"Mengapa kita harus terkejut ketika diberi fakta bahwa inti pelajaran-pelajaran di sekolah kita 95% adalah ajaran setanisme? Toh kita telah membuang Tuhan Yang Maha Esa dari sekolah-sekolah umum kita sudah sejak awal tahun 1960-an. Jadi, sekarang sekolah milik kita telah dibersihkan dari Tuhan selama tiga dekade, sekarang saatnya untuk memperkenalkan agama Anti-Kristus, murni Setanisme. Namun, pengenalan ini, setidaknya pada tahap awal, harus disamarkan, sehingga sebagian besar guru dan pengelola sekolah akan tertipu untuk sifat sejati ajaran ini. Jadi, Setanisme ajaran ini telah diperkenalkan ke sekolah-sekolah kita dengan kedok psikologi"
Kata-kata ini penulis ambil dari ucapan David Bay, seorang praktisi pendidikan di Amerika yang berang bukan kepalang. Ia bicara lantang dihadapan para guru untuk menyadarkan bahwa selama ini mereka telah tertipu. Tertipu oleh apa? Tertipu oleh psikologi.
Psikologi di Barat memang menjadi musuh Tuhan. Ia tidak mengenal lagi batasan teologis dimana manusia harus menghamba kepadaNya. Namun dibalik kekecewaan Bay, orang tidak menyadari darimanakah istilah psikologi ini muncul.
Pergulatan Psyche
Suatu ketika Almarhum Sukanto MM, salah seorang akademisi yang begitu konsen terhadap Psikologi, sekaligus pencetus Nafsiologi, merasa keheranan yang luar biasa. Ia begitu bingung kenapa nama psikologi harus diambil dari istilah psyche, gubahan Plato, filosof Yunani Kuno klasik dari 25 abad yang lalu itu. Padahal Plato hanya memberikan sinyal psyche dari hasil lamunan semata, bersifat insitingtif dan pastinya spekulatif. Jika ditelusuri lebih jauh Plato dalam hipotesanya membagi manusia menjadi tiga bagian, yakni, akal (kepala), afeksi (dada), dan nafsu (perut).
Almarhum Sukanto menangkap jelas bahwa struktur psyche Plato mengalami invaliditas kebenaran ilmiah. Alhasil psyche Plato telah kadung dicap gagal untuk menyerap aspirasi publik modern yang haus atas nafas keshahihan sebuah ilmu.
Selanjutnya, pengajar di Universitas Islam Batik Solo tersebut mengatakan gagasan Aristoteles dengan Entelechi-nya sedikit lebih baik, ketimbang mengacu kepada trilogi Plato itu. Sebab spekulasi yang sifatnya elementer seperti yang Plato cetuskan amat sukar dibuktikan.
Fakta menarik ditemukan bahwa sedari dulu Aristoteles sebagai murid Plato sendiri memang menyangkal adanya psyche yang diurai gurunya tersebut. Menurut Aristoteles, entelechi dengan badan membentuk kesatuan total sebagai susunan monodualis, bukan susunan dikotomi seperti dugaan Plato. Namun yang lebih penting bahwa buku-buku psikologi sendiri tidak menjelaskan bagaimana sejarah Plato dan siapa Plato sebenarnya.
Plato, Seorang Kabbalah
Adalah David Livingstone yang menjawab itu. Ia menulis dalam artikelnya “Plato The Kabbalist”. Jika anda belum mengenal studi tentang Yahudi, singkatnya Kaballah adalah "satanic ideology" yang dari zaman Mesir Kuno dan hingga saat ini telah mewarnai pemikiran keilmuan dunia demi kelanggengan gegemoni ajaran Yahudi.
Seperti kepercayaan Mesir purba, Kabbalah menolak keras bahwa hakikat material terjadi dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Kabbalah juga menitiktekankan pada esoterisme dan memvonis penciptaan manusia ala Islam menjadi sebuah isu semata.
Bagi Kaballah, manusia adalah reinkarnasi, persis seperti teori evolusi Darwin. Individu juga tidak boleh diatur dalam sekat-sekat agama, karena manusia haruslah bebas membuat apa saja yang mereka kehendaki. Manusia yang seharusnya hanya hamba, dalam kabbalah menjadi pusat materi. Dari titik tolak inilah banyak para psikolog kemudian menerjemahkannya dengan nama psikologi humanistik dan psikologi transpersonal.
Untuk lebih jeli memperhatikan pergerakan mereka, David Livingstone harus sampai menulis bahwa, “harus menjadi keprihatinan kita bahwa gurita filsuf Kabbalis seperti Plato ini telah menjadi pilar banyak doktrin yang telah melanda abad kedua puluh. Dan konyolnya, satu-satunya alasan dia telah mencapai reputasi besar adalah bahwa dalam rimba sejarah Barat dan Timur, tradisi okultisme Plato telah dianggap sebagai ‘godfather’ dari berbagai doktrin, dan sebagai wakil besar dari orang-orang yang berhubungan dengan tradisi kuno Kabbalah.”
Dalam bukunya Republik, Plato sudah merancang konsep dasar negara totaliter masa depan, yang diperintah oleh elit, atau "filsuf raja", atau "wali", dalam Kabbalah. Pada dasarnya, Republik memberikan dasar untuk semua proyek Illuminati masa depan, termasuk komunisme, penghapusan perkawinan dan keluarga, pendidikan wajib, penggunaan eugenika oleh negara, dan kerja-kerja dengan metode propaganda penipuan.
Pada sisi lain, ajaran Kaballah tanpa terendus mata kemudian berkembang biak dengan baik dalam alam konspirasi keilmuan yang dilakukan Freemasonry (perkumpulan rahasia Yahudi). Padahal tradisi tersebut bertentangan dengan semangat ilmu, sebab tradisi Kabballah berasal dari peradaban jahiliah Mesir Purba, Yunani Purba, dan Rom yang telah membangun pra konsepsi akan sebuah atheisme sains.
Penolakan Terhadap Psyche Dari Kristen
Yang menarik adalah bahwa termin psyche Plato sebelumnya sudah menjadi perdebatan sengit dalam teologi Kristen. Teolog Kristen menolak tegas penggunaan psyche. Karena mereka tahu betul bahwa menerima psyche sebagai sebuah pemahaman akan berimplikasi pada ketuhanan Yesus.
Filosof Yunani sendiri memang menganut paham dimana manusia terdiri atas dua bagian saja atau biasa disebut teori manusia dua unsur, yakni tubuh dan jiwa. Sedangkan Kristen mengenal bahwa manusia memiliki tiga unsur. Manusia terdiri dari tiga bagian karena dia diciptakan dalam gambar dan rupa Tuhan.
“Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” (Genesis 1:26)
"Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita". (Ibrani 4: 12)
Namun pada dasarnya, dari fakta penjajahan Yunani ini serta fakta bahwa Perjanjian Baru awalnya di tuliskan di dalam bahasa Yunani, terjadilah perembesan paham. Menurut teologi Kristen inilah rupanya yang mengakibatkan masuknya istilah ‘psyche’ (Indonesia: ‘jiwa’) ke dalam Perjanjian Baru. Di dalam Perjanjian Baru, istilah ‘jiwa’ ditemukan dalam 34 ayat, tetapi yang paling tersohor adalah yang dianggap menopang Teori Manusia yang terdiri dari 3 unsur.
Dari sini kita menjadi paham pula bahwa dari pemikiran filsafat Plato (dua orang filosof Yunani) berkembanglah apa yang kita kenal selama ini, yakni Psikologi. Sejatinya psikologi bukanlah sebuah ilmu obyektif yang mempelajari perilaku dengan metode ilmiah.
Namun sejatinya psikologi tak bisa berkelit ketika tertangkap tangan tengah menyisipkan ideologi melenyapkan Tuhan di dalam seluruh pengajarannya dan menjalankan nilai-nilai kepribadian kabbalis yang bebas Tuhan (baca: atheistik). Baik itu mengeyampingkan konteks Tuhan seperti psikologi behaviorisme dan psikoanalsis atau menjadikan manusia untuk menggantikan peran tuhan seperti psikologi humanistik maupun transpersonal.
Psikologi transpersonal ini pula yang berkembang menjadi pluralisme psikologi dimana pada dasarnya tiap manusia mampu menyingkap ‘esoterisme’ apapun agamanya. Bahkan tidak hanya itu, manusia bisa mengklaim diri sebagai Tuhan apapun ‘tuhannya’. Itu memang menjadi keniscayaan hingga kini. Bayangkan Calvin Hall dan Gardner Lindzey saja dalam tiga jilid bukunya (yang menjadikan rujukan fakultas psikologi) tak satupun merumuskan tiga aliran Psikologi yang menyertakan Tuhan dalam tampilan yang sebetulnya. Setali tiga uang, John Nevid dalam Psikologi Abnormal-nya pun demikian. (pz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.