Senin, 27 Agustus 2012

Bertuhan Tak Beragama, Beragama Tak BerTuhan

Mungkinkah ada orang berTuhan tapi tak beragama, dan sebaliknya, beragam, tapi tak berTuhan? Bukankah agama dan Tuhan tak terpisahkan? Secara teorinya memang begitu. Agama dan Tuhan merupakan rangkaian kesatuan tak terpisahkan. Tuhan dikenal lewat agama. Dan agama diturunkan oleh Tuhan ke dunia sebagai tuntunan manusia. Agama (manapun yang pernah ada di dunia) adalah alat dan jalan dari dan menuju Tuhan.

Tapi pada prakteknya, orang berTuhan belum tentu beragama. Banyak kejahatan dilakukan bukan oleh orang yang tak percaya pada Tuhan. Sementara tak ada agama manapun yang tidak melarang kejahatan. Tapi pada prakteknya, kejahatan marak terjadi di masyarakat yang beragama. Ketika ditanya, tidak percayakah mereka pada Tuhan, niscaya mereka akan membantah hingga berani bersumpah, bahwa mereka masih percaya pada Tuhan. Tapi karena perbuatannya melanggar larangan agama, sejatinya mereka sudah tak beragama. BerTuhan, tapi tak beragama.

Orang beragama, ketika mencuri, merampas hak-hak sesama, merugikan orang lain, korupsi, manipulasi, konspirasi kejahatan, tidak adil dalam memutus perkara, apapun alasannya, sejatinya tidak beragama. Bahkan ketika ia masih mengaku percaya pada Tuhan, pengakuannya layak dipertanyakan. Melanggar agama, menantang Tuhan, bagaimana bisa masih yakin bahwa dirinya percaya pada Tuhan dan merasa masih memiliki agama?

Dalam sebuah komunitas manusia, Tuhan dan agama tak bisa dipisah-pisahkan. Garis merahnya adalah “keadilan,” intisari dari ajaran agama dan ajaran Tuhan. Tanpa keadilan, jangan bicara tentang agama, apalagi Tuhan. Sikap Tuhan kepada manusia, pada sebagian besar tergantung dari sikap manusia kepada manusia. Surga ada di bawah telapak kaki ibu. Durhaka kepada ibu, durhaka kepada hak manusia, durhaka kepada Tuhan. Bagaimana masih bisa berharap surga sebagai upahnya?

Anda dan saya bertemu dalam satu komunitas. Anda jadi pemimpin saya. Saya tak peduli siapa Tuhan Anda, apa agama Anda, seberapa dekat Anda dengan Tuhan Anda, dan seberapa tinggi ilmu agama Anda. Itu semua urusan Anda. Urusan saya adalah jika Anda adil, tidak melanggar hak-hak saya, maka Anda adalah pemimpin yang baik bagi saya. Dan karena kebetulan itu persis seperti yang agama saya dan Tuhan saya ajarkan, maka saya anggap Tuhan Anda sama dengan Tuhan saya, dan agama Anda sama dengan agama saya, meskipun sedikit banyak ada perbedaan di antara kita dalam menjalani cara beragama dan memaknai Tuhan kita.

Tapi bila Anda tidak adil terhadap saya, berbuat jahat dan melanggar hak-hak saya, maka saya anggap Anda tidak beragama, meskipun mungkin Anda berTuhan. Bahkan bisa jadi Anda tidak memiliki keduanya, Tuhan dan agama. Saya tak akan peduli seberapa usaha Anda meyakinkan bahwa Anda masih berTuhan dan beragama, bahkan jikapun Anda menampakkan diri dengan bermacam ritual agama dan membuktikan dengan seribu argumen dalil-dalil ayat suci berbau agama.

Kesalehan dan kealiman Anda bukan urusan saya. Urusan saya adalah keadilan Anda. Anda masuk surga, tak ada untungnya bagi saya. Anda masuk neraka, tak ada ruginya bagi saya. Jika Anda tidak bisa menunjukkan bukti nyata bahwa Anda siap berlaku adil dan membela hak-hak saya ketika saya teraniaya, maka Anda tidak berhak mengklaim diri sebagai orang berTuhan dan beragama. Dan Anda tidak berhak merasa bisa menjadi pemimpin saya.

Bagaimana dengan orang tidak berTuhan, tapi beragama? Bisa saja seseorang bersikap dan berperilaku sesuai dengan yang agama ajarkan, jujur, amanat, tepat janji, adil, tidak melanggar hak-hak orang lain, terlebih bila ia memberi keuntungan dan kebaikan (manfaat-maslahat), berani membela orang teraniaya dan berjuang menegakkan keadilan. Yang demikian itu adalah nilai-nilai universal agama manapun di dunia, sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki. Sejatinya orang seperti ini telah beragama dengan baik dan benar, hanya saja berbeda cara dalam praktek-praktek agama.

Jika orang bisa membuktikan dengan kriteria ini, maka ia layak jadi pemimpin saya. Kalaupun ia mengaku tak percaya pada Tuhan, itupun urusannya sendiri. Saya tak butuh retorika suara, tapi realita bukti nyata. Sepi ing pamrih, rame ing gawe. Ia beragama berbeda dengan saya, saya tak peduli. Bagi saya agama saya, baginya agamanya. Yang penting, ketika kami berinteraksi dalam sebuah oraganisasi di mana ada pemimpin dan yang dipimpin, masing-masing menjaga hak dan kewajibannya sesuai dengan posisinya.

Dia mau masuk neraka, bahkan kalau pun mengajak, saya tak peduli, selama dalam batas tidak memaksa. Maka ketika ada dua orang berbeda bermaksud menjadi pemimpin saya, saya lebih memilih orang yang beragama meski tidak berTuhan. Karena dengannya saya tenang dalam kebaikan dan jaminan keadilan. Dan percuma saja ketika orang berTuhan tapi tidak beragama menjadi pemimpin saya. Mungkin ia akan masuk surga, sesuai keyakinannya, tapi bagi saya ia hanya menjadi sumber bencana yang menciptakan neraka di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.