Minggu, 11 September 2011

Cinta Tanpa Definisi

Seperti angin membadai. Kau melihatnya. Kau merasakannya. Merasakan kerjanya saat ia memindahkan gunung pasir di tengah gurun. Atau merangsang amuk gelombang di laut lepas. Atau meluluhlantakkan bangunan-bangunan angkuh di pusat kota metropolitan. Begitulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kata tanpa benda. Tak terlihat. Hanya terasa. Tapi dahsyat. Seperti banjir menderas. Kau tak kuasa mencegahnya. Kau hanya bisa ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan bumi, menyeret semua bendah angkuh yang bertahan di hadapannya. Dalam sekejap ia menguasai bumi dan merengkuhnya dalam kelembutannya. Setelah itu ia kembali tenang seperti seekor harimau kenyang yang terlelap tenang. Demikianlah cinta. Ia di takdirkan jadi makna paling santun yang menyimpan kekuasaan besar. Seperti api menyala-nyala. Kau tak kuat melawannya. Kau hanya bisa menari di sekitarnya saat ia mengunggun. Atau berteduh saat matahari membakar kulit bumi. Atau meraung saat lidahnya melahap rumah-rumah, kota-kota, hutan-hutan. Dan seketika semua jadi abu. Semua jadi tiada. Seperti itulah cinta. Ia di takdirkan jadi kekuatan angkara murka yang mengawal dan melindungi kebaikan. Cinta adalah kata tanpa benda, nama untuk beragam perasaan, muara dari beragam makna, wakil dari sebuah kekuatan tak terkira. Ia jelas, sejelas matahari. Mungkin sebab itu Eric Fromm dalam The Art of Loving tidak tertarik atau juga tidak sanggup mendefinisikannya. Atau memang cinta sendiri tidak perlu definisi bagi dirinya. Tapi juga terlalu rumit untuk disederhanakan. Tidak ada definisi memang. Dalam agama, atau filsafat atau sastra atau psikologi. Tapi inilah obrolan manusia sepanjang masa. Inilah legenda yang tak pernah selesai. Maka abadilah Rabiah Al-Adawiyah, Rumi, Iqbal, Tagore atau Gibran, karena puisi atau prosa cinta mereka. Abadilah legenda Romeo dan Juliet, Laela Majnun, Siti Nurbaya atau Cinderella. Abadilah Taj Mahal karena kisah cinta di balik kemegahannya. Cinta adalah lukisan abadi dalam kanvas kesadaran manusia. Lukisan. Bukan definisi. Ia disentuh sebagai sebuah situasi manusia , dengan detil-detil nuansa yang begitu rumit. Tapi dengan pengaruh yang terlalu dasyat. Cinta merajut semua emosi manusia dalam berbagai peristiwa kehidupannya menjadi sublim: begitu agung tapi juga terlalu rumit. Perang berubah jadi panorama kemanusian begitu cinta menyentuh para pelakunya. Revolusi tidak di kenang karena geloranya tapi karena cinta yang melahirkannya. Kekuasaan tampak lembut saat cinta memasuki wilayah-wilayahnya. Bahkan penderitaan akibat kekecewaan kadang terasa manis karena cinta yang melatarinya: seperti Gibran yang terasa menikmati sayap-sayap patahnya. Kerumitan terletak pada antagoni-antagoninya. Tapi disitu pula daya tariknya tersembunyi. Kerumitan tersebar pada detil-detil nuansa emosinya, berpadu atau berbeda. Tapi pesonanya menyebar pada kerja dan pengaruhnya yang teramat dahsyat dalam kehidupan manusia. Seperti kita menyaksikan gemuruh badai, luapan banjir atau nyala api, seperti itulah cinta bekerja dalam kehidupan kita. Semua sifat dan cara kerja udara, api dan air juga terdapat dalam sifat dan cara kerja cinta. Kuat. Dahsyat. Lembut. Tak terlihat. Penuh haru biru. Padat makna. Sarat gairah, dan antagonis. Barangkali kita memang tidak perlu defenisi. Toh kita juga tidak butuh penjelasan untuk dapat merasakan terik matahari. Kita hanya perlu tahu cara kerjanya. Cara kerjanya itulah definisinya: karena kemudian semua keajaiban terjawab di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.