Pasca banjir massal di Jabotabek beberapa waktu yang lalu banyak kisah yang menarik dan dapat kita jadikan teladan, terutama bagi yang tidak merasakan bagaimana penderitaan orang yang tempat tinggalnya terendam ‘tamu tak diundang’, harta benda mereka basah kuyup dan kotor bahkan ada yang terbawa arus, file-file dan surat-surat penting basah bercampur lumpur entah di mana keberadaannya, malam dingin yang gelap, anak-anak yang terserang demam, batuk dan gatal, persediaan makanan yang semakin menipis, air bersih sulit didapat, tidur beralaskan apa adanya yang penting kering, lantai dua dan atap rumah adalah tempat paforit untuk berkumpul dengan keluarga dan tetangga. Wah… pokoknya lengkap deh penderitaan. Pada saat itu suatu hari saya merasa terenyuh dengan kisah seorang sahabat yang rumahnya di salah satu komplek perumahan di Kota Tangerang ‘disinggahi’ air hingga hampir dua meter, ia bertutur bahwa ia dan keluarganya masih bersyukur karena rumahnya berlantai dua, hingga ia bersama anak dan isterinya masih bisa tidur nyenyak, namun ia merasa perlu belajar banyak tentang keikhlasan, kesabaran dan kepasrahan kepada tetangganya sebutlah Pa Hadi, semua hartanya terrendam air, rumah yang ia miliki dengan cicilan puluhan tahun tersebut kerap menjadi langganan air mangkal bila ‘musim banjir’ tiba. Pak Hadi dikenal oleh tetangganya sebagai ahli ibadah, ia hampir tak pernah absen berjama’ah di masjid perumahan tersebut bila azan memanggil, ia duduk di deretan paling depan bila ada pengajian dan kegiatan sosial. Hari-hari pensiunnya ia hiasi dengan ibadah ritual dan sosial. Nah pasca banjir kemarin, ketika banyak bantuan datang di masjid yang dijadikan posko banjir, ia tidak seperti tetangganya yang berebut selimut, pakaian kering layak pakai, kasur, sembako dan air mineral. Ia hanya sibuk dengan urusan sendiri bersama isterinya membersihkan lantai rumah dari lumpur dan sampah, membersihkan sofa yang sudah kusam, lemari, tempat tidur dan lain-lainnya. Ternyata ada yang memperhatikan gerak-gerik keluarga pak Hadi ini, lantas melaporkan ke posko bahwa ada warga yang belum dapat bantuan dan nampaknya malu untuk meminta bantuan. Akhirnya pengurus masjid langsung membawa sendiri bantuan berupa kasur, pakaian, sembako dan makanan kepada keluarga pak Hadi. Ia berterima kasih kepada pengurus yang telah memperhatikannya. Selang beberapa hari, ada warga yang bertamu ke rumahnya, ia yang saat itu sedang santai ngopi di atas karpet bekas dan kusam bersama isterinya tercinta. Sambil menikmati kopi tubruk dan nasi uduk pak Hadi mempesilahkan sang tamu masuk dan meminta isterinya membuatkan kopi dan menyediakan makanan seadanya. Sang tamu yang juga sahabat akrabnya tertegun saat mengetahui bahwa bantuan yang kemarin diberikan posko tidak ia pakai dan makan malah ia berikan kepada tetangga yang katanya lebih membutuhkan dan lebih menderita dibanding dirinya. Ia hanya tidur di atas karepet, karena kasurnya tidak bisa lagi digunakan, sementara kasur yang ia dapat malah diberikan kepada oarang lain, begitupun pakaian, sembako, makanan dan air mineral. Ia merasa cukup dengan apa yang ada padanya, ia malah bersyukur masih diberikan kesehatan dan keselamatan oleh Allah, subhanallah… Pembaca kajian wisatahati yang dirahmati Allah.. pada hari yang sama, Allah juga mengajarkan kepada saya bahwa memang kita wajib bersyukur dan mau melihat penderitaan saudara di sekitar kita serta jangan merasa sendiri hidup di dunia ini. Tepat di siang hari, di majelis pesantren Daarul Qur’an ada seorang ibu dengan menggendong anak kecil menunggu saya ingin berkonsultasi, ternyata ia datang jauh dari Kerawang. Sambil menangis bu Rina bertutur tentang permasalahan ekonomi keluarganya, sementara suaminya sedang sakit keras ialah yang menjadi tulang punggung keluarga dengan menjadi tukang kuli nyuci dan berjualan uduk. Ada kisah yang menarik yang saya kira inilah pembelajaran yang Allah berikan dalam satu hari kepada saya bahwa masih banyak manusia-manusia berhati malaikat di akhir zaman ini. Suatu hari ia hanya punya beras lima liter untuk membuat uduk untuk dijual besok pagi, tapi saat siang tiba ada tetangganya datang dengan mengiba agar diberikan pinjaman beras karena sudah tidak ada lagi yang bisa dimakan, sementara ia hanya tinggal berdua dengan anaknya yang masih kecil, suaminya sudah setahun meninggal. Bu Rina sudah lama mengenal ilmu sedekah dan ia menganggap sedekah sebagai sebuah doping baginya, ia akan merasa sedih bila satu hari ia lewatkan tanpa berbagi, padahal kehidupannya di bawah standar. Maka ketika sang tetanga datang, tanpa pikir panjang ia berikan beras yang hanya lima liter tersebut kepada tetangganya yang lebih membutuhkan. Tak ada beban dalam hatinya dan tidak ada pertanyaan dalam hatinya tentang apa yang akan ia makan hari ini dan besok akan berjualan apa kalau tidak ada beras. Subhanallah, di sore hari, di saat ia selesai membaca Al-Qur’an ba’da shalat ashar, pintunya di ketuk oleh seseorang yang ternyata mertuanya yang sudah lama ingin menjenguk suaminya yang sakit keras. Dan yang tak disangka sang mertua membawa beras sebanyak duapuluh lima kilo untuk menantu yang sabar melayani suami tersebut. Saudara mungkin akan menemukan pak Hadi dan bu Rina yang lain dalam episode kehidupan kita, atau boleh jadi kita yang akan meniru perbuatan mulia dari manusia berhati malaikat tersebut. Insya Allah |