menalar pesan yang disampaikan dengan baik. Hasilnya, tujuan komunikasi tidak akan tercapai. Ketiga point di atas hendaknya bisa menjadi acuan para orang tua dalam berkomunikasi kepada anaknya. Jika hal ini dilakukan, penulis yakin komunikasi yang dilakukan akan berhasil. Hal itu telah dibuktikan oleh Ibrahim. Pertanyaan yang muncul, apakah orang tua mampu mengikuti gaya komunikasi yang dicontohkan Ibrahim itu? Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/04/15/49631/meniru-gaya-komunikasi-ibrahim-analisa-wacana-pragmatik-surat-ash-shafat-ayat-102/#ixzz2zO2j2MiW Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Sabtu, 19 April 2014

HEBATNYA WANITA


Hebatnya seorang wanita. Seorang wanita saat mendapat berita kehamilannya, hatinya penuh dengan kegembiraan hingga dia meneteskan air mata. Tidak pernah terlintas di fikirannya bahwa proses bersalin itu sendiri dapat merenggut nyawanya. yang dia tahu, dia bakal membawa buah hatinya yang hebat ke dunia. Wanita, hebatnya dia tidak pernah mengeluh walaupun saban pagi dia muntah-muntah hingga badannya kehilangan segala tenaganya. Dia mampu tersenyum mengenangkan zuriatnya sedangkan janinnya membesar di dalam rahimnya yang hanya sebesar buah pear. Wanita, hebatnya di saat dia mulai merasakan sakit ketika hendak bersalin hatinya tidak gentar walau sedikit pun. Tidak pernah terfikir nyawanya mungkin menjadi yang terakhir. namun yang hanya dia mau, buah hatinya lahir dalam keadaan sehat. Wanita, hebatnya dia mampu menahan sakit hingga 57 Del ketika hendak melahirkan anak (sama halnya seperti 20 tulang yang dipatahkan dengan serentak). Sedangkan sekuat mana pun manusia itu hanya mampu menahan hingga 45 Del saja. Apa yang selalu kita dengar tentang wanita? Wanita tercipta dari rusuk laki-laki. Wanita itu sayap kiri laki-laki. Wanita berhati lembut dan kuat emosi. Wanita itu kaum yang lemah. Tetapi, sadarkah kita di sebalik semua itu… Wanita dicipta untuk menjadi ibu. Ibu yang mengandung selama 9 bulan dengan segala kesusahan.. Ibu yang berjuang dengan maut untuk melahirkan buah hatinya, penyambung generasi manusia.. Ibu yang berjuang menyusukan anak selama 2 tahun lamanya.. Ibu yang mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak-anak dengan penuh kesabaran.. Ibu yang doanya lebih makbul dari seorang bapak.. Wanita jugalah yang menjadi tulang belakang laki-laki.. Tidak kurang juga, wanita mampu melemahkan laki-laki.. Hebat kan wanita? Anda beruntung menjadi seorang wanita.. Buat kaum Adam, hargailah kaum Hawa anda. Selamat berjuang wahai...Kartini-kartini masa kini....

Senin, 14 April 2014

Muhammad Sebagai Seorang Suami


Di antara tanda kasih sayang Allah swt terhadap manusia adalah diutusnya Rasul ditengah-tengah mereka. Inilah nikmat paling besar yang Allah swt karuniakan kepada manusia. Agar para Rasul menjadi penerang bagi orang-orang yang salah jalan. Menjadi penunjuk bagi orang-orang yang tersesat. Hal paling utama dan berharga yang dipersembahkan para Rasul kepada manusia setelah penunjukan jalan hidayah Allah swt. adalah mereka, para Rasul sebagai contoh teladan bagi yang meniti jalan menuju Allah swt, agar orang beriman mengambil apa yang mereka contohkan dalam segenap urusan dan bidang, fiddunya wal akhirah. Allah swt berfirman tentang pribadi Nabi kita Muhammad saw.: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Al Ahzab:21 Berkata Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini: “Inilah ayat mendasar yang berisikan anjuran menjadikan Rasulullah saw sebagai suri teladan, dalam ucapan, perbuatan dan keadannya.” Dan bukti kemurahan Allah swt terhadap umat Islam ini adalah, bahwa sirah atau perjalanan hidup Nabi saw. baik berupa ucapan, perbuatan dan keadaannya direkam dan dijaga oleh para tokoh –ahli hadits- yang mukhlis. Dan mereka menyampaikan apa yang datang dari Rasul kepada orang lain dengan sangat amanah. Contoh sederhana adalah tentang petunjuk Nabi bagaimana beliau makan, cara minum, berpakaian, berhias, bagaimana beliau tidur dan ketika terjaga, ketika beliau mukim atau sedang safar, ketika beliau tertawa atau menangis, dalam kesungguhan atau canda, dalam suasana ibadah atau hubungan sosial, perihal urusan agama atau dunia, ketika kondisi damai atau saat perang, dalam berinteraksi dengan kerabat atau orang yang jauh, menghadapi teman atau lawan, sampai pada sisi-sisi yang menurut orang bilang “intim” dalam hubungan suami-istri. Semuanya terekam, tercatat dan diriwayatkan dengan sahih dalam sirah perjalanan hidup beliau saw. Dalam tulisan sederhana ini kami paparkan petunjuk Nabi saw. tentang bagaimana beliau berinteraksi dengan istri-istrinya. Bagaimana beliau bermu’amalah dan menjaga mereka. serta bagaimana beliau melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak mereka. Muhammad Bersikap Adil Nabi Muhammad saw. sangat memperhatikan perilaku adil terhadap istri-istrinya dalam segala hal, termasuk sesuatu yang remeh dan sepele. Beliau adil terhadap istri-istrinya dalam pemberian tempat tinggal, nafkah, pembagian bermalam, dan jadwal berkunjung. Beliau ketika bertandang ke salah satu rumah istrinya, setelah itu beliau berkunjung ke rumah istri-istri beliau yang lain. Soal cinta, beliau lebih mencintai Aisyah dibanding istri-istri beliau yang lain, namun beliau tidak pernah membedakan Aisyah dengan yang lain selamanya. Meskipun di sisi lain, beliau beristighfar kepada Allah swt karena tidak bisa berlaku adil di dalam membagi cinta atau perasaan hati kepada istri-istrinya, karena persoalan yang satu ini adalah hak preogratif Allah swt. saja. Rasulullah saw. bersabda: (اللهم إن هذا قسمي فيما أملك، فلا تلمني فيما لا أملك) “Ya Allah, inilah pembagianku yang saya bisa. Maka jangan cela aku atas apa yang aku tidak kuasa.” Ketika beliau dalam kondisi sakit yang menyebabkan maut menjemput, beliau meminta kepada istrinya yang lain agar diperkenankan berada di rumah Aisyah. Bahkan ketika beliau mengadakan perjalanan atau peperangan, beliau mengundi di antara istri-istrinya. Siapa yang kebagian undian, dialah yang menyertai Rasulullah saw. Muhammad Bermusyawarah Dengan Para Istrinya Rasulullah saw mengajak istri-istrinya bermusyawarah dalam banyak urusan. Beliau sangat menghargai pendapat-pendapat mereka. Padahal wanita pada masa jahiliyah, sebelum datangnya Islam diperlakukan seperti barang dagangan semata, dijual dan dibeli, tidak dianggap pendapatnya, meskipun itu berkaitan dengan urusan yang langsung dan khusus dengannya. Islam datang mengangkat martabat wanita, bahwa mereka sejajar dengan laki-laki, kecuali hak qawamah atau kepemimpinan keluarga, berada ditangan laki-laki. Allah swt berfirman: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Al Baqarah:228. Adalah pendapat dari Ummu Salamah ra pada peristiwa Hudaibiyah, membawa berkah dan keselamatan bagi umat Islam. Ummu Salamah memberi masukan kepada Nabi agar keluar menemui para sahabat tanpa berbicara dengan siapa pun, langsung menyembelih hadyu atau seekor domba dan mencukur rambutnya. Ketika beliau melaksanakan hal itu, para sahabat dengan serta-merta menjalankan perintah Nabi saw, padahal sebelumnya mereka tidak mau melaksanakan perintah Rasul, karena mereka merasa pada pihak yang kalah pada peristiwa itu. Mereka melihat bahwa syarat yang diajukan kaum kafir Quraisy tidak menguntungkan kaum muslimin. Muhammad Lapang Dada dan Penyayang Istri-istri Rasulullah saw memberi masukan tentang suatu hal kepada Nabi, beliau menerima dan memberlakukan mereka dengan lembut. Beliau tidak pernah memukul salah seorang dari mereka sekali pun. Belum pernah terjadi demikian sebelum datangnya Islam. Perempuan sebelum Islam tidak punya hak bertanya, mendiskusikan dan memberi masukan apalagi menuntut. Umar ra berkata: “Saya marah terhadap istriku, ketika ia membantah pendapatku, saya tidak terima dia meluruskanku. Maka ia berkata; “Mengapa kamu tidak mau menerima pendapatku, demi Allah, bahwa istri-istri Rasulullah memberi pendapatnya kepada beliau, bahkan salah satu dari mereka ngambek dan tidak menyapanya sehari-semalam. Umar berkata; “Saya langsung bergegas menuju rumah Hafshah dan bertanya: “Apakah kamu memberi masukan kepada Rasulullah saw? ia menjawab: Ya. Umar bertanya lagi, “Apakah salah seorang di antara kalian ada yang ngambek dan tidak menegur Rasul selama sehari-semalam? Ia menjawab: Ya. Umar berkata: “Sungguh akan rugi orang yang melakukan demikian di antara kalian.” Cara Nabi Meluruskan Keluarganya Rasulullah saw tidak pernah menggap sepele kesalahan yang diperbuat oleh salah satu dari istri. Beliau pasti meluruskan dengan cara yang baik. Diriwayatkan dari Aisyah: تقول عائشة رضي الله عنها: ما رأيت صانعة طعام مثل صفية صنعت لرسول الله طعاما وهو في بيتي، فارتعدت من شدة الغيرة فكسرت الإناء ثم ندمت فقلت: يا رسول الله ما كفارة ما صنعت؟ قال: إناء مثل إناء، وطعام مثل طعام. “Saya tidak pernah melihat orang yang lebih baik di dalam membuatkan masakan, selain Shafiyah. Ia membuatkan hidangan untuk Rasulullah saw di rumahku. Seketika saya cemburu dan membanting piring beserta isinya.” Saya menyesal, seraya berkata kepada Rasulullah saw. “Apa kafarat atas perilaku yang saya lakukan?” Rasulullah saw menjawab: “Piring diganti piring, dan makanan diganti makanan.” Rasulullah saw. menjadi pendengar yang baik. Beliau memberi kesempatan kepada istri-istrinya kebebasan untuk berbicara. Namun beliau tidak toleransi terhadap kesalahan sekecil apa pun. Aisyah berkata kepada Nabi setelah wafatnya Khadijah ra.: “Kenapa kamu selalu mengenang seorang janda tua, padahal Allah telah memberi ganti kepadamu dengan yang lebih baik.” Maka Rasulullah saw marah, seraya berkata: “Sunggguh, demi Allah, Allah tidak memberi ganti kepadaku yang lebih baik darinya. Ia telah beriman kepadaku ketika manusia mengingkariku. Ia menolongku ketika manusia memusuhiku. Saya dikaruniai anak darinya, yang tidak Allah berikan lewat selainnya.” Muhammad Pelayan Bagi Keluarganya Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan khidmah atau pelayanan ketika di dalam rumah. Beliau selalu bermurah hati menolong istri-istrinya jika kondisi menuntut itu. Rasulullah saw bersabda: وكان يقول: (خدمتك زوجتك صدقة) “Pelayanan Anda untuk istri Anda adalah sedekah.” Adalah Rasulullah saw mencuci pakaian, membersihkan sendal dan pekerjaan lainnya yang dibutuhkan oleh anggota keluarganya. Muhammad Berhias Untuk Istrinya Rasulullah saw mengetahu betul kebutuhan sorang wanita untuk berdandan di depan laki-lakinya, begitu juga laki-laki berdandan untuk istrinya. Adalah Rasulullah saw paling tampan, paling rapi di antara manusia lainnya. Beliau menyuruh sahabat-sahabatnya agar berhias untuk istri-istri mereka dan menjaga kebersihan dan kerapihan. Rasulullah saw bersabda: وكان يقول: (اغسلوا ثيابكم وخذوا من شعوركم واستاكوا وتزينوا وتنظفوا فإن بني إسرائيل لم يكونوا يفعلون ذلك فزنت نساؤهم). “Cucilah baju kalian. Sisirlah rambut kalian. Rapilah, berhiaslah, bersihkanlah diri kalian. Karena Bani Isra’il tidak melaksanakan hal demikian, sehingga wanita-wanita mereka berzina.” Muhammad dan Canda-Ria Rasulullah saw tidak tidak lupa bermain, bercanda-ria dengan istri-istri beliau, meskipun tanggungjawab dan beban berat di pundaknya. Karena rehat, canda akan menyegarkan suasan hati, menggemberakan jiwa, memperbaharui semangat dan mengembalikan fitalitas fisik. فعن عائشة – رضي الله عنها- أنها قالت خرجنا مع رسول الله (صلى الله عليه وسلم) في سفر فنزلنا منزل فقال لها : تعالي حتى أُسابقك قالت: فسابقته فسبقته، وخرجت معه بعد ذلك في سفر آخر فنزلنا منزلا فقال: تعالي حتى أسابقك قالت: فسبقني، فضرب بين كتفي وقال : هذه بتلك). Dari Aisyah ra berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah saw dalam suatu safar. Kami turun di suatu tempat. Beliau memanggil saya dan berkata: “Ayo adu lari” Aisyah berkata: Kami berdua adu lari dan saya pemenangnya. Pada kesempatan safar yang lain, Rasulullah saw mengajak lomba lari. Aisyah berkata: “Pada kali ini beliau mengalahkanku. Maka Rasulullah saw bersabda: “Kemenangan ini untuk membalas kekalahan sebelumnya.” Allahu A’lam Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/03/28/452/muhammad-sebagai-seorang-suami/#ixzz2yob9ZmRW Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Bukan Hanya Aktivitas, Tidurpun harus Berkualitas


Ikhwah fillah, Allah Subhanahu wa ta’ala telah menciptakan manusia sebagai hamba dalam bentuk sebaik-baiknya dibanding makhluk yang lain. Predikat sebaik-baik hamba ini mengandung konsekuensi logis bahwa manusia harus mengabdikan dirinya kepada Allah dalam bentuk yang paling baik pula. Ketika seorang manusia menginjak baligh dan menjadi mukallaf (dikenai beban hukum), maka saat itu pula ia menyerahkan hidupnya dalam pengabdian kepada Sang pencipta. Hidup ini akan bermakna apabila diisi dengan keimanan yang disertai amal perbuatan berupa amal-amal shalih yang telah Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Dan itulah di antara bentuk penghambaan kepada-Nya. Baik dilakukan di siang hari maupun di malamnya. Disela-sela pengabdian diri itu, manusia pasti membutuhkan istirahat sejenak berupa tidur untuk melepas penat dan lelah yang dia rasakan akibat kesibukan aktivitasnya. Bukankah siang hari telah Allah berikan sebagai waktu untuk ia mencari penghidupan, sehingga kecukupan dalam hidup mampu mengantarkannya kepada ketaatan yang tinggi. Begitupun malam yang telah Allah jadikan sebagai waktu mengumpulkan tenaga dan kekuatan lagi agar kuat menghadapi hari berikutnya. Siklus ini telah Allah gambarkan dalam Surat An-Naba’ ayat 9-11, Yaitu : “(9) Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, (10) Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, (11) Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” Tidur merupakan aktivitas rutin yang selalu dilakukan setiap manusia dalam setiap harinya. Kebutuhan ini tidak bisa diganti. Tiada manusia yang bisa hidup tanpa membutuhkan tidur, Yang selalu terjaga dan tidak pernah terlelap. Orang yang tidurnya tidak teratur bahkan kurang, maka akan sangat mempengaruhi kondisi tubuhnya. Misalkan capek, loyo, lunglai, lesu, lemah, sakit dan lain-lain merupakan akibat dari kurangnya tidur. Pada ayat di atas, Malam disebut sebagai pakaian karena malam itu gelap menutupi jagat raya sebagaimana pakaian menutupi tubuh manusia. Kebutuhan akan pakaian tidak bisa dibantah lagi begitupun kebutuhan akan malam hari sebagai waktu melepas penat yang muncul setelah bekerja dan beribadah di siang hari. Pada kondisi ini, seyogyanya tidak berlalu begitu saja. Sia-sia tanpa mampu meraup kebaikan yang bisa didapat. Kebaikan tidur sering kali dianggap sepele bahkan terlupakan oleh sebagian orang. Anggapan remeh dan acuh tak acuh ini, boleh jadi karena belum tahu bagaimana seharusnya tidur yang baik dan bermutu. Banyak di antara kita tidak peduli pada indahnya tidur dalam lindungan Allah Subhanahu wa ta’ala, Padahal kita tidak bisa memastikan keesokan harinya masih dapat menikmati anugerah kehidupan ini atau tidak. Bisa saja Allah tidak mengembalikan ruh yang dicabut ketika tidur. Sehingga persiapan untuk menyerahkan diri kembali dalam sebaik-baik keadaan belum sempat dilakukan. Untuk itu dianjurkan berdoa sebelum kita memejamkan mata di tempat pembaringan. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai suri tauladan kita telah mencontohkan bagaimana tidur yang baik dan berkualitas. Sehingga tidak hanya ibadah mahdhah (murni) seperti shalat, puasa, zakat, dan lain-lain saja yang harus berkualitas, tidur pun perlu berkualitas. Berikut ini adalah di antara doa dan hal-hal yang perlu kita lakukan untuk memperoleh istirahat dan tidur yang berkualitas tersebut sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dari Hudzaifah Radhiallahu ‘anhu ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila akan tidur malam beliau meletakkan tangan di bawah pipi kemudian mengucapkan : “اللهم باسمك أموت وأحيا” “Ya Allah, dengan nama-Mu aku mati dan aku hidup” Dan apabila bangun dari tidur beliau mengucapkan : “الحمد لله الذي أحيانا بعد ما أماتنا واليه النشور” {رواه البخاري} “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami dan kepada-Nya kami kembali” (HR Al-Bukhari). Hadits yang sama juga diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari melalui jalur Abi Dzar Radhiallahu ‘anhu. Sedangkan imam Muslim meriwayatkan dari Al-Barra bin ‘Azib Radhiallahu ‘anhu, sama seperti hadits riwayat Hudzaifah tersebut. Sedangkan dari Aisyah Radhiallahu ‘anha sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam apabila akan mulai tidur setiap malam, beliau sambil membaca : Qul huwallahu ahad, Qul a’udzubirabbil falaq, Qul a’udzubirabbin naas, kemudian mengusap dengan kedua tangan ke seluruh badannya, mulai dari atas kepala dan muka melalui bagian depan dari tubuhnya, sebanyak tiga kali. Ibnu Mas’ud Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda : “من قرأ الآيتين من آخر سورة البقرة في ليلة كفتاه {رواه مسلم} “Siapa saja yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah maka telah cukup baginya” (HR Muslim) Begitupun riwayat lain dari Al-Barra bin ‘Adzib Radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Apabila kamu mendatangi tempat tidurmu maka berwudhulah sebagaimana wudhu’mu untuk shalat kemudian rebahkan tubuhmu dengan posisi miring ke kanan dan bacalah : اللّهم أسلمت نفسي اليك ووجّهت وجهي اليك وفوّضت أمري اليك وألجأت ظهري اليك رغبة ورهبة اليك لا ملجأ ولا منجا منك الاّ اليك. اللهم آمنت بكتابك الذي أنزلت ونبيّك الذي أرسلت, فان متّ في ليلتك متّ على الفطرة “Ya Allah, aku serahkan diriku kepada-Mu, aku hadapkan wajahku kepada-Mu, aku serahkan urusanku kepada-Mu, dan aku sandarkan punggungku karena Engkau dengan rasa cinta dan takut kepada-Mu, tiada tempat mengadu dan tiada tempat memohon melainkan kepada-Mu. Ya Allah, aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus. Apabila kamu mati pada malam itu, maka kamu mati dalam keadaan fitrah (suci).” Jadikanlah bacaan-bacaan ini sebagai akhir apa yang kamu ucapkan (HR Al-Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat Muslim dengan lafazh; dan jadikanlah bacaan-bacaan itu akhir ucapanmu”. Dari Ali Radhiallahu ‘anhu bahwa Fatimah datang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk meminta pembantu tetapi yang ia dapati hanya Aisyah Radhiallahu ‘anha, maka Fatimah memberitahukan kepadanya. Ali Berkata: “kemudian Nabi datang, sedangkan kami telah mulai berbaring. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Maukah aku tunjukkan kepada kamu berdua tentang sesuatu yang lebih baik bagi kamu berdua daripada seorang pembantu? Apabila kamu hendak memulai tidurmu, maka bertasbihlah 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 34 kali. Maka sesungguhnya hal itu lebih baik bagi kamu berdua daripada seorang pembantu”. Ali berkata: “tidak pernah aku tinggalkan hal tersebut semenjak aku mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam” (HR Bukhari dan Muslim). Demikianlah di antara tuntunan dan Doa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila beliau hendak tidur di pembaringannya. Jika kita mengamalkan, dan mendawamkan doa-doa tersebut di setiap hendak tidur niscaya tidur kita akan berkualitas dan menjadi berkah, baik berupa penjagaan dan lindungan Allah Subhanahu wa ta’ala maupun kebaikan yang lainnya. Wallahu a’lam bish-shawab. Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/03/25/48404/bukan-hanya-aktivitas-tidurpun-harus-berkualitas/#ixzz2yoXvi8JZ Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Bekal Menjadi Ibu Profesional


Peradaban berawal dari seorang wanita. Karena ia adalah sekolah pertama bagi manusia yang dilahirkannya. Darinya seorang anak belajar tentang nilai-nilai dasar kehidupan. Maka tak heran jika Allah meletakkan surga-Nya dibawah telapak kaki seorang ibu. Itulah sebuah penghormatan besar dari Allah untuk seorang ibu yang dengan ikhlas dan cerdas mendidik anak-anaknya. Tapi saat ini, banyak wanita yang cenderung mengesampingkan pekerjaan utamanya sebagai ibu. Padahal pekerjaan sebagai ibu adalah pekerjaan mulia yang jika dijalani secara professional akan memperoleh hasil yang sangat besar. Tidak hanya anak-anak hebat dan keluarga bahagia, tapi juga bisa memberi efek lain seperti yang dialami oleh Ibu Septi Peni Wulandari, pemilik komunitas Ibu Profesional yang berpusat di Salatiga, Jawa Tengah. Ibu Septi Peni Wulandari adalah salah satu wanita yang dengan bangga menyatakan bahwa dirinya berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga Profesional. Berawal dari pesan suaminya, ”Bersungguh-sungguhlah kamu di dalam, maka Allah akan menguatkanmu di luar”. Maksud dari pesan suaminya adalah ketika seorang istri/ibu bersungguh-sungguh dalam menjalankan kewajibannya sebagai istri dan ibu maka ia tidak hanya akan mendapatkan keluarga yang bahagia dan anak yang hebat, tapi Allah juga akan menguatkan posisinya di masyarakat. Kesungguhan dalam mendidik anak, dan menjadi manajer keluarga mengantarkan beliau pada kesuksesan ditengah masyarakat, beliau berhasil mendirikan sebuah komunitas Ibu Profesional, bimbingan belajar Jarimatika, Jari Quran, Abacabaca dan mendirikan School of life Lebah Putih. Bu Septi telah mematahkan ketakutan kaum wanita yang sering berpikiran bahwa menjadikan Ibu Rumah Tangga sebagai profesi bukan pilihan yang tepat. Ibu Rumah Tangga Profesional berbeda dengan ibu rumah tangga biasa. Ibu Rumah Tangga Profesional menjadikan rumahnya sebagai tempat bekerja, dan keluarga adalah ranah kerjanya. Membersihkan rumah, mengajari anak belajar, berkumpul bersama keluarga, semua ada jadwalnya. Manajemen keuangan, manajemen gizi dan kesehatan keluarga beliau atur dengan seksama. Namun, tentu saja beliau tidak sendiri. Pak Dodi sebagai suami selalu menguatkan beliau. Pak Dodi dan Bu Septi yang mantan aktivis kampus berusaha menjalankan tugas dalam keluarga secara professional sebagaimana menjalankan organisasi di kampus. Status sebagai istri/ibu bukanlah status sepele. Tanggungjawabnya besar dan perlu kecerdasan dalam menjalaninya. Maka persiapannya pun perlu dilakukan jauh-jauh sebelum meninggalkan masa lajang. “Wanita yang baik pasti akan mendapat lelaki yang baik”, itulah sebuah konsep perjodohan yang tidak boleh dilupakan. Kita sama sekali tidak tahu siapa yang akan menjadi jodoh kita kelak. Harapan kita tentu saja mendapat jodoh yang baik supaya bisa menjadi supporting system ketika kita menjalankan tugas sebagai Ibu Rumah Tangga profesional. Dengan konsep di atas, maka ikhtiar utama kita untuk mendapat jodoh yang baik adalah dengan membuat diri kita baik terlebih dahulu. Menyimpulkan dari kisah ibu Septi, persiapan menjadi ibu professional mencakup beberapa hal. Yaitu mimpi, mental dan keyakinan, ilmu dan finansial. Mimpi Mimpi adalah kekuatan untuk mempertahankan konsistensi. Mimpi harus dibuat dengan baik dan kuat sebelum kita melangkah. Jika tidak memiliki mimpi, maka hidup kita justru akan disibukkan untuk menyukseskan mimpi orang lain. Baik itu orang tua atau orang-orang terdekat kita. “Untuk apa kita menjadi Ibu Rumah Tangga Profesional?” Itulah pertanyaan mendasar yang perlu kita jawab. Kita harus menyadari bahwa anak sangatlah membutuhkan sosok ibu yang cerdas, ia memerlukan pendidikan eksklusif dari ibu sampai umurnya 12 tahun atau sampai ia benar-benar mengerti nilai-nilai dasar kehidupan. Sehingga ketika kelak dewasa, ia bisa menjalani hidupnya dengan baik. Jika dalam usia belasan anak sudah “dewasa”, maka kita justru akan bisa menikmati “pensiun dini”. Menikmati honeymoon dengan suami atau melanjutkan usaha penaklukan mimpi-mimpi lain tanpa perlu mengkhawatirkan nasib anak. Namun bukan berarti kita lepas sepenuhnya. Masih perlu adanya kontrol dan penjagaan. Sehingga sangat perlu ditanamkan keterbukaan dalam keluarga. Mental dan keyakinan Persiapan mental dan keyakinan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Menjadi ibu profesional bukanlah sesuatu yang mudah. Perlu konsistensi dan keyakinan yang kuat. Mengingat profesi sebagai ibu rumah tangga adalah sesuatu yang sering dilihat sebelah mata. Akan banyak pihak yang menentang. Mungkin keluarga kita atau orang-orang di sekitar kita yang belum paham . Jika tidak kuat mental, kita akan dengan mudah termakan omongan orang lain sehingga akan melemahkan mimpi kita. Keyakinan adalah kekuatan jiwa, dan kekuatan jiwa hanya diperoleh jika kita dekat dengan Allah Yang Mahakuat. Ilmu Ilmu yang perlu dipersiapkan adalah berbagai hal teoritis dan praktis yang menunjang profesi sebagai ibu rumah tangga. Mulai dari memasak, merawat kebersihan rumah, manajeman keuangan, manajemen gizi dan kesehatan, psikologi anak, dsb. Kadang ketika memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, kita merasa tidak perlu sekolah tinggi. Padahal hal itu adalah anggapan yang salah. Justru, kita harus sekolah setinggi-tingginya. Karena ilmu kita, apapun itu akan sangat bermanfaat untuk anak-anak kita kelak. Salah satu indikator seseorang dikatakan bijak adalah kemampuan memahami sesuatu tanpa mengalami. Bagi kita yang masih lajang, tentu tidak pernah mengalami yang namanya menjadi istri/ibu. Oleh karena itu, kita perlu banyak belajar dari orang-orang yang pernah mengalaminya. Finansial Dalam hal finansial, alangkah lebih baik jika kita bisa merintis usaha jauh sebelum pernikahan. Sehingga ketika menikah, kita sudah tidak mengkhawatirkan tentang ekonomi. Jika sudah siap ilmu, mental dan dilengkapi dengan finansial, maka kita sudah benar-benar siap menjalankan tugas sebagai Ibu Rumah Tangga professional. Hasil dari kerja kita sebagai Ibu Profesional dapat dilihat ketika anak sudah dewasa. Menjadi orang tua yang sukses adalah dambaan kita. Jangan sampai kelak kita menjadi orang tua yang menyesal karena tidak mendidik anak dengan baik. Jangan sampai kita menjadi orang tua yang menjadikan anak sebagai mesin penyukses mimpi kita. Jangan sampai kelak kita menjadi orang tua yang dilema antara harus ikut campur urusan rumah tangga anak atau membiarkanya karena ia merasa belum memberi bekal yang cukup pada anaknya. Begitu strategisnya peran sebagai ibu. Masa depan anak dan keluarga ada di tangannya. Maka bagi calon ibu, belajar sejak dini adalah kunci agar ketika menjadi ibu nanti dapat mendidik anak dengan baik dan mengurus rumah tangga secara profesional. Jika semua calon ibu saat ini memiliki mimpi menjadi Ibu Profesional, maka dapat dipastikan pada 20-30 tahun ke depan Indonesia akan dipenuhi dengan SDM yang matang dan kuat. Wallahu a’lam bis shawab Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/04/11/49428/bekal-menjadi-ibu-profesional/#ixzz2yoRojkuf Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Jumat, 11 April 2014

Empat Kunci Rumah Tangga Harmonis


Harmonis adalah perpaduan dari berbagai warna karakter yang membentuk kekuatan eksistensi sebuah benda. Perpaduan inilah yang membuat warna apa pun bisa cocok menjadi rangkaian yang indah dan serasi. Warna hitam, misalnya, kalau berdiri sendiri akan menimbulkan kesan suram dan dingin. Jarang orang menyukai warna hitam secara berdiri sendiri. Tapi, jika berpadu dengan warna putih, akan memberikan corak tersendiri yang bisa menghilangkan kesan suram dan dingin tadi. Perpaduan hitam-putih jika ditata secara apik, akan menimbulkan kesan dinamis, gairah, dan hangat. Seperti itulah seharusnya rumah tangga dikelola. Rumah tangga merupakan perpaduan antara berbagai warna karakter. Ada karakter pria, wanita, anak-anak, bahkan mertua. Dan tak ada satu pun manusia di dunia ini yang bisa menjamin bahwa semua karakter itu serba sempurna. Pasti ada kelebihan dan kekurangan. Nah, di situlah letak keharmonisan. Tidak akan terbentuk irama yang indah tanpa adanya keharmonisan antara nada rendah dan tinggi. Tinggi rendah nada ternyata mampu melahirkan berjuta-juta lagu yang indah. Dalam rumah tangga, segala kekurangan dan kelebihan saling berpadu. Kadang pihak suami yang bernada rendah, kadang isteri bernada tinggi. Di sinilah suami-isteri dituntut untuk menciptakan keharmonisan dengan mengisi kekosongan-kekosongan yang ada di antar mereka. Ada empat hal yang mesti diperhatikan untuk menciptakan keharmonisan rumah tangga.keempatnya adalah: 1. Jangan melihat ke belakang Jangan pernah mengungkit-ungkit alasan saat awal menikah. “Kenapa saya waktu itu mau nerima aja, ya? Kenapa nggak saya tolak?” Buang jauh-jauh lintasan pikiran ini. Langkah itu sama sekali tidak akan menghasilkan perubahan. Justru, akan menyeret ketidakharmonisan yang bermula dari masalah sepele menjadi pelik dan kusut. Jika rasa penyesalan berlarut, tidak tertutup kemungkinan ketidakharmonisan berujung pada perceraian. Karena itu, hadapilah kenyataan yang saat ini kita hadapi. Inilah masalah kita. Jangan lari dari masalah dengan melongkok ke belakang. Atau, na’udzubillah, membayangkan sosok lain di luar pasangan kita. Hal ini akan membuka pintu setan sehingga kian meracuni pikiran kita. 2. Berpikir objektif Kadang, konflik bisa menyeret hal lain yang sebetulnya tidak terlibat. Ini terjadi karena konflik disikapi dengan emosional. Apalagi sudah melibatkan pihak ketiga yang mengetahui masalah internal rumah tangga tidak secara utuh. Jadi, cobalah lokalisir masalah pada pagarnya. Lebih bagus lagi jika dalam memetakan masalah ini dilakukan dengan kerjasama dua belah pihak yang bersengketa. Tentu akan ada inti masalah yang perlu dibenahi. Misalnya, masalah kurang penghasilan dari pihak suami. Jangan disikapi emosional sehingga menyeret masalah lain. Misalnya, suami yang tidak becus mencari duit atau suami dituduh sebagai pemalas. Kalau ini terjadi, reaksi balik pun terjadi. Suami akan berteriak bahwa si isteri bawel, materialistis, dan kurang pengertian. Padahal kalau mau objektif, masalah kurang penghasilan bisa disiasati dengan kerjasama semua pihak dalam rumah tangga. Tidak tertutup kemungkinan, isteri pun ikut mencari penghasilan, bahkan bisa sekaligus melatih kemandirian anak-anak. 3. Lihat kelebihan pasangan, jangan sebaliknya Untuk menumbuhkan rasa optimistis, lihatlah kelebihan pasangan kita. Jangan sebaliknya, mengungkit-ungkit kekurangan yang dimiliki. Imajinasi dari sebuah benda, bergantung pada bagaimana kita meletakkan sudut pandangnya. Mungkin secara materi dan fisik, pasangan kita mempunyai banyak kekurangan. Rasanya sulit sekali mencari kelebihannya. Tapi, di sinilah uniknya berumah tangga. Bagaimana mungkin sebuah pasangan suami isteri yang tidak saling cinta bisa punya anak lebih dari satu. Berarti, ada satu atau dua kelebihan yang kita sembunyikan dari pasangan kita. Paling tidak, niat ikhlas dia dalam mendampingi kita karena Allah sudah merupakan kelebihan yang tiada tara. Luar biasa nilainya di sisi Allah. Nah, dari situlah kita memandang. Sambil jalan, segala kekurangan pasangan kita itu dilengkapi dengan kelebihan yang kita miliki. Bukan malah menjatuhkan atau melemahkan semangat untuk berubah. 4. Sertakan sakralitas berumah tangga Salah satu pijakan yang paling utama seorang rela berumah tangga adalah karena adanya ketaatan pada syariat Allah. Padahal, kalau menurut hitung-hitungan materi, berumah tangga itu melelahkan. Justru di situlah nilai pahala yang Allah janjikan. Ketika masalah nyaris tidak menemui ujung pangkalnya, kembalikanlah itu kepada sang pemilik masalah, Allah swt. Pasangkan rasa baik sangka kepada Allah swt. Tataplah hikmah di balik masalah. Insya Allah, ada kebaikan dari semua masalah yang kita hadapi. Lakukanlah pendekatan ubudiyah. Jangan bosan dengan doa. Bisa jadi, dengan taqarrub pada Allah, masalah yang berat bisa terlihat ringan. Dan secara otomatis, solusi akan terlihat di depan mata. Insya Allah! Sumber: http://www.dakwatuna.com/2007/01/29/86/4-kunci-rumah-tangga-harmonis/#ixzz2yYseovf7 Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Menikah, Kenapa Takut?


Kita hidup di zaman yang mengajarkan pergaulan bebas, menonjolkan aurat, dan mempertontonkan perzinaan. Bila mereka berani kepada Allah dengan melakukan tindakan yang tidak hanya merusak diri, melainkan juga menghancurkan institusi rumah tangga, mengapa kita takut untuk mentaati Allah dengan membangun rumah tangga yang kokoh? Bila kita beralasan ada resiko yang harus dipikul setelah menikah, bukankah perzinaan juga punya segudang resiko? Bahkan resikonya lebih besar. Bukankankah melajang ada juga resikonya? Hidup, bagaimanapun adalah sebuah resiko. Mati pun resiko. Yang tidak ada resikonya adalah bahwa kita tidak dilahirkan ke dunia. Tetapi kalau kita berpikir bagaimana lari dari resiko, itu pemecahan yang mustahil. Allah tidak pernah mengajarkan kita agar mencari pemecahan yang mustahil. Bila ternyata segala sesuatu ada resikonya, maksiat maupun taat, mengapa kita tidak segera melangkah kepada sikap yang resikonya lebih baik? Sudah barang tentu bahwa resiko pernikahan lebih baik daripada resiko pergaulan bebas (baca: zina). Karenanya Allah mengajarkan pernikahan dan menolak perzinaan. Saya sering ngobrol, dengan kawaan-kawan yang masih melajang, padahal ia mampu untuk menikah. Setelah saya kejar alasannya, ternyata semua alasan itu tidak berpijak pada fondasi yang kuat: ada yang beralasan untuk mengumpulkan bekal terlebih dahulu, ada yang beralasan untuk mencari ilmu dulu, dan lain sebagainya. Berikut ini kita akan mengulas mengenai mengapa kita harus segera menikah? Sekaligus di celah pembahasan saya akan menjawab atas beberapa alasan yang pernah mereka kemukakan untuk membenarkan sikap. Menikah itu Fitrah Allah Taala menegakkan sunnah-Nya di alam ini atas dasar berpasang-pasangan. Wa min kulli syai’in khalaqnaa zaujain, dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan (Adz-Dzariyaat: 49). Ada siang ada malam, ada laki ada perempuan. Masing-masing memerankan fungsinya sesuai dengan tujuan utama yang telah Allah rencanakan. Tidak ada dari sunnah tersebut yang Allah ubah, kapanpun dan di manapun berada. Walan tajida lisunnatillah tabdilla, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah (Al-Ahzab: 62). Walan tajida lisunnatillah tahwiila, dan kamu tidak akan mendapati perubahan bagi ketetapan kami itu. (Al-Isra: 77) Dengan melanggar sunnah itu berarti kita telah meletakkan diri pada posisi bahaya. Karena tidak mungkin Allah meletakkan sebuah sunnah tanpa ada kesatuan dan keterkaitan dengan sIstem lainnya yang bekerja secara sempurna secara universal. Manusia dengan kecanggihan ilmu dan peradabannya yang dicapai, tidak akan pernah mampu menggantikan sunnah ini dengan cara lain yang dikarang otaknya sendiri. Mengapa? Sebab, Allah swt. telah membekali masing-masing manusia dengan fitrah yang sejalan dengan sunnah tersebut. Melanggar sunnah artinya menentang fitrahnya sendiri. Bila sikap menentang fitrah ini terus-menerus dilakukan, maka yang akan menanggung resikonya adalah manusia itu sendiri. Secara kasat mata, di antara yang paling tampak dari rahasia sunnah berpasang-pasangan ini adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia dari masa ke masa sampai titik waktu yang telah Allah tentukan. Bila institusi pernikahan dihilangkan, bisa dipastikan bahwa mansuia telah musnah sejak ratusan abad yang silam. Mungkin ada yang nyeletuk, tapi kalau hanya untuk mempertahankan keturunan tidak mesti dengan cara menikah. Dengan pergaulan bebas pun bisa. Anda bisa berkata demikian. Tetapi ada sisi lain dari fitrah yang juga Allah berikan kepada masing-masing manusia, yaitu: cinta dan kasih sayang, mawaddah wa rahmah. Kedua sisi fitrah ini tidak akan pernah mungkin tercapai dengan hanya semata pergaulan bebas. Melainkan harus diikat dengan tali yang Allah ajarkan, yaitu pernikahan. Karena itulah Allah memerintahkan agar kita menikah. Sebab itulah yang paling tepat menurut Allah dalam memenuhi tuntutan fitrah tersebut. Tentu tidak ada bimbingan yang lebih sempurna dan membahagiakan lebih dari daripada bimbingan Allah. Allah berfirman fankihuu, dengan kata perintah. Ini menunjukan pentingnya hakikat pernikahan bagi manusia. Jika membahayakan, tidak mungkin Allah perintahkan. Malah yang Allah larang adalah perzinaan. Walaa taqrabuzzina, dan janganlah kamu mendekati zina (Al-Israa: 32). Ini menegaskan bahwa setiap yang mendekatkan kepada perzinaan adalah haram, apalagi melakukannya. Mengapa? Sebab Allah menginginkan agar manusia hidup bahagia, aman, dan sentosa sesuai dengan fitrahnya. Mendekati zina dengan cara apapun, adalah proses penggerogotan terhadap fitrah. Dan sudah terbukti bahwa pergaulan bebas telah melahirkan banyak bencana. Tidak saja pada hancurnya harga diri sebagai manusia, melainkan juga hancurnya kemanusiaan itu sendiri. Tidak jarang kasus seorang ibu yang membuang janinnya ke selokan, ke tong sampah, bahkan dengan sengaja membunuhnya, hanya karena merasa malu menggendong anaknya dari hasil zina. Perhatikan bagaimanan akibat yang harus diterima ketika institusi pernikahan sebagai fitrah diabaikan. Bisa dibayangkan apa akibat yang akan terjadi jika semua manusia melakukan cara yang sama. Ustadz Fuad Shaleh dalam bukunya liman yuridduz zawaj mengatakan, “Orang yang hidup melajang biasanya sering tidak normal: baik cara berpikir, impian, dan sikapnya. Ia mudah terpedaya oleh syetan, lebih dari mereka yang telah menikah.” Menikah Itu Ibadah Dalam surat Ar-Rum: 21, Allah menyebutkan pentingnya mempertahankan hakikat pernikahan dengan sederet bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta. Ini menunjukkan bahwa dengan menikah kita telah menegakkan satu sisi dari bukti kekusaan Allah swt. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. lebih menguatkan makna pernikahan sebagai ibadah, “Bila seorang menikah berarti ia telah melengkapi separuh dari agamanya, maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah pada paruh yang tersisa.” (HR. Baihaqi, hadits Hasan) Belum lagi dari sisi ibadah sosial. Dimana sebelum menikah kita lebih sibuk dengan dirinya, tapi setelah menikah kita bisa saling melengkapi, mendidik istri dan anak. Semua itu merupakan lapangan pahala yang tak terhingga. Bahkan dengan menikah, seseorang akan lebih terjaga moralnya dari hal-hal yang mendekati perzinaan. Alquran menyebut orang yang telah menikah dengan istilah muhshan atau muhshanah (orang yang terbentengi). Istilah ini sangat kuat dan menggambarkan bahwa kepribadian orang yang telah menikah lebih terjaga dari dosa daripada mereka yang belum menikah. Bila ternyata pernikahan menunjukkan bukti kekuasan Allah, membantu tercapainya sifat takwa. dan menjaga diri dari tindakan amoral, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan merupakan salah satu ibadah yang tidak kalah pahalanya dengan ibadah-ibadah lainnya. Jika ternyata Anda setiap hari bisa menegakkan ibadah shalat, dengan tenang tanpa merasa terbebani, mengapa Anda merasa berat dan selalu menunda untuk menegakkan ibadah pernikahan, wong ini ibadah dan itupun juga ibadah. Pernikahan dan Penghasilan Seringkali saya mendapatkan seorang jejaka yang sudah tiba waktu menikah, jika ditanya mengapa tidak menikah, ia menjawab belum mempunyai penghasilan yang cukup. Padahal waktu itu ia sudah bekerja. Bahkan ia mampu membeli motor dan HP. Tidak sedikit dari mereka yang mempunyai mobil. Setiap hari ia harus memengeluarkan biaya yang cukup besar dari penggunakan HP, motor, dan mobil tersebut. Bila setiap orang berpikir demikian apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia? Saya belum pernah menemukan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. melarang seorang sahabatnya yang ingin menikah karena tidak punya penghasilan. Bahkan dalam beberapa riwayat yang pernah saya baca, Rasulullah saw. bila didatangi seorang sahabatnya yang ingin menikah, ia tidak menanyakan berapa penghasilan yang diperoleh perbulan, melainkan apa yang ia punya untuk dijadikan mahar. Mungkin ia mempunyai cincin besi? Jika tidak, mungkin ada pakaiannya yang lebih? Jika tidak, malah ada yang hanya diajarkan agar membayar maharnya dengan menghafal sebagian surat Alquran. Apa yang tergambar dari kenyatan tersebut adalah bahwa Rasulullah saw. tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai masalah, melainkan sebagai pemecah persoalan. Bahwa pernikahan bukan sebuah beban, melainkan tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan Anda terhadap makan, manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada sebagian ulama yang tidak menikah sampai akhir hayatnya seperti yang terkumpul dalam buku Al-ulamaul uzzab alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj. Tetapi, itu bukan untuk diikuti semua orang. Itu adalah perkecualian. Sebab, Rasulullah saw. pernah melarang seorang sahabatanya yang ingin hanya beribadah tanpa menikah, lalu menegaskan bahwa ia juga beribadah tetapi ia juga menikah. Di sini jelas sekali bagaimana Rasulullah saw. selalu menuntun kita agar berjalan dengan fitrah yang telah Allah bekalkan tanpa merasakan beban sedikit pun. Memang masalah penghasilan hampir selalu menghantui setiap para jejaka muda maupun tua dalam memasuki wilayah pernikahan. Sebab yang terbayang bagi mereka ketika menikah adalah keharusan membangun rumah, memiliki kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu semua menuntut biaya yang tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti dalam sejarah hidup manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak dari mereka yang menikah sambil mencari nafkah. Artinya, tidak dengan memapankan diri secara ekonomi terlebih dahulu. Dan ternyata mereka bisa hidup dan beranak-pinak. Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan persyaratan utama bagi sesorang untuk memasuki dunia pernikahan. Mengapa? Sebab, ada pintu-pintu rezeki yang Allah sediakan setelah pernikahan. Artinya, untuk meraih jatah rezki tersebut pintu masuknya menikah dulu. Jika tidak, rezki itu tidak akan cair. Inilah pengertian ayat iyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim, jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha mengetahui (An-Nur: 32). Ini adalah jaminan langsung dari Allah, agar masalah penghasilan tidak dikaitkan dengan pernikahan. Artinya, masalah rezki satu hal dan pernikahan hal yang lain lagi. Abu Bakar Ash-Shidiq ketika menafsirkan ayat itu berkata, “Taatilah Allah dengan menikah. Allah akan memenuhi janjinya dengan memberimu kekayaan yang cukup.” Al-Qurthubi berkata, “Ini adalah janji Allah untuk memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk mencapai ridha Allah, dan menjaga diri dari kemaksiatan.” (lihat Tafsirul Quthubi, Al Jami’ liahkamil Qur’an juz 12 hal. 160, Darul Kutubil Ilmiah, Beirut). Rasulullah saw. pernah mendorong seorang sahabatnya dengan berkata, “Menikahlah dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan ridhaNya, Allah pasti akan membantu dan memberkahi.” (HR. Thabarni). Dalam hadits lain disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di antaranya: “Orang menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” (HR. Turmudzi dan Nasa’i) Imam Thawus pernah berkata kepada Ibrahim bin Maysarah, “Menikahlah segera, atau saya akan mengulang perkataan Umar Bin Khattab kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu dari pernikahaan kecuali kelemahanmu atau perbuatan maksiat.” (lihat Siyar A’lamun Nubala’ oleh Imam Adz Dzahaby). Ini semua secara makna menguatkan pengertian ayat di atas. Di mana Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang bertakwa kepada Allah dengan membangun pernikahan. Persoalannya sekarangan, mengapa banyak orang berkeluarga yang hidup melarat? Kenyataan ini mungkin membuat banyak jejaka berpikir dua kali untuk menikah. Dalam masalah nasib kita tidak bisa mengeneralisir apa yang terjadi pada sebagian orang. Sebab, masing-masing ada garis nasibnya. Kalau itu pertanyaanya, kita juga bisa bertanya: mengapa Anda bertanya demikian? Bagaimana kalau Anda melihat fakta yang lain lagi bahwa banyak orang yang tadinya melarat dan ternyata setelah menikah hidupnya lebih makmur? Dari sini bahwa pernikahan bukan hambatan, dan kemapanan penghasilan bukan sebuah persyaratan utama. Yang paling penting adalah kesiapan mental dan kesungguhan untuk memikul tanggung jawab tersebut secara maksimal. Saya yakin bahwa setiap perbuatan ada tanggung jawabnya. Berzina pun bukan berarti setelah itu selesai dan bebas tanggungjawab. Melainkan setelah itu ia harus memikul beban berat akibat kemaksiatan dan perzinaan. Kalau tidak harus mengasuh anak zina, ia harus menanggung dosa zina. Keduanya tanggung jawab yang kalau ditimbang-timbang, tidak kalah beratnya dengan tanggung jawab pernikahan. Bahkan tanggung jawab menikah jauh lebih ringan, karena masing-masing dari suami istri saling melengkapi dan saling menopang. Ditambah lagi bahwa masing-masing ada jatah rezekinya yang Allah sediakan. Tidak jarang seorang suami yang bisa keluar dari kesulitan ekonomi karena jatah rezeki seorang istri. Bahkan ada sebuah rumah tangga yang jatah rezekinya ditopang oleh anaknya. Perhatikan bagaimana keberkahan pernikahan yang tidak hanya saling menopang dalam mentaati Allah, melainkan juga dalam sisi ekonomi. Pernikahan dan Menuntut Ilmu Seorang kawan pernah mengatakan, ia ingin mencari ilmu terlebih dahulu, baru setelah itu menikah. Anehnya, ia tidak habis-habis mencari ilmu. Hampir semua universitas ia cicipi. Usianya sudah begitu lanjut. Bila ditanya kapan menikah, ia menjawab: saya belum selesai mencari ilmu. Ada sebuah pepatah diucapkan para ulama dalam hal mencari ilmu: lau anffaqta kullaha lan tashila illa ilaa ba’dhiha, seandainya kau infakkan semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau tidak akan mendapatkannya kecuali hanya sebagiannya. Dunia ilmu sangat luas. Seumur hidup kita tidak akan pernah mampu menelusuri semua ilmu. Sementara menikah adalah tuntutan fitrah. Karenanya, tidak ada aturan dalam Islam agar kita mencari ilmu dulu baru setelah itu menikah. Banyak para ulama yang menikah juga mencari ilmu. Benar, hubungan mencari ilmu di sini sangat berkait erat dengan penghasilan. Tetapi banyak sarjana yang telah menyelesaikan program studinya bahkan ada yang sudah doktor atau profesor, tetapi masih juga pengangguran dan belum mendapatkan pekerjaan. Artinya, menyelesaikan periode studi juga bukan jaminan untuk mendapatkan penghasilan. Sementara pernikahan selalu mendesak tanpa semuanya itu. Di dalam Alquran maupun Sunnah, tidak ada tuntunan keharusan menunda pernikahan demi mencari ilmu atau mencari harta. Bahkan, banyak ayat dan hadits berupa panggilan untuk segera menikah, terlepas apakah kita sedang mencari ilmu atau belum mempunyai penghasilan. Berbagai pengalaman membuktikan bahwa menikah tidak menghalangi seorang dalam mencari ilmu. Banyak sarjana yang berhasil dalam mencari ilmu sambil menikah. Begitu juga banyak yang gagal. Artinya, semua itu tergantung kemauan orangnya. Bila ia menikah dan tetap berkemauan tinggi untuk mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika setelah menikah kemauannya mencari ilmu melemah, ia gagal. Pada intinya, pernikahan adalah bagian dari kehidupan yang harus juga mendapatkan porsinya. Perjuangan seseorang akan lebih bermakna ketika ia berjuang juga menegakkan rumah tungga yang Islami. Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang sangat mengagumkan dalam masalah pernikahan. Beliau menikah dengan sembilan istri. Padahal beliau secara ekonmi bukan seorang raja atau konglomerat. Tetapi semua itu Rasulullah jalani dengan tenang dan tidak membuat tugas-tugas kerasulannya terbengkalai. Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan hal yang harus dipermasalahkan, melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang yang cerdas sebenarnya tidak perlu didorong untuk menikah, sebab Allah telah menciptakan gelora fitrah yang luar biasa dalam dirinya. Dan itu tidak bisa dipungkiri. Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain mengenai gelora ini. Dan ia sendiri yang menanggung perih dan kegelisahan gelora ini jika ia terus ditahan-tahan. Untuk memenuhi tuntutan gelora itu, tidak mesti harus selesai study dulu. Itu bisa ia lakukan sambil berjalan. Kalaupun Anda ingin mengambil langkah seperti para ulama yang tidak menikah (uzzab) demi ilmu, silahkan saja. Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-benar seperti para ulama itu? Jika tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu tidak maksimal, menikah juga tidak. Bila para ulama uzzab karena saking sibuknya dengan ilmu sampai tidak sempat menikah, apakah Anda telah mencapai kesibukan para ulama itu sehingga Anda tidak ada waktu untuk menikah? Dari sini jika benar-benar ingin ikut jejak ulama uzzab, yang diikuti jangan hanya tidak menikahnya, melainkan tingkat pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang. Kesimpulan Sebenarnya pernikahan bukan masalah. Menikah adalah jenjang yang harus dilalui dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah yang tidak mungkin diganti dengan cara apapun. Bila Rasulullah menganjurkan agar berpuasa, itu hanyalah solusi sementara, ketika kondisi memang benar-benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam kondisi normal, sebenarnya tidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakan untuk menunda pernikahan. Agar pernikahan menjadi solusi alternatif, mari kita pindah dari pengertian “pernikahan sebagai beban” ke “pernikahan sebagai ibadah”. Seperti kita merasa senang menegakkan shalat saat tiba waktunya dan menjalankan puasa saat tiba Ramadhan, kita juga seharusnya merasa senang memasuki dunia pernikahan saat tiba waktunya dengan tanpa beban. Apapun kondisi ekonomi kita, bila keharusan menikah telah tiba “jalani saja dengan jiwa tawakkal kepada Allah”. Sudah terbukti, orang-orang bisa menikah sambil mencari nafkah. Allah tidak akan pernah membiarkan hambaNya yang berjuang di jalanNya untuk membangun rumah tangga sejati. Perhatikan mereka yang suka berbuat maksiat atau berzina. Mereka begitu berani mengerjakan itu semua padahal perbuatan itu tidak hanya dibenci banyak manusia, melainkan lebih dari itu dibenci Allah. Bahkan Allah mengancam mereka dengan siksaan yang pedih. Melihat kenyataan ini, seharusnya kita lebih berani berlomba menegakkan pernikahan, untuk mengimbangi mereka. Terlebih Allah menjanjikan kekayaan suatu jaminan yang luar biasa bagi mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan membangun pernikahan. Wallahu a’lam bishshawab. <> Sumber: http://www.dakwatuna.com/2007/02/06/92/menikah-mengapa-takut/#ixzz2yYgH49X6 Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Sepasang Suami-Istri Teladan


Masyarakat Islam bagaikan bangunan kokoh. Keluarga bukan saja sebagai sendi terpenting dalam bangunan tersebut, tetapi uga menjadi unsur pokok bagi eksistensi umat Islam secara keseluruhan. Karena itu, agama Islam memberikan perhatian khusus masalah pembentukan keluarga. Perhatian istimewa terhadap pembentukan keluarga tersebut tercermin dalam beberapa hal, yaitu: Pertama, Al-Qur’an menjabarkan cukup terinci tentang pembentukan keluarga ini. Ayat-ayat tentang pembinaan keluarga termasuk paling banyak jumlahnya dibandingkan dengan ayat-ayat yang menjelaskan masalah lain. Al-Qur’an menjelaskan tentang keutamaan menikah, perintah menikah, pergaulan suami-istri, menyusui anak, dan sebagainya. Kedua, sejak dini As-Sunah telah mengajarkan takwinul usrah yang shalihah dengan cara memilih calon mempelai yang shalihah. Rasulullah saw. bersabda, “Pilihlah tempat untuk menanam benihmu karena sesungguhnya tabiat seseorang bisa menurun ke anak.” Rasulullah Suami Teladan Rasulullah saw. sejak masa remaja sudah terkenal sebagai orang yang bersih dan berbudi mulia. Ketika beliau menginjak usia 25 tahun menikahi Khadijah binti Khuwailid. Sejak saat itulah beliau mengarungi kehidupan rumah tangga bahagia penuh ketentraman dan ketenangan. Rasulullah saw. amat menghormati wanita, lebih-lebih istrinya. Beliau bersabda, “Tidaklah orang yang memuliakan wanita kecuali orang yang mulia; dan tidaklah yang menghinakannya kecuali orang yang hina.” Menghormati istri adalah kewajiban suami. Al-Qur’an berkali-kali memerintahkan agar menghormati dan berbuat baik terhadap istri. Kita tidak mendapatkan kata-kata dalam Al-Qur’an yang mengharuskan untuk berbuat baik dalam menggauli istri, baik dalam keadaan marah atau tidak. Kecuali, ditekankan kewajiban berbuat ma’ruf dan ihsan terhadap istri dan dilarang menyakiti atau menyiksanya. Pernah datang seorang wanita mengadu kepada Rasulullah saw. bahwa suaminya telah memukulnya. Maka beliau berdiri seraya menolak perlakukan tersebut dengan bersabda, “Salah seorang dari kamu memukuli istrinya seperti memukul seorang budang, kemudian setelah itu memeluknya kembali, apakah dia tidak merasa malu?” Ketika Rasuluallah saw. mengizinkah memukul istri dengan pukulan yang tidak membahayakan, dan setelah diberi nasihat serta ancaman secukupnya, beliau didatangi 70 wanita dan mengadu bahwa mereka dipukuli suami. Rasulullah saw. berpidato seraya berkata, “Demi Allah, telah banyak wanita berdatangan kepada keluarga Muhammad untuk mengadukan suaminya yang sering memukulnya. Demi Allah, mereka yang suka memukul istri tidaklah aku dapatkan sebagai orang-orang yang terbaik di antara kamu sekalian.” Rasulullah saw. merupakan contoh indah dalam kehidupan rumah tangganya. Beliau sering bercanda dan bergurau dengan istri-istrinya. Dalam satu riwayat beliau balapan lari dengan Aisyah, terkadang beliau dikalahkan dan pada hari lain beliau menang. Beliau senantiasa menegaskan pentingnya sikap lemah lembut dan penuh kasih sayang kepada istri. Kita jumpai banyak hadits yang seirama dengan hadits berikut, “Orang mukmin yang paling sempurna adalah yang paling baik akhlaknya dan paling lembut pada keluarganya.” Riwayat lain, “Sebaik-baik di antara kamu adalah yang paling baik pada keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” Di antara yang menunjukkan keteladanan beliau dalam menghormati istri adalah menampakkan sikap lembut, penuh kasih sayang, tidak mengkritik hal-hal yang tidak berguna untuk dikritik, memaafkan kekeliruannya, dan memperbaiki kesalahannya dengan lembut dan sabar. Bila ada waktu senggang beliau ikut membantu istrinya dalam mengerjakan kwajiban rumah tanggannya. Aisyah pernah ditanya tentang apa yang pernah dilakukan Rasulullah saw. di rumahnya, beliau menjawab, “Rasulullah mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, dan bila datang waktu shalat, dia pergi shalat.” Rasulullah saw. memiliki kelapangan dada dan sikap toleran terhadap istrinya. Bila istrinya salah atau marah, beliau memahami betul jiwa seorang wanita yang sering emosional dan berontak. Beliau memahami betul bahwa rumah tangga adalah tempat yang paling layak dijadikan contoh bagi seorang muslim adalah rumah tangga yang penuh cinta dan kebahagiaan. Kehidupan rumah tangga harus dipenuhi gelak tawa, kelapangan hati, dan kebahagiaan agar tidak membosankan. Bila terpaksa harus bertindak tegas, Rasulullah saw. melakukannanya dengan disertai kelembutan dan kerelaan. Sikap keras dan tegas untuk mengobati keburukan dalam diri wanita, sedangkan kelembutan dan kasih sayang untuk mengobati kelemahan dan kelembutan dalam dirinya. Khadijah Istri Teladan Khadijah binti Khuwailid adalah seorang wanita bangsawan Quraisy yang kaya. Dia diberi gelar wanita suci di masa jahiliyah, juga di masa Islam. Banyak pembesar Quraisy berupaya meminangnya, tetapi ia selalu menolak. Ia pedagang yang sering menyuruh orang untuk menjualkan barang dagangannya keluar kota Mekkah. Ketika mendengar tentang kejujuran Muhammad saw., ia menyuruh pembantunya mendatangi dan meminta Muhammad menjualkan barang dagangannya ke Syam bersama budak lelaki bersama Maisyarah. Nabi Muhammad menerima permohonan itu dan mendapatkan keuntungan besar dalam perjalanan pertama ini. Setelah mendengar kejujuran dan kebaikan Muhammad, Khadijah tertarik dan meminta kawannya, Nafisah binti Maniyyah, untuk meminangkan Muhammad. Beliau menerima pinangan itu dan terjadilah pernikahan ketika beliau berusia 25 tahun sedangkan Khadijah berusia 40 tahun. Khadijah sebagai Ummul Mukminin telah menyiapkan rumah tangga yang nyaman bagi Nabi Muhammad saw. Sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan membantunya ketika beliau sering berkhalwat di Gua Hira. Khadijah adalah wanita pertama yang beriman ketika Nabi mengajaknya masuk Islam. Khadijah adalah sebaik-baiknya wanita yang mendukung Rasulullah saw. dalam melaksanakan dakwahnya, baik dengan jiwa, harta, maupun keluarganya. Perikehidupannnya harum semerbak wangi, penuh kebajikan, dan jiwanya sarat dengan kehalusan. Rasulullah saw. pernha menyatakan dukungan ini dengan sabdanya, “Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang ingkar. Dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku. Dan dia menolongku dengan hartanya ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa. Allah mengaruniai aku anak darinya dan mengharamkan bagku anak dari selainnya.” (Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya) Khadijah amat setia dan taat kepada suaminya, bergaul dengannya, siap mengorbankan kesenangannya demi kesenangan suaminya, dan membesarkan hati suaminya di kala merasa ketakutan setelah mendapatkan tugas kenabian. Ia gunakan jiwa dan semua hartanya untuk mendukung Rasul dan kaum muslimin. Pantaslah kalau Khadijah dijadikan sebagai istri teladan pendukung risalah dakwah Islam. Khadijah mendampingi Rasulullah saw. selama seperempat abad. Berbuat baik di saat Rasulullah gelisah. Menolong Rasulullah di waktu-waktu sulit. Membantu Rasulullah dalam menyampaikan risalah dan ikut merasakan penderitaan pahit akibat tekanan dan boikot orang-orang musyrik Quraisy. Khadijah menolong tugas suaminya sebagai Nabi dengan jiwa dan hartanya. Rasulullah saw. senantiasa menyebut-nyebut kebaikan Khadijah selam hidupnya sehingga membuat Aisyah cemburu. Dengan ketaatan dan pengorbanan yang luar biasa itu, pantaslah jika Allah swt. menyampaikan salam lewat malaikat Jibril kepada Khadijah. Jibril datang kepada Nabi, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, ini Khadiah telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah, makanan dan minuman, apabila datang kepadamu sampaikan salam dari Tuhannya dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di surga, terbuat dari mutiara yang tiada suara gaduh di dalamnya dan tiada kepenatan.” (Bukhari) Itulah Khadijah, sosok seorang istri yang layak dijadikan teladan bagi wanita-wanita yang mendukung keshalehan dan tugas dakwah suaminya. Ciri-ciri Rumah Tangga Muslim Sendi bangunannya adalah ketakwaan kepada Allah swt. Takwa adalah sendi yang kuat bangunan keluarga. Memilih suami/istri harus sesuai dengan arahan Rasulullah saw., yaitu utamakan sisi agamanya. Kebahagiaan rumah tangga bukanlah berdasarkan kesenangan materi saja, sebab kebahagiaan sejati muncul dari dalam jiwa yang takwa kepada Allah swt. Bila ketakwaan telah menjadi sendi utama, maka kekurangan materi menjadi ringan. Ketakwaan yang ada di dalam dada pasangan suami-istri memunculkan tsiqah (rasa saling percaya) dan akan melahirkan ketentraman serta ketentraman dalam hubungan suami-istri. Hubungan antara anggota keluarga akan terasa indah karena semua sadar akan tanggung jawab dan hak-haknya. Rumah yang dibangun untuk keluarga seharusnya sederhana dan mengutamakan skala prioritas dengan mengurangi hal-hal yang tertier dan berlebihan. Dalam makanan dan berpakaian, seorang muslim amat sederhana, menekankan aspek kebersihan, dan menghindari dari yang haram, sikap berlebihan (israf), dan bermewah-mewahan. Semua anggota keluarga dipacu untuk memperbanyak berinfak dan bersedekah. Hindari syubhat, jauhi yang haram, itu moto mereka. Anggaran rumah tangga dipenuhi dari rezeki yang halal dan baik. Sebab, daging yang terbentuk dari daging haram akan dibakar oleh api neraka. Secara teknis perlu ada kesepakatan antara suami-istri dalam menentukan besaran dan alokasi anggaran rumah tangga. Yang jelas, pengeluaran tidak boleh melebihi penghasilan. Cukupi diri dengan hal-hal yang dibutuhkan, bukan memperbanyak daftar keinginan. Perhatikan hak-hak Allah swt. Tunaikan zakat, menabung untuk pergi haji, sediakan kotak khusus untuk sedekah bagi kemaslahatan umat. Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/11/15/1432/sepasang-suami-istri-teladan/#ixzz2yYfSIsnF Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Meredakan Ketegangan dalam Rumah Tangga


Kondisi kehidupan keluarga sangat fluktuatif. Kadang berada dalam suasana yang bahagia, nyaman, tenteram dan tenang. Namun kadang bergolak, ada suasana ketegangan yang membuat suami dan istri tertekan secara psikologis sehingga tidak bahagia hidupnya. Ada banyak faktor yang mempengaruhi munculnya aneka suasana dalam kehidupan rumah tangga. Perubahan suasana tersebut kadang begitu cepatnya. Sebuah keluarga yang semula demikian tampak bahagia dan ceria, tiba-tiba keesokan harinya mengalami ketegangan dan konflik yang memuncak. Sebaliknya, keluarga yang semua sudah berada di ambang kehancuran, tiba-tiba tampak sedemikian mesra dan bahagia pada hari berikutnya. Para konselor di Jogja Family Center sering terkejut atas perubahan yang sedemikian cepat pada klien. Dikira masih berada dalam masalah keluarga, ternyata mereka tengah berlibur di Australia dalam kondisi bahagia. Ketegangan Keluarga Setiap keluarga pasti pernah mengalami suasana ketegangan hubungan antara suami dan istri, atau antara orang tua dengan anak. Ada dua jenis ketegangan yang biasa terjadi dalam kehidupan keluarga, yaitu ketegangan psikis dan ketegangan fisik. Yang dimaksud dengan ketegangan psikis adalah suasana tidak nyaman yang terjadi antara suami dan istri. Misalnya tidak nyaman untuk bicara, tidak nyaman untuk bercengkerama, sering salah paham dalam berkomunikasi, dan sering emosi terhadap pasangan. Suami dan istri saling melukai perasan dan menyakiti hati pasangan. Sedangkan ketegangan fisik adalah tidak adanya kelembutan dalam sentuhan dan hubungan fisik antara suami dan istri. Suami berlaku kasar kepada istri, atau istri berlaku kasar kepada suami. Mereka melakukan kekerasan fisik, seperti pukulan, tendangan, tamparan, bahkan ada yang menggunakan peralatan dan senjata untuk melukai fisik pasangan. Tidak jarang berbuntut pembunuhan kepada suami atau istri sendiri. Sangat banyak faktor penyebab munculnya ketegangan dalam keluarga. Ada faktor internal, yang bersumber dari suami dan istri sendiri; dan ada faktor eksternal, yang bersumber dari pihak lain di luar keluarga. Faktor internal bisa berupa temperamen suami atau istri yang emosional, ketidakmampuan menahan diri, ketidakmampuan berkomunikasi, sifat ego yang diikuti, ingin menang sendiri, tidak mau mengalah, sulit meminta maaf, kesulitan ekonomi, dan lain sebagainya. Faktor eksternal bisa berupa munculnya WIL atau PIL, masalah saudara, ipar, problem dengan mertua, persoalan dengan tetangga, masalah di tempat kerja yang dibawa masuk ke rumah tangga, masalah pembantu rumah tangga, dan lain sebagainya. Baik faktor internal maupun eksternal, keduanya sangat dekat dan ada di sekitar kita bahkan ada dalam diri kita sendiri. Artinya, faktor penyebab munculnya ketegangan ada di mana-mana tidak jauh dari kita, sehingga sangat mudah untuk menyerang semua keluarga. Meredakan Ketegangan Ketegangan dalam keluarga adalah konsekuensi dari interaksi tanpa jarak dan terjadi setiap hari. Suami dan istri bertemu dan hidup di rumah yang sama, di kamar yang sama, di ranjang yang sama. Setiap saat berinteraksi dan berkomunikasi, tanpa jeda, tanpa batas waktu. Ketegangan juga muncul karena tingginya harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Dengan kata lain, ketegangan hubungan adalah sebuah kemestian dalam kehidupan keluarga. Yang diperlukan adalah upaya untuk meredakan dan meminimalisir peluang kejadiannya. Suami dan istri harus memiliki kesadaran dan keterampilan untuk mengelola berbagai faktor pemicu munculnya ketegangan, dan meredakan ketegangan apabila sudah terlanjur terjadi. Ada banyak cara untuk meredakan ketegangan hubungan antara suami dan istri, di antaranya adalah: 1. Kegiatan Spiritual Suami dan istri menguatkan aktivitas spiritual dengan melakukan ibadah secara tekun dan khusyu’. Misalnya suami dan istri menyengaja untuk bangun malam berdua, melakukan shalat malam dan berdoa bersama untuk mendapatkan kebaikan kehidupan keluarga. Atau menyengaja untuk mengundang tokoh spiritual, seperti ustadz atau ulama, untuk memberikan nasihat dan pencerahan untuk semua anggota keluarga. Bahkan jika memiliki keluangan dana, bisa melakukan umrah bersama satu keluarga. Kegiatan spiritual seperti ini diharapkan mampu menjauhkan dan meredakan berbagai ketegangan hubungan antara suami dan istri. Dengan suasana spiritualitas keluarga yang terjaga, semua pihak akan selalu berusaha menjadi orang yang terbaik. Menjadi suami yang ideal, menjadi istri idaman, menjadi orang tua teladan, menjadi anak-anak sesuai harapan. 2. Kegiatan Rekreatif Sesekali waktu suami dan istri perlu meluangkan kesempatan untuk melakukan rekreasi berdua saja, atau bersama semua anggota keluarga. Rekreasi ini tidak mesti menuju tempat wisata yang jauh dan mahal. Suasana rekreatif bahkan bisa dilakukan di rumah sendiri, dengan jalan melakukan hal yang tidak biasanya. Misalnya, makan malam berdua di teras samping rumah, atau mengobrol berdua di kebun belakang rumah, atau tidur di tenda yang dipasang di halaman belakang. Kegiatan rekreasi diperlukan untuk menghindarkan kejenuhan akibat kegiatan yang rutin dan monoton dalam keluarga. Ketegangan bisa muncul karena suasana yang monoton, mekanistik, rutin dan membuat kejenuhan yang bertumpuk. Tidak ada variasi dan tidak ada rekreasi, membuat ketegangan mudah muncul. Harapannya, dengan kegiatan rekreasi keluarga, membuat suasana segar, mengendurkan syaraf, meredakan ketegangan sehingga suasana menjadi nyaman dan tenteram, 3. Kegiatan Sosial Di antara hal yang bisa meredakan ketegangan dalam keluarga adalah kegiatan sosial. Aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan, membantu tetangga, menolong orang yang memerlukan, mengunjungi panti yatim piatu, menjenguk orang sakit, dan lain sebagainya, menjadi sarana untuk meredakan ketegangan hubungan antara suami dan istri. Dengan kegiatan sosial, suami dan istri dituntut untuk memberikan contoh keteladanan bagi masyarakat sekitar, minimal ada perasaan malu apabila ada keributan dalam keluarga mereka. Selain itu, kegiatan sosial akan memberikan sikap empati atas masalah dan penderitaan yang dialami orang lain, sehingga diharapkan menjadi suatu pelajaran berharga bagi suami dan istri untuk kembali ke rumah dalam suasana yang bahagia. Mereka bisa melihat kesulitan yang dialami banyak kalangan masyarakat, sehingga akan memberikan pelajaran penting agar selalu menjaga keutuhan keluarga. Selamat menikmati kebahagiaan bersama keluarga. Teh poci sore hari, pisang goreng panas ditambah sedikit keju dan coklat, mungkin sangat membahagiakan Anda berdua pada sore ini. Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/12/28/25985/meredakan-ketegangan-dalam-rumah-tangga/#ixzz2yYemJubv Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Sabar dan Syukur Dalam Kehidupan Keluarga


Dalam kehidupan keluarga, tidak dapat dipungkiri, kita akan berhadapan dengan berbagai problema, yang berkaitan erat dengan kelemahan/kekurangan dari masing-masing kita sebagai pasangan. Ini adalah bagian dari sunnatullah, setiap kita punya kelemahan, di samping bahwa setiap kita punya kelebihan/keutamaan/keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Kalau Imam Ghazali mengatakan bahwa hidup ini adalah antara sabar dan syukur, iman itu separuhnya adalah syukur, dan separuhnya lagi adalah sabar, maka demikian juga dengan kehidupan suami istri dalam keluarga. Kadang, pada saat tertentu, seorang suami yang harus bersabar, dengan kelakuan istri yang kurang berkenan di hatinya, dan pada saat itu istri bersyukur karena memiliki suami yang sabar. Di lain kesempatan, giliran istri yang harus bersabar, melihat kekurangan/kelemahan suami, sementara suami perlu bersyukur karena istrinya bisa bersabar. Saya teringat dengan satu kisah (entah fiksi atau nyata), yang pernah saya dengar dari seorang ustadz yang juga psikolog. Ada sepasang suami istri, sang suami wajahnya biasa-biasa saja, sementara istrinya sangat cantik (secara umum penilaian orang demikian). Suatu kali, suami pulang ke rumah dengan membawa uang yang cukup banyak, dan langsung diberikan kepada istrinya. Kemudian suami berangkat kembali. Ketika pulang kembali ke rumah, suami menyatakan, uang yang kemarin telah dimanfaatkan untuk apa? Tapi ternyata istri sama sekali tidak ingat bahwa suami telah memberikan uang, ia benar-benar lupa, di mana ia menyimpannya, sementara beberapa hari kemarin, ia telah beres-beres rumah, dan ia baru teringat bahwa bungkusan uangnya telah ikut terbuang ke tempat sampah saat beres-beres rumah. Jadi, ternyata, istrinya yang wajahnya sangat cantik, memiliki kekurangan, orangnya pelupa. Untungnya suaminya mampu bersabar, menghadapinya kejadian tersebut. Kisah ini menjadi salah satu contoh bahwa kehidupan suami istri, memang antara ‘sabar dan syukur’. Kemarin2 istri yang harus banyak bersabar, punya suami yang wajahnya biasa-biasa saja, dan suami yang banyak bersyukur, karena memiliki istri yang sangat cantik. Dengan kejadian tersebut, suami yang harus bersabar, karena istrinya pelupa, dan istri yang bersyukur karena, suaminya tidak marah dengan kejadian tersebut. Keharusan sabar dan syukur seperti di atas, pasti dihadapi oleh seluruh pasangan suami istri. Tanpa kecuali. Kadang seorang istri harus bersabar melihat kelakuan suami yang belum berubah, meski berkali-kali diingatkan, suami masih sering menumpuk dan menggantung baju di ata kapstok kamar. Kadang suami yang harus bersabar, mendapati istrinya yang nggak terampil-terampil mengoperasikan komputer, meski berkali-kali tela diajari oleh suaminya. Kadang suami yang merasa begitu bersyukur, punya seorang istri yang pandai menata rumah agar nyaman, kadang istri yang merasa begitu bersyukur, punya suami yang begitu perhatian terhadap pendidikan anak-anak. Sabar dan syukur. Inilah dua kunci yang harus selalu kita siapkan, untuk membuka pintu kebahagiaan dalam kehidupan keluarga, dalam kehidupan suami istri. Tanpa menyiapkan kunci tersebut, jangan berharap kita bisa membuka pintu-pintu kebahagiaan dalam kehidupan berumah tangga. Boleh jadi kebahagiaan itu akan terus bersembunyi di balik tembok –tembok yang kokoh, di balik pintu yang tertutup. Kebahagiaan hanya akan menjadi milik orang lain. Kalau ada pepatah yang berbunyi “rumput tetangga lebih hijau”, seseorang cenderung melihat orang lain yang bahagia, dengan ungkapan: “enak yah, tetangga kita bisa begini begitu, suami/istrinya bisa begini begitu”. Ungkapan-ungkapan semacam ini muncul, boleh jadi karena konsep sabar dan syukur belum diamalkan. Dia menganggap, hanya dirinya yang berhadapan dengan masalah, orang lain tidak punya masalah, semua lurus-lurus saja, suaminya baik-baik saja, istrinya baik-baik saja. Padahal, sejatinya setiap suami, setiap istri, mereka memiliki kekurangan, memiliki masalah. Yang perlu dicatat adalah bahwa masalah dan kekurangan orang itu berbeda-beda. Dan yang perlu dicatat juga adalah bagaimana kekurangan/kelemahan yang ada, bisa secara bijaksana kita perbaiki, dengan sentuhan cinta dan kasih sayang. Jika kita masih menghadapi kesulitan untuk mengaplikasikan “sabar dan syukur”,sebaiknya banyak-banyaklah kembali membaca hadis berikut “ Sungguh menakjubkan orang beriman,semua urusannya baik bagi dirinya. Dan itu tidak akan terjadi kecuali pada orang beriman. Apabila diberi sesuatu yang menyenangkan, ia akan bersyukur, dan apabila diberi musibah/sesuatu yang tidak menyenangkan, ia akan bersabar. Dan kedua-keduanya baik baginya” (Hadits Riwayat Muslim). Hal lain yang harus kit lakukan adalah selalu mendekat kepada Dzat yang maha sabar (shabuur), dan Dzat yang maha bersyukur (Syakuur), Allah swt. Insya Allah kita akan menjadi orang yang bisa mudah bersabar dan bersyukur, dalam menghadapi setiap hal dalam kehidupan berkeluarga. Wallahu a’lam bishawab. Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/01/15/26666/sabar-dan-syukur-dalam-kehidupan-keluarga/#ixzz2yYczSln3 Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Gaya Hidup Keluarga Islami


Kemajuan teknologi yang diiringi kemajuan ekonomi kapitalis telah mendorong orang-orang untuk mengeluarkan harta mereka di luar batas kemampuan mereka. Boros dan bermegah-megahan telah menjadi hal biasa. Sesungguhnya sifat tersebut sama sekali tidak menunjukkan sifat kepedulian terhadap sesama, tetapi lebih kepada sifat kesombongan. Allah berfirman: “Dan, berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar pada Tuhannya.” (Al-Israa’: 26-27) Keluarga islami tentu harus memiliki gaya hidup yang Islami. Islam mensyariatkan umatnya untuk zuhud. Zuhud dalam artian meninggalkan keinginan terhadap sesuatu yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat, yaitu berlebih-lebihan dalam hal-hal mubah. Jika seseorang menyibukkan diri dengan hal-hal yang mubah, berarti ia telah bermaksiat kepada Allah. Di sinilah tanggung jawab orang tua terhadap penanaman nilai-nilai zuhud dan kesederhanaan dalam diri anak-anak mereka. Nilai-nilai yang diajarkan dan dicontohkan oleh orang tua akan melekat di diri anak-anak mereka. Banyak orang tua yang sibuk dengan tipu daya dunia. Mereka berlomba-lomba mengumpulkan harta, menyembah dunia, memenuhi segala keinginan duniawi istri dan anaknya dengan pakaian mahal nan indah, menghambur-hamburkan uang hanya untuk mengikuti gaya hidup orang lain supaya terlihat kaya dan tidak ketinggalan jaman. Allah tidak lagi dijadikan alasan utama untuk mencari nafkah. Mereka telah menjadi hamba dunia dengan alih-alih memberikan yang terbaik untuk keluarga besar, anak-anak dan pasangan mereka. Memang benar ungkapan yang mengatakan bahwa “Seseorang akan merasa merdeka selagi ia qanaah dan orang merdeka akan menjadi budak selagi ia tamak.” Orang tua hendaklah menanamkan nilai-nilai yang bermanfaat untuk kehidupan akhirat anaknya. Zuhud yang baik adalah beribadah kepada Allah dan menaati Rasul-Nya, menjadikan setiap amalan yang dilakukan sebagai ibadah yang dilakukan karena Allah. Insya Allah, ketika setiap keluarga muslim menanamkan sifat zuhud dalam keluarganya, akan membawa kebaikan yang luar biasa, baik untuk dunia maupun akhirat keluarga tersebut. Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/03/25/48409/zuhud-gaya-hidup-keluarga-islami/#ixzz2yYazOjPk Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Rabu, 09 April 2014

Jangan Pernah Kehilangan Mimpi


Di sebuah pinggiran kota, seekor kuda tampak berlari-lari kecil menelusuri jalan desa. Di atas punggungnya seorang pemuda menunggangi dengan begitu bersemangat. Sesekali sang kuda meringkik sebagai sambutan dari lecutan kecil tuannya. “Hayo hitam, hebaa…hebaa…,” suara sang tuan sambil menepuk punggung belakang kuda. “Kenapa kamu begitu bersemangat, Hitam? Padahal, kamu sudah begitu jauh berlari?” tanya seekor kerbau di sebuah tempat istirahat hewan tunggangan. Beberapa kuda lain tampak berbaring santai sambil mengunyah rumput hijau. Tali-tali kekang mereka masih terikat di tiang-tiang yang sudah disediakan. Kebetulan, sang kerbau berada tak jauh dari si kuda hitam. Dan Si Hitam pun menoleh ke kerbau. “Aku punya mimpi, Teman!” jawab Si Hitam kepada kerbau. Sinar wajah Si Hitam masih menampakkan semangat yang tinggi. Ia sama sekali tak terlihat lelah. “Mimpi?” tanya sang kerbau begitu penasaran. “Ya, mimpi!” jawab Si Hitam begitu yakin. “Setiapkali meninggalkan kandang, aku memimpikan kalau tuanku akan membelikanku sepatu bagus. Dan setiapkali akan pulang, aku membayangkan kalau tuanku sudah menyiapkan rerumputan hijau di kandang. Ah, sungguh mengasyikkan!” jelas Si Hitam begitu optimis. “Tapi, kenapa sepatumu masih jelek?” tanya sang kerbau sambil mencermati telapak kaki Si Hitam. “Aku yakin, mimpiku akan jadi kenyataan. Mungkin besok, tuanku akan membelikanku sepatu,” jawab Si Hitam begitu bergairah. “Bagaimana kalau tidak juga?” sergah si kerbau seperti menggugat. “Ya, besok lagi!” jawab Si Hitam masih optimis. “Pokoknya, aku tidak pernah kehilangan mimpi!” ucap Si Hitam sambil mengalihkan wajahnya ke arah rumput yang tersedia di hadapannya. Dan ia pun mengunyah sambil menanti tuannya yang akan mengajaknya pulang. *** Tidak semua mimpi muncul di saat tidur. Ada mimpi-mimpi yang lahir kala seseorang sedang terjaga. Bahkan, sangat terjaga. Mimpi jenis ini bisa diibaratkan seperti bahan bakar. Orang pun menjadi lebih bergerak dinamis. Jarak yang jauh terasa dekat. Halangan dan rintangan pun menjadi tak punya arti. Itulah mimpi yang digenggam para orang tua terhadap masa depan anak-anaknya. Itu juga mimpi yang melekat pada para pemimpin sejati. Dan, mimpi yang dimiliki oleh siapa pun yang tak pernah lelah melakukan perubahan keadaan diri. Mereka terus bergerak pada untaian moto hidup: mimpi hari ini adalah kenyataan hari esok. Menarik apa yang telah diucapkan Si Kuda Hitam kepada sang kerbau, “Jangan pernah kehilangan mimpi!” sumber : eramuslim

Berapa harga Tuhanmu ?


Sebagai seorang muslim, tentulah sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mengikuti semua apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, dan juga menjauhi apa-apa yang dilarang oleh-Nya. Inilah konsep keimanan yang kita yakini selama ini. Namun ternyata masih saja ada sebagian umat islam yang tak mengendahkan perihal tersebut. Bukannya mentaati perintah dan menjauhi larangan-Nya, sebagaian umat ini justru melakukan hal yang sebaliknya. Mengerjakan yang dilarang, dan menjauhi yang seharusnya dikerjakan. Tak sedikit juga yang melakukan hal tersebut karena “dipaksa” oleh keadaan. Sehingga mau tak mau, harus melakukan hal-hal yang dilarang oleh-Nya. Pada bulan Desember misalnya, banyak umat islam yang dengan terpaksa ataupun suka rela, menggunakan atribut-atribut kaum nasrani. Ini biasa terjadi dan dilakukan oleh beberapa umat islam yang statusnya adalah pekerja mall, restoran, perkantoran, ataupun tempat hiburan lainnya. Alih-alih tuntutan pekerjaan, mereka akhirnya memakai atribut tersebut. Padahal ini justru bertentangan dengan hakikat keimanan kita. Meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan melakukan dengan perbuatan. Mengaku sebagai orang yang beriman, mengucapkan kalimat syahadat, namun pada prakteknya justru mengikuti cara-cara orang kafir, sama saja kita telah “membohongi” keimanan kita. “kalau kami menolak, maka kami akan dipecat”. Beberapa orang akan melontarkan hal yang demikian, jadi seolah-olah, ancaman pemecatan itu boleh dijadikan alasan untuk tetap menggunakan atribut kaum nasrani. Padahal Rasulullah SAW pernah bersabda “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud). Ada sebuah contoh lagi. Kejadian ini mungkin banyak menimpa kaum muslimin yang bekerja sebagai buruh pabrik. Seperti yang telah kita ketahui, bahwa setiap hari jumat laki-laki yang beragama islam wajib hukumnya untuk melaksanakan shalat jumat berjamaan di masjid. Namun, pada kenyataannya, tidak sedikit yang justru meninggalkan shalat jumat hanya karena alasan pekerjaan. “Mesin tidak boleh dimatikan, harus ada yang jaga, jadi kami tidak bisa shalat jumat karena jaga mesin”. Ini umumnya terjadi disejumlah pabrik-pabrik tekstil yang ada di Negeri ini. Para pegawainya yang muslim, ketika hari jumat tiba, mereka kesulitan untuk shalat jumat, lantaran “perintah” atasan yang melarang untuk menghentikan mesin. Alasannya, bila mesin dimatikan, perusahaan akan mengalami kerugiaan yang besar. Dan “kerugian besar” dalam hal material menjadi alasan untuk tidak mengerjakan kewajiban yang satu ini. Padahal sebagai umat islam, kita telah sepakat meyakini bahwa shalat merupakan salah satu dari 5 (lima) rukun islam setelah syahadat. Bahkan shalat adalah batas yang membedakan seorang muslim dengan orang kafir. Bila sampai hari kita masih saja meninggalkan kewajiban kita sebagai seorang muslim, hanya kerena alasan duniawi, maka seperti itu pula kita memperlakukan Allah SWT. Kita akan menyembah Allah, apabila ada keuntungan material yang kita dapati, bila tidak, bisa jadi Allah pun tak lagi kita sembah. Memang sudah semestinya kita sadari “sudah sejauh mana keimanan kita terhadap Allah ?”. Jangan-jangan, statment kalau kita beriman itu hanya sekedar di bibir saja, tapi hati kita tak meyakininya. Akibat hati yang tak sepenuhnya meyakini, akhirnya, perbuatan kita pun tak mencerminkan seperti orang yang beriman. Kita, disadari atau tidak, telah menukar keimanan kita dengan dunia. Kita telah “menghargai” Tuhan kita dengan harga yang sangat murah. Kita mengkhawatirkan kehidupan dunia yang sementara, dengan menjadikan akhirat kita sebagai taruhannya. Ya Allah, janganlah Kau palingkan hati kami, dari kesenangan dunia yang semu. Jangan pula Kau sesatkan kami, dari jalan kebanaran ini, dari jalan islam yang mulia ini. Aamiinn….. sumber : eramuslim