Gerakan Islam sering kali dikait-katikan dengan istilah fundamentalisme. Organisasi-orgnisasi yang mengusung ide kembali kepada syariat Islam mendapatkan sebuah stigma negatif berupa Islam Fundamentalis. [1]
Media-media di Indonesia pun pasca pemberitaan (yang masih simpang siur) akan syahidnya Usamah Bin Laden, langsung mengusung kembali jargon-jargon Islam Fundamentalis lenngkap dengan distorsinya kepada gerakan-gerakan yang terkait Al Qaida.
Di Barat kasusnya hampir ironi. Karen Amstrong yang digadang-gadang sebagai penengah antara Islam dan Barat, masih melekatkan stigma fundamentalis kepada orang seperti Sayyid Quthb hanya karena gagasan Sayyid Quthb yang menolak Demokrasi. [2]
Pun Amerika mereka gemar menyudutkan nama-nama mujahid sebagai gembong yang mengusung Ideologi Islam yang kuat seperti Abul Al Al Maududi, Abdullah Azzam, Syekh Ahmad Yassin hingga Abu Bakar Ba’asyir sebagai gembong Islam fundamentalis.
Padahal, dalam sejarahnya, istilah fundamentalisme sama sekali tidak berkaitan dengan Islam. Sejarah fundamentalisme berawal pada ajaran agama Kristen yang mengembangkan kepercayaan mutlak terhadap wahyu, ketuhanan Al-Masih, mukjizat Maryam yang melahirkan ketika masih perawan, serta kepercayaan lain yang masih diyakini oleh golongan fundamentalis Kristen sampai sekarang. [3]
Lalu dengan begini apakah pas fundamentalisme kemudian dikaitkan kepada Islam? Apakah tepat istilah fundamentalisme menjadi kata tersendiri setelah menyebut nama Islam, sama persis dengan pertanyaan: Apakah pas pula jika dikatakan George Bush adalah seorang Kristen Salafi atau Obama adalah bagian dari kelompok Kristen sekte Tauhid Hakimiyyah? Menjadi rancu.
Fundamentalisme: Pertikaian Kristen, Bukan Islam
Pada konteks aslinya, istilah "fundamentalisme" adalah respon dari gerakan pemurnian teologi Kristen sebagai perlawanan terhadap modernisme. Ia berusaha memurnikan ajaran Kristen yang disusupi oleh sekularisme. Artinya fundamentalisme adalah gerakan kontra terhadap “pembaharuan” yang secara spesifik hanya terjadi pada lingkup Kristen.
Namun, pada penelusuran lebih dalam, James Barr dalam bukunya “Fundamentalism” [4] mengatakan bahwa istilah fundamentalisme bermula dari sebuah esai berjudul "Fundamentals" yang muncul di Amerika sekitar tahun 1910-1915.
Dengan mengambil ciri gerakan kembali ke asal, esai itu mewakili pandangan kaum tradisionil Kristen yang khawatir kehancuran ajarannya oleh serangan inflitrasi modernisme dalam pemikiran Kristen. Jadi, simpul Barr, fundamentalisme adalah studi yang berfokus pada gerakan fundamentalisme di dalam kekristenan (dan bukan dari agama Islam).
Sebagai sebuah organisasi yang terorganisir, fundamentalisme mulai terjadi pada Gereja-gereja Protestan, khususnya pada Gereja Baptis dan Gereja Presbyterian, di Amerika Serikat pada awal abad 20. Gereja Presbiterian sendiri adalah salah satu denominasi di lingkungan Gereja-gereja Protestan, yang berakar pada gerakan Reformasi pada abad ke-16 di Eropa Barat.
Dari segi doktrin dan ajaran, Gereja Presbiterian mengikuti ajaran-ajaran Yohanes Calvin, Reformator dari Perancis Namun secara kelembagaan, Gereja Presbiterian sendiri muncul dari Skotlandia, sebagai buah pekerjaan John Knox, salah seorang murid dari Calvin.
Karena latar belakang ini, Gereja Presbiterian pada umumnya ditemukan di negara-negara bekas koloni Inggris, seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, India, dan lain sebagainya.
Gereja Presbiterian pun dapat ditemukan di beberapa negara yang kuat dipengaruhi oleh Amerika Serikat, seperti Korea Selatan dan Filipina. Di Indonesia sendiri, Gereja Presbyterian terletak di Jalan Baru Ancol, Jakarta dengan nama Gereja Presbyterian injil Indonesia
Istilah fundamentalisme juga kemudian digunakan untuk para penjaga Injil (evangelikal) dalam golongan Protestan dan juga golongan Karzemy yang tumbuh pesat sebagai satu sekte dalam agama Kristen. Menariknya, awal mengapa penamaan fundamentalisme juga menyeret kaum Evangelis, karena di kalangan Kristen sendiri menolak penamaan fundamentalis. Sebagian kelompok Kristen akhirnya lebih senang ketika mereka disebut dengan Evangelisme Konservatif ketimbang Kristen Fundamentalis itu sendiri.
Menurut sebagian kalangan Kristen, fundamentalisme tidak mewakili dari akidah yang mereka anut, namun hanya untuk golongan dan sekte tertentu. Mereka kadang lebih suka menyebut dirinya dengan "Kristen sejati" atau Kristen saja. Karena setiap kritikan yang ditujukan kapadanya berarti hujatan atas agama itu sendiri. [5]
Oleh karenanya, fundamentalis Kristen akhirnya didefinisikan oleh sejarawan George M. Marsden [6] sebagai Evangelisme Protestan yang militan dan anti-modernis. Marsden kemudian menjelaskan bahwa fundamentalis adalah orang Kristen Evangelis yang pada abad ke-20 melakukan penentangan modernisme baik dalam sisi teologis maupun perubahan budaya modern.
Selain itu, menurut James Barr, fundamentalisme memang digerakkan oleh doktrin Bible untuk hidup secara militan. Barr mengatakan kendatipun posisi Evangelikal umumnya mengakui bahwa keselamatan diperoleh melalui Iman Kristus, namun bagi kaum fundamentalisme, bahwa Iman kepada Krsitus tidak saja cukup. [7]
Jadi, penamaan menjadi fundamentalis adalah hasil dari pertentangan antar golongan moderat Kristen dengan mereka yang keras dalam menafsirkan beberapa ayat Bible. Hal ini menjadi wajar karena dalam Kristen telah terjadi problem teks bible, baik dalam orisinalitas dan metode penafsiran. [8]
Karena faktor inilah kaum Protestan lalu membentuk sejumlah organisasi pada 1902 yang dikenal dengan nama The Society of The Holy Scripture. Organisasi ini menerbitkan 12 penerbitan dengan nama Fundamentals semata-mata cara kelompok protestan untuk melindungi kitab suci mereka dari proses desakralisasi oleh para penafsir liberal.
Selain The Society of The Holy Scripture, mereka juga mendirikan Lembaga Kristen Fundamentalis Internasional dan Perhimpunan Fundamentalis Nasional pada tahun 1919. Inilah akar fundamentalisme, sebuah pandangan hidup yang lahir sebagai reaksi atas kemajuan ilmu pengetahuan dan penafsiran injil yang menafikan makna literal injil. [9]
Kerancuan Istilah dalam Islam.
Jadi pada dasarnya konteks fundamentalisme tidak pernah memiliki kaitan langsung dengan Islam. Istilah fundamentalisme murni lahir akibat pertentangan diantara teologi Barat itu sendiri.
Lalu bagaimana mungkin ketika Barat saling bertikai, Islam kemudian disuruh ikut campur menyelesaikannya dan terkena getahnya? Inilah yang pernah disinggung Sayyid Quthb dalam kitab Dirosah Islamiyah bahwa adalah mustahil jika Islam disuruh menyelesaikan masalah dunia, sedang Islam sendiri belum dijalankan sepenuhnya.
Bagaimana caranya ketika kerusakan sudah terjadi, Islam menjadi tertuduh dan nertanggung jawab atas semuanya sedangkan Islam belum ditegakkan. Bagi Sayyid Quthb, Islam baru akan menjadi Sistem yang efektif ketika dijaankan sepenuhnya dan tidak setengah-setengah. Sayyid Quthb menulis,
“Pertama-tama jadikan Islam memerintah seluruh kehidupan. Kemudian setelah itu baru diminta pendapat Islam tentang persoalan-persoalan yang ditimbulkan Islam itu sendiri, bukan yang ditimbulkan suatu sistem lain yang bertentangan dengan Islam…. Jadi yang perlu diupayakan adalah laksanakanlah Islam itu sebagai suatu keseluruhan, dalam sistem hukuman pemerintahan, dalam dasar perundang-undangan dan dalam prinsip pendidikan. Baru setelah itu kita dapat melihat apakah masalah-masalah yang ditanyakan itu masih ada dalam masyarakat atau hilangan dengan sendirinya” [10]
Selain itu, konsekuensi logis lainnya akan berimplikasi pada pemaknaan bahasa fundamentalis dalam Islam. Islam tidak mengenal kosakata fundamentalisme, Islam hanya mengenal kata Kaffah, syariat Islam, tauhid, dan lain sebagainya yang memliki jurang pemisah panjang dengan dimensi fundamentalisme dalam Kristen.
Dalam Islam, hambanya hanya mengakui bahwa Allah adalah Tuhan Yang Satu, sedangkan fundamentalisme Kristen, menolak hal itu dimana mereka mengaku bahwa Tuhan adalah Tiga dan Tiga adalah Tuhan. Dalam Islam, Tuhan tidak beranak dan diperanakkan, sedangkan dalam fundamentalisme Kristen justru hal itu harus ditolak, karena bagi mereka Tuhan lahir dari proses persalilnan dan kepercayaan itu harus dijaga seutuhnya. Ketika dia memperharui, maka ia menjadi kafir.
Akhirnya, Islam tidak bisa disebut dengan istilah Islam fundamentalis, sebagaimana Kristen juga tidak bisa disebut dengan Kristen salafi. Islam juga tidak bisa dipanggil dengan nama Fundamentalisme Islam sebagaimana Kristen juga tidak bisa dipanggil dengan Salafi Jihadi Kristen. Islam pun tidak mengalami problem teks Qur’an sebagaimana Kristen mengalami problem terhadap kitab sucinya.
Catatan Kaki
[1] Islam Fundamentalis juga kadang disebut dengan sebutan lain seperti Islam Politik. Dalam sejumlah literatur, berbagai istilah baik itu Islam Politik, “fundamentalisme”, Neo fundamentalisme atau revivalisme Islam memiliki substansi yang sama. John Esposito misalnya menyamakan istilah Islam Politik dengan “fundamentalisme Islam” atau gerakan-gerakan Islam lainnya. Lihat Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, (Jakarta: Mizan, 2007) h. 24
[2] Lebih lengkap baca, Nuim Hidayat, Imperialisme Baru, (Jakarta: GIP, 2010)
Selain itu menurut Karen Armstrong, fundamentalisme tidak hanya terdapat pada agama seperti Islam, Kristen, Yahudi melainkan juga terdapat dalam agama Hindu, Buddha dan bahkan agama Kong Hu Chu, yang sama‑sama menolak butir‑butir budaya liberal, melakukan kekerasan atas nama agama‑maupun membawa sakralitas agama ke dalam wilayah politik dan negara. Lihat, Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan; Fundamentalisme Dalam Islam, Kristen Dan Yahudi, Terj. Satrio Wahono, dkk. (Bandung & Jakarta: Mizan & Serambi Ilmu Semesta, 2000), hlm. x.
[3] DR. Haidar Ibrahim Ali. Al Ushûliyyah; Al Târîkh Wa Al Ma’na.
[4] James Barr. Fundamentalisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia.) Hal. 1-2. James Barr adalah Guru Besar Bahasa Ibrani di Universitas Oxford. Ia disebut-sebut peletak dasar kajian tentang fundamentalisme.
[5] Haidar Ibrahim Ali, op.cit
[6] George Marsden adalah seorang sejarawan yang telah banyak menulis tentang interaksi antara Kristen dan budaya Amerika, terutama pada Kristen Evangelikalisme.
[7] James Barr, op.cit, h. 378.
[8] I.J. Satyabudi, alumnus Universitas Kristen Satya Wacana, menulis dalam bukunya, Kontroversi Nama Allah, bahwa penemuan arkeologi biblika sejak tahun 1890 M, sampai 1976 M, telah menghasilkan 5366 temuan naskah-naskah purba kitab Perjanjian Baru berbahasa Yunani yang berasal dari tahun 135 M sampai tahun 1700 M yang terdiri dari 3157 manuskrip yang bervariasi ukurannya.
Dari 5366 salinan naskah itu, jika diperbandingkan, beberapa sarjana Perjanjian Baru menyebutkan adanya 50.000 perbedaan kata-kata. Bahkan ada beberapa sarjana yang menyebutkan angka 200.000-300.000 perbedaan kata-kata. Lihat Adian Husaini, Problem Teks Bible.
[9] Fadhli Ayas, Menguak Fundamentalisme.
[10] Sayyid Quthb, Beberapa Studi Tentang Islam, (Jakarta: Media Dakwah, 2001) h. 101
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.