Tanpa cinta Nya Aku tidak dapat berbuat apa-apa Dengan cinta Nya Tidak ada yang tidak dapat aku lakukan.... Without His love I can do nothing With His love there is nothing I cannot do.
Kamis, 19 April 2012
USRAH
Tidak ada konsep pendidikan yang lahir dari ruang yang hampa. Setiap konsep pendidikan selalu berkorelasi dengan nilai–nilai tertentu yang diyakini oleh konseptornya dan lingkungan sosial politik yang berkembang pada saat itu.
Menurut Abdul Gani Abud (1982 : 35-39) pemikiran pendidikan terdiri dari tiga dimensi utama; pertama, pemikiran pendidikan yang independen, murni lahir dari pemikiran tokohnya sendiri tanpa dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran lain seperti pemikiran pendidikan Jean Jakcques Rousseau, al Qabisy. Kedua, pemikiran pendidikan yang berkorelasi dengan pemikiran lain. Seperti pemikiran pendidikan Plato dalam konsep Republiknya, pemikiran pendidikan Hasan al Banna dengan gerakan da’wah dan politiknya. Ketiga, pemikiran pendidikan yang lahir dari ide-ide politik, ekonomi, atau religius. Seperti pemikiran pendidikan modern barat tidak akan bisa dipahami tanpa kembali ke ide-ide Martin Luther, pendidikan Masehi pada abad pertengahan lahir dari kitab Perjanjian Baru.
Di antara pemikiran pendidikan yang berkorelasi kuat dengan pemikiran lain adalah pemikiran pendidikan yang dikonsepsikan oleh tokoh pembaharu Mesir yang bernama Hasan al Banna. Ia adalah salah seorang tokoh pembaharu Mesir yang bukan sekedar tokoh agama dan pemikir yang meninggalkan pemikiran-pemikiran pembaharuan seperti Jamaluddin al Afgani, Muhammad Abduh, atau Rasyid Ridha, tetapi sekaligus ulama, pendidik, politikus, da’i, dan al Syahid yang telah membentuk dan mewariskan jama’ah pergerakan Islam yang mengemban konsep dan misi perjuangannya. Jama’ah tersebut bernama Ikhwanul Muslimin.
Ikhwanul Muslimin merupakan gerakan Islam modern yang paling berpengaruh dan dapat memberikan formulasi metode intelektual dan mengembangkan sistem pendidikan yang menonjol. Meskipun Hasan al Banna seorang alumnus pendidikan tradisional, namun ia berhasil menegakkan sistem dan metode gabungan (tradisional-modern), dan menjadikan gerakannya seperti universitas modern yang membimbing dan mendidik keperibadian muslim yang shaleh, baik individu maupun sosial (Hilmy Bakar, tt : 62).
Semangat jihad dan jiwa pengorbanan demi “‘izatul Islam” telah diperlihatkan jama’ah Ikhwanul Muslimin ketika berdiri sebagai pasukan front terdepan dalam perang pembebasan Terusan Sues dan Sinai dari kekuasaan Israil pada bulan Oktober tahun 1976. Peristiwa ini merupakan saksi nyata dalam lembaran sejarah perjuangan umat Islam dan masyarakat Mesir, sekaligus bukti nyata keberhasilan Hasan al Banna dengan organisasi Ikhwanul Musliminnya melahirkan generasi muslim yang tangguh melalui pola pembinaan dan pendidikan yang efektif.
Dalam kegiatan pendidikan dan pembinaan anggota, jama’ah Ikhwanul Muslimin menggunakan perangkat–perangkat khusus pendidikan yang terdiri dari ; katibah, usrah, rihlah, mukhayyam, daurah, nadwah, dan muktamar. Ketujuh perangkat inilah yang menjadi medium pendidikannya dengan pola dan metode yang relatif berbeda-beda.
Usrah sebagai salah satu medium pendidikan Ikhwanul Muslimin, merupakan seksi utama dan terpenting yang menginduk kepada Dewan Penasehat Umum dalam bidang pendidikan. Bahkan satu-satunya seksi yang konsisten pada pendidikan dalam berbagai bidang kegiatannya (Abdul Halim, 1997 : 513). Kegagalan seksi ini akan berpengaruh besar terhadap jama’ah. Karena usrahlah penggerak utama gerakan Ikhwanul Muslimin di semua lini, baik gerakan politik maupun gerakan da’wahnya.
Eksistensi dan peranan usrah dalam gerakan Ikhwanul Muslimin akan menjadi kajian dalam tulisan ini dengan menganalisa lebih jauh sistem pendidikannya sebagai suatu model pendidikan yang terbingkai dalam gerakan politik dan da’wah.
Sejarah Singkat Usraha. Pengertian Usrah
Secara etimologis kata usrah berasal dari bahasa Arab yang berarti baju besi yang kuat. Usrah juga diartikan dengan keluarga atau kerabat laki-laki dan penghuni rumahnya (Ibnu Manzur, 1990 : 19-20). Dalam bahasan fiqh, berarti famili atau kerabat baik kerabat dari garis keturunan atau karena hubungan pernikahan, muhrim atau bukan muhrim. Dalam tinjaun sosiologis, orang yang mempunyai kerabat dan istri. Ikatan usrah merupakan penyebab lahirnya hak dan kewajiban baik kewajiban materi maupun kewajiban non materi (Abdul Halim, 1999 : 126).
Dari segi keanggotaan, kata usrah memberikan makna perlindungan dan perisai yang kuat bagi seluruh umat Islam yang membutuhkan dan berhak dilindungi (Abdul Halim, 1999 :126), mengibaratkan anggota jama’ah Ikhwanul Muslimin seperti satu keluarga yang menikmati kegembiraan dan menanggung segala beban dan resiko dengan kebersamaan, tanpa ada perbedaan derajat kebangsawanan, ras, dan warna kulit. Mereka bersatu dan dipersatukan dalam satu wadah usrah.
Pengertian usrah di atas mengandung nilai persaudaraan dan kekeluargaan yang erat. Nilai inilah kemudian terinternalisasi dalam pemikiran, keperibadian, dan aktifitas anggota. Ia menjadi medan yang hidup untuk para anggotanya dengan bekerjasama untuk melaksanakan dan menghayati Islam. Penamaan usrah sebagai medium pendidikan dan pembinaan barangkali terilhami oleh hadits yang maknanya berikanlah kepada anakmu nama yang baik karena nama itu adalah do’a.
Sesuai dengan namanya, usrah ternyata tidak sekedar simbol, tetapi mampu menjadi wadah perekat seluruh anggotanya dalam satu visi, misi, dan tujuan. Setiap anggota adalah bagian dari usrah yang sama-sama memiliki korelasi persaudaraan yang sangat kuat dalam kehidupan sehari-harinya.
b. Latar Belakang Lahirnya UsrahLahirnya usrah merupakan rangkaian dan upaya soliditas dan konsolidasi semua anggota Ikhwanul Muslimin ketika menghadapi tekanan pemerintah Mesir dan tantangan kebijakan diskriminatif penjajah Inggris. Gerak dan aktifitas da’wahnya dibatasi dan dipersempit, para tokoh dan aktifisnya ditangkap dan dipenjarakan. Kondisi ini yang dihadapi gerakan Ikhwanul Muslimin pada akhir tahun 1930-an sampai awal 40-an.
Ketika kondisi buruk menimpa Inggris di kancah politik global, di mana Jerman menyerang dan menguasai Inggris, kebijakan politiknya di Mesir pun berubah dan tidak mau membuka kerang konflik. Bahkan pada tahun 1943 cabang-cabang Ikhwanul Muslimin diizinkan untuk dibuka kembali. Moment inilah dimanfaatkan Hasan al Banna dengan segera menyelenggarkan pertemuan besar bersama seluruh jajaran pimpinan untuk membahas dua agenda utama; pertama pembacaan Risalah al Nabiy al Amin. Kedua penetapan sistem usrah yang pada saat itu dinamakan Usar al Ta’awuniyah (Abdul Halim, 1999 : 133-137). Sejak saat itulah usrah menjadi perangkat utama Ikhwanul Muslimin dalam melakukan pembinaan, pendidikan, dan mempersiapkan kader-kader dengan kepribadian yang tangguh.
c. Afiliasi Usrah dengan Ikhwanul Muslimin Hasan al Banna (1998 : 205) memposisikan usrah sebagai satu sistem atau perangkat yang penting bahkan wajib dalam jama’ah. Karena dengan ikatan usrahlah para anggota dan pengikut jama’ah akan terbimbing menuju kepada puncak keteladanan, mengokohkan ikatan hatinya, dan mengangkat derajat ukhuwahnya dari kata-kata dan teori menuju realita dan amal yang nyata. Lebih lanjut Hasan al Hudaibi (mursyid kedua) mengatakan, “sistem usrah tidak lain merupakan realisasi hakekat Islam di kalangan Ikhwan” (Abdul Halim, 2001 : 127). Artinya sistem usrah berperan merealisasikan apa yang menjadi tujuan utama perjuangan gerakan Ikhwanul Muslimin.
Sistem usrah terbagi dalam dua bagian, usrah takwin dan usrah ‘amal. Keduanya berperan dalam merealisasikan dua dari tiga sendi (ilmu, pendidikan, jihad) da’wah Ikhwanul Muslimin. Usrah takwin untuk mewujudkan sendi pendidikan dan usrah ‘amal untuk mewujudkan sendi jihad (Hussain bin Muhammad, 2001 : 360). Keberhasilan perjuangan Ikhwanul Muslimin banyak bergantung pada kesuksesan sistem usrah melakukan pembinaan dan pendidikan. Eksistensinya dalam jama’ah laksana pondasi utama pada bangunan. Karena usrahlah merupakan seksi yang terpenting dalam bidang pendidikan bahkan satu-satunya seksi yang konsisten pada pendidikan.
Dalam realisasi sendi pendidikan, usrah bertugas menyusun program kegiatan jama’ah. Kegiatan tersebut antara lain :
1. Bertugas menyusun silabus (rencana pelajaran) untuk berbagai tingkat dakwah.
2. Melakukan pengawasan sekolah-sekolah yang menyiapkan para pemimpin
3. Memonitor apa yang dilaksankan oleh usrah di lembaga-lembaga administrasi, cabang, dan wilayah.
4. Menyusun berbagai program untuk kegiatan wisata, kelompok kemiliteran, perkemahan, kelompok studi, seminar, dan muktamar.
5. Menyusun sistem-sistem untuk menguji para ikhwan yang telah menyelesaikan pendidikannya pada salah satu tahapan dakwah.
6. Menyusun asas-asas dan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang ikhwan (Abdul Halim, 1997 : 513-514).
d. Tokoh-tokoh Utamanya Perjalanan gerakan da’wah dan pendidikan Ikhwanul Muslimin dipelopori oleh tokoh-tokoh yang memiliki komitmen dan jiwa istiqamah yang kuat memperjuangkan tegaknya kebenaran Ilahi, terlaksanaya syariat Islam, dan bercita-cita mengembalikan kejayaan umat Islam yang telah tertutup debu hegemoni peradaban barat.
Tokoh Ikhwanul Muslimin terbagi dua kelompok; tokoh utama dan tokoh penerus. Tokoh utamanya adalah pendiri dan penegak pergerakan al Syahid Hasan al Banna, Hasan al Hudaibi, Abdul Qadir Auda, as Syaekh Muhammad Fargali, Zainab al Ghazali al Jubaili, Abdul Fattah Ismail, Sayyed Qutb, Yusuf Hawash, Hameedah Qutb. Mereka adalah tokoh penting tegaknya gerakan Ikhwanul Muslimin. Adapun tokoh penerus, yaitu penerus perjuangan gerakan Ikhwanul Muslimin melalui ide dan pemikiran seperti Sayyed Hawwa, Abdul Halim Mahmud (mantan Syekh al Azhar), Sayyed Sabiq, Muhamad al Gazali, Anwar Jundi, Yusuf Qardhawi dan yang lainnya.
e. Keanggotaan Setiap individu yang telah tergabung dalam jama’ah dianggap sebagai anggota usrah. Keanggotaan dalam jama’ ah terbagi kepada tiga tingkatan : pertama, anggota na>s}ir, yaitu anggota baru yang belum termasuk murabbi. Kedua, anggota munaffid, anggota yang telah menjadi murabbi khusus mendidik anggota na>s}ir, dan ketiga, anggota na>qib, yaitu anggota yang telah menyelesaikan tarbiyah pada dua tingkatan sebelumnya, telah diambil baiat, dan turut serta bersama pimpinan dalam mengambil keputusan (Husain, 2001 : 371).
Dalam program sistem kerja, keanggotaan usrah secara khusus di bagi dalam tiap cabang. setiap cabang terdiri dari sepuluh usrah, dan setiap satu usrah terdiri dari sepuluh orang anggota dengan satu orang ketua. Dan setiap empat usrah membentuk satu wadah yang dinamakan asyirah yang dikepalai oleh ketua usrah pertama (Abdul Halim, 1999 : 187-188).
Pengelompokan anggota usrah dalam group-group kecil punya pengaruh besar terhadap ikatan persaudaraan antara satu anggota dengan anggota lainnya. Karena memudahkan mereka untuk melakukan hubungan koordinasi, dan saling membantu. Sistem usrah dalam jama’ah Ikhwanul Muslimin ini merupakan cara da’wah Nabi saw yang mempersatukan kaum muhajirin dan ansar dalam ikatan persaudaraan. Sehingga usrah dalam gerakan da’wah Ikhwanul Muslimin bukan sesuatu yang baru, akan tetapi implementasi sunnah Rasulullah.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kelembagaan pendidikan usrah merupakan bagian dari organisasi Ikhwanul Muslimin. Usrah adalah satu dari tujuh perangkat khusus yang dipergunakan jama’ah dalam mentarbiyah anggotanya.
Pilar – pilar Usrah Keyakinan Hasan al Banna akan nilai ukhuwah yang begitu penting adanya bagi jama’ah tergambar dalam tiga pilar usrah. Hal ini sangat berarti dalam menjaling ikatan ukhuwah dan kerja sama yang solid untuk menghadapi setiap persoalan, baik internal maupun eksternal. Oleh sebab itulah ia sangat menekankan perlunya usrah-usrah dari pengikut pengitunya.
Ada tiga pilar utama sistem usrah seperti disebutkan Hasan al Banna dalam bukunya Majmu al Rasail (1999: 205-207) ;
1. Ta’a>ruf (saling mengenal). Ia adalah awal dari pilar-pilar ini, di mana anggota dituntut untuk saling mengenal dan saling berkasih sayang dalam naungan ruhullah. Untuk memperkuat ta’aruf ini setiap anggota supaya berusaha agar tidak ada sesuatu pun yang menodai ikatan ukhuwah. Oleh karena itu dianjurkan untuk dihadirkan ayat-ayat al Quran dan hadits-hadits nabi dalam benak anggota.
2. Tafa>h}um (saling memahami). Pilar kedua ini merupakan sendi evaluasi diri terhadap ketaatan dan kemaksiatan. Sebagai bagian dari evaluasi ini, setiap anggota harus saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. Dengan cara saling memahami antara satu dengan yang lainnya baik yang memberi nasehat maupun yang diberi nasehat.
3. Taka>ful ( saling menanggung beban). Pada pilar ini anggota jama’ah sama–sama melakukan kebaikan dengan ikut menanggung beban saudaranya yang lain.
Ketiga pilar sistem usrah merupakan mata rantai yang saling bersambung, terpadu, dan integral untuk mewujudkan satu kesatuan yang utuh dalam naungan ukhuwah islamiyah yang dilandasi keimanan kepada Allah swt. Rahasia kekuatan jama’ah Ikhwanul Muslimin sesungguhnya ada pada kekuatan ukhuwahnya. Mereka memahami dan merealisasikan nilai-nilai keimanan dalam kehidupannya dengan tiga dimensi h>ablu min al-na>s (ta’ruf, tafahum dan takaful) yang diorientasikan kepada hablu min Allah. Dari ketiga dimensi ini menjadi rintisan aplikasi nilai-nilai yang diperlukan manusia mencapai keselamatan dunia dan akhirat.
Menurut Jalaluddin dan Usman Said, Nilai-nilai yang diperlukan manusia untuk mencapai keselamatan dunia akhirat ada lima; pertama al-Akhlaq al Fard}iyah (nilai-nilai yang berhubungan dengan indifidu). Kedua al-Akhlaq al-Usariyah (nilai-nilai yang berhubungan dengan keluarga). Ketiga al-Akhlaq al-Ijtima’iyah (nilai-nilai yang berhubungan dengan kehidupan sosial). Keempat al-Akhlaq al-dauliyah (nilai-nilai yang berhubungan dengan kehidupan bernegara). Kelima al-Akhlaq al- Diniyyat (nilai-nilai yang berhubungan dengan keagamaan) (1996 : 118 – 123).
Pembentukan nilai keimanan (akhlaqul Karimah) dalam diri setiap jam’ah dilakukan melalui proses tarbiyah yang intensif, istimrar, dan terkontrol dalam ikatan usrah. Karena ia berperan sebagai media untuk mewujudkan semua sendi-sendi da’wah jama’ah Ikhwanul Muslimin yang terdiri dari ‘ilmu, tarbiyah, dan jihad.
Tujuan Asasi Usrah Dalam Jama’ah Pada prinsipnya tujuan usrah adalah tujuan jama’ah Ikhwanul Muslimin. Usrah hanyalah salah satu perangkat atau seksi implementatif dan pelaksana tujuan jama’ah. Hasan al Banna (1998 : 103) menyebutkan, tujuan utama jama’ah adalah pemamfaatan waktu yang tepat untuk mengadakan perubahan secara total dan integral, di mana unsur kekuatan umat dan kondisi yang ada bahu membahu, bersatu padu untuk mengadakan perubahan secara total
Secara mikro, tujuan pertama Jama’ah Ikhwanul Muslimin adalah membangun pribadi Muslim, kemudian menuntut setiap muslim agar membina rumah tangga muslim, dan selanjutnya membina masyarakat muslim. Yaitu masyarakat yang mengerti kewajibannya terhadap negara, umatnya, dan seluruh manusia (Hussain bin Muhammad, 2001 : 344 ). Secara makro, Ikhwanul Muslimin menghendaki Islam sebagai sistem dan imam, agama dan negara. Seluruh umat tunduk kepada aturan Islam, artinya Islam menjadi petunjuk dan imam mereka, serta terwujudnya negara yang berasaskan al Quran (Hasan al Banna, 1998 : 104).
Dari tujuan gerakan Ikhwanul Muslimin di atas, dapat digolongkan sebagai aliran yang berpendirian bahwa Islam bukan sekedar hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi sebagai agama yang sempurna dan mencakup semua aspek kehidupan manusia (Muhammad Azhar, 1997 : 14), di mana terwujudnya suatu masyarakat yang menjadikan Islam sebagai undang-undang dan hukum yang mengatur kehidupannya pada semua aspek kehidupan baik individu, masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ajaran Islam bukan sebatas pelajaran yang dihafal, dihafal ayatnya, haditsnya, kaidah-kaidah ushulnya, tetapi ajaran Islam adalah ilmu yang hrus direalisasikan dalam kehidupan ummat manusia, pribadi dan sosial masyarakat.
Program Pendidikan Usraha. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Usrah meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Di antara tujuan umum adalah ;
1. Membentuk keperibadian muslim seutuhnya yang sanggup merespon semua tuntutan agama dan kehidupan yang meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, ilmu, pengamalan, penjagaan fisik, pendayagunaan potensi
2. Mengukuhkan ikatan antar sesama anggota jama’ah, baik secara sosial maupun keorganisasian.
3. Meningkatkan kesadaran akan derasnya arus nilai, baik yang mendukung gerakan Islam maupun yang memusuhinya.
4. Memberi kontribusi dalam memunculkan potensi kebaikan dan kebenaran yang tersebunyi dalam diri seorang muslim dan mendayagunakannya untuk berkhidmat kepada agama dan tujuan-tujuannya. Baik potensi akal, fisik, maupun psikis
5. Menanggulangi unsur-unsur destruktif dan negatif pada diri anggota. Seperti noda yang menutupi hati, malas, apatis, lemah tanggung jawab, pemahaman yang buruk, lemah dalam ibdah dan tidak membiasakan hadir ke mesjid.
6. Memperdalam pemahaman dakwah dan haraqah dalam diri seorang muslim.
7. Memperdalam kemampuan manejerial dan keorganisasian dalam medan aktifitas Islam.
Adapun tujuan khusus adalah ;
1. Tujuan yang berkaitan dengan individu. Seperti membentuk keperibadian islami, memperkuat makna ukhuwah dalam diri anggota, kerja sama.
2. Tujuan yang berkaitan dengan rumah tangga. Antara lain pandai memilih istri, memformat rumah tangga dengan rumah tangga muslim dan dihiasi dengan nila-nilai Islam dalam segala aspeknya, mendidik anak dengan tarbiyah Islam
3. Tujuan usrah untuk masyarakat. Hendaknya menjadi masyarakat yang terwarnai dengan nilai-nilai Islam, berhukum dengan hukum Islam, dan dipimpin oleh sistem idiologi Islam
4. Tujuan usrah untuk jama’ah. Seperti, menyuplai jama’ah dengan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, sosok pemimpin yang baik, dan da’i yang hebat (Abdul Halim, 1999 : 144-171)
Tujuan umum dan khusus di atas, dapat disimpulkan dalam tiga tujuan asasi; Pertama, Meningkatkan pengetahuan para anggota dan menentukan sikap islamis terhadap suatu masalah. Kedua, meningkatkan penghayatan dan memunculkan perasaan tanggung jawab terhadap pelaksanaan ajaran Islam baik secara indifidu maupun jama’ah. Ketiga, mengukuhkan persaudaraan islamiyah sehingga terbentuk muslim yang unggul secara spirituil, fisik, intelektual, psikis, sosial, bahkan ekonomi. Keempat, berkomitmen dan konsisten terhadap pelaksanaan ajaran Islam secara universal dan integratif, tidak parsial dan juzian. Yaitu perwujudan komitmen vertical relation dan horizontal relation (h}abl min al na>s} wa h}abl min Allah).
b. Bentuk Tarbiyah Usrah Bentuk tarbiyah Usrah ada dua macam :
1. sistem Usrah Takwin, fungsinya mendidik anggota jama’ah secara internal. Dalam proses tarbiyah ini setiap anggota mempunyai murabbi yang terdiri dari munaffidz, naqib, na’ib, dan warits Munaffidz mendidik nashir, naqib mendidik munaffidz dan nashir, nai’b mendidik naqib, munaffidz, dan nashir, dan warits mendidik seluruhnya ).
2. Sistem Usrah ‘Amal, fungsinya menggali potensi anggota dalam amal sehari-hari yang mengarah pada realisasi ajaran Islam. Yang dalam hal ini mewujudkan strategi jihad yang mencakup jihad politik, jihad materi, jihad pendidikan, jihad lisan, dan jihad kekuatan. Usrah ini mengadakan muktamar bulanan yang diajarkan langkah-langkah Usrah satu bulan ke depan dalam setiap macam jihad ( Hussain, 2001 : 363).
Usrah takwin sesunguhnya lebih terfokus pada pendidikan internal untuk pembentukan keperibadian yang mantap sebelum melakukan usrah amali’. Adanya tingkatan Murabbi menunjukkan bentuk tarbiyah usrah yang terstruktur dengan rapi. Hanya saja, implementasi kedua sistem ini, usrah takwin lebih dominan dari pada usrah ‘amal. Bahkan menjadi ciri khas pendidikannya.
c. Prinsip Umum Program Pendidikan Usrah Dalam realisasi program pendidikan, usrah dilandasi dengan beberapa prinsip;
Pertama, anasir program yang terdiri dari unsur taujih (pengarahan), unsur tarbiyah (pembinaan), unsur tad}rib (pelatihan), dan unsur takwin wa muta>ba’ah (evaluasi dan kontrol). Kedua, Schedule program atau metodologi pelaksanaan program, yang terdiri dari :
- Mengawali acara dengan membaca ayat-ayat al Quran.
- Kalimat usrah (pengarahan oleh ketua usrah)
- Pemaparan agenda kerja pertemuan saat itu.
- Studi program konsepsional dan peningkatan wawasan
- Studi program wawasan operasioal.
- Praktek program pelatihan (jika ada).
- Pemaparan ulang tugas yang telah terlaksana dan evaluasinya.
- Pembagian agenda kerja pertemuan berikutnya kepada para anggota usrah.
- Diskusi problematika dan kendala-kendala selama sepekan yang lewat.
- Evaluasi pertemuan
- Menutup pertemuan dengan do’a istighfar.
Ketiga, perencanaan waktu atau masa pelaksanaan program yang meliputi; jumlah jam pertemuan dan jumlah pertemuan yang diadakan setiap bulannya (Abdul Halim, 1999 : 192-212)
d. Materi Pendidikan Usrah Menurut Abdul Halim (1999 : 194), materi yang diajaran selalu mengalami perubahan (penambahan) dan penyempurnaan dari waku ke waktu sesuai dengan tuntutan amal islami. Namun secara global materi diajarkan meliputi : 1. penguasaan membaca dan menghafal al Quran 2. tafsir al-Qur’an, 3. penguasaan menghafal hadits-hadits Nabi, 4. aqidah dan Ibadah, 5. sejarah Islam, 6. khitabah secara keilmuan (khotbah dan orasi), 7. kajian da’wah kontemporer, 8. kajian kitab-kitab penting, 9. olahraga, 10. tadabbur alam (tour).
Materi yang diajarkan memiliki dua kategori; materi pokok/utama yang melipti ilmu-ilmu keagamaan, dan materi pelengkap yang terdiri dari ilmu-ilmu sosial untuk menambah wawasan supaya bisa lebih mengenal lapangan da’wah. Materi-materi tentang integrasi ilmu pengetahuan hampir tidak dikenal di kalangan usrah. Materi lebih terfokus pada kajian keagamaan dalam artian aqidah, ibadah, dan akhlaq. Ini menunjukkan bahwa proses pendidikan yang dijalankan merupakan upaya pembentukan keperibadian manusia yang berakhlaq mulia dengan aqidah dan ibadah yang mantap.
e. Metode Materi pelajaran tidak akan berproses secara efesiens dan efektif dalam kegiatan belajar mengajar tanpa didukung metode yang tepat guna (Arifin, 1996 :197), karena metode merupakan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Sistem usrah sebagai devisi khusus pendidikan menggunakan beberapa metode yang berkenan dengan visi dan misi jama’ah Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi pergerakan Islam. Di antara metode-metode pendidikan yang dominan diterapkan adalah; metode ceramah, metode resitasi, metode hafalan, metode diskusi, dan metode problem-solving, metode keteladanan.
Penggunaan kelima metode ini berkaitan dengan model pendidikannya yang bernuansa pergerakan, di mana seluruh peserta didik wajib satu fikrah dan sama pemahaman. Dalam proses belajar-mengajar boleh berdiskusi, tetapi dilarang berbantah-bantahan dan berdebat antara sesama peserta didik dan dengan murabbi (guru).
Penggunaan metode ceramah, metode hafalan, dan metode diskusi karena materi utama yang dipelajari lebih banyak membutuhkan penjelasan dan daya ingat tanpa harus ada alat praga. Seperti kajian kitab, menghafal ayat dan hadits, serta mendiskusikan persoalan-persoalan faktual yang berkaitan dengan gerakan da’wah. Metode resitasi sesungguhnya sangat berperan dalam proses belajar mengajar. Hal ini sesuai dengan hakekat utama pendidikan usrah adalah pengamalan. Artinya, apa yang telah dipelajari dari murabbi sedapat mungkin diamalkan, dan amalan atau perbuatan tersebut dimonitoring dan dievaluasi (muhasabah). Adapun metode problem-solving dipergunakan untuk menyelesailan semua persoalan-persoalan yang dihadapi, baik persoalan individu maupun jama’ah yang diselesaikan dengan secara jama’i. Metode Keteladanan adalah metode yang sangat vital dalam keusrahan, dimana semua ilmu yang telah dipelajari harus mampu dilaksanakan dan memberikan contoh sebagai bagian dari pengamalan ajarann agama dan da’wah
Pendidikan Usrah Dalam Gerakan Ikhwanul Muslimin.Peranan pendidikan usrah merupakan sendi terpenting berjalannya gerakan jama’ah Ikhwanul Muslimin, baik gerakan da’wah maupun gerakan politiknya. Pendidikan menjadi titian (washilah) gerakan da’wah dan politiknya. Sehingga konsep pendidikan yang diemban tidak bisa dilepaskan dari kedua hal ini. Pendidikan adalah da’wah dan politik, politik dan da’wah adalah pendidikan. Meskipun dalam tataran implementasi, gerakan da’wahnya lebih eksis dan solid dibandingkan dengan gerakan politiknya.
Sistem dan model Pendidikan usrah yang khas mampu menanamkan kesadaran, semangat, dan harga diri untuk mengangkat martabat ummat dan mengharumkan nama Islam (Hilmy Bakar, tt : 66) meskipun harus menghadapi segala resiko. Kecintaan yang tinggi, ukhuwah yang kokoh, semangat rela berkorban demi Islam, serta tekad yang tulus untuk hidup bersama Islam dan mati atas namanya yang tertanam dalam diri setiap murid di madrasah Usrah menunjukkan adanya kekhasan sistem pendidikan usrah yang tidak ditemukan di madrasah lain.
Secara organis, sistem pendidikan usrah dibangun di atas landasan ukhuwah islamiyah. Sifat kebersamaan, kontrol, dan saling membantu antar anggota untuk hidup secara islami dibina dengan baik. Mereka memiliki kedekatan kekeluargaan baik antara murid dengan murid maupun antara murid dengan murabbi (guru).
Kemampuan merajuk satu ikatan ukhuwah sesuai dengan makna filosofis namanya Ikhwanul Muslimin (saudara sesama muslim) membuktikan keberhasilan pendidikan usrah menghasilkan generasi-generasi (outcome) yang memiliki rasa tanggung jawab sosial (persaudaraan) yang tinggi. Begitu kuatnya persaudaraan mereka sehingga seorang wartawan menggambarkan dalam tulisannya; mereka itu adalah jama’ah bila seseorang di antara mereka bersin di propensi Iskandaria, maka saudaranya yang di propensi Aswan akan menjawab: semoga Allah merahmati kamu (Qardhawi, 1980 : 136).
Lebih jauh Yusuf Qardhawi (1980 : 136) menggambarkan persaudaraan mereka dalam hal cinta dan kasih sayang antara sesamanya seperti anak-anak dari satu keluarga, bahkan seperti satu anggota dari tubuh yang satu. Pendidikan yang diterapkan telah menyingkirkan segala penghalang dan menghilangkan segala perbedaan di antara mereka. Tidak ada yang tinggal kecuali persaudaraan Islam dan nasab Islam.
Dengan memiliki landasan filosofis yang jelas, pendidikan usrah tidak sekedar transfer ilmu pengetahuan, menunaikan tugas dan kewajiban kedinasan, tetapi merupakan tanggung jawab moral. Para murabbi mengajar kepada mutarabbi sebagai suatu amanat Allah dan amanat umat. Di samping itu, pembatasan murid (mutarabbi) hanya sepuluh orang dengan satu orang guru (murabbi) setiap satu kelas (halaqah) menjadikan proses tarbiyah berjalan dengan sangat efektif dan efesien. Suasana kebersamaan, dialogis antara murid dengan guru terbina dengan baik tanpa ada kesan guru yang menakutkan.
Sistem pendidikan usrah tidak mengembangkan manajemen profit, meskipun tetap mengembangkan semangat mencari uang dan semangat memberi/berinfaq. Karena dengan profitasi ini akan mengggiring pendidikan menuju kapitalisasi pendidikan, seperti yang menimpa sistem pendidikan global sekarang ini. Hampir semua sistem pendidikan baik di negara maju maupun negara berkembang telah terperangkap dalam kapitalisme pendidikan. Suatu sistem pendidikan dengan paradigma keilmuan yang epistemis sebagai juru bicarnya dan erosentrisme sebagai nenek moyang budayanya. Ironisnya pendidikan Islam juga telah terseret ke sana. Segala bentuk dan aktifitas pendidikan selalu dinilai dengan materi. Nilai materi penentu dan ukuran standar tinggi rendahnya, bermutu tidaknya pendidikan. Sehingga tidak bisa dinafikan bahwa salah satu faktor kemunduran pendidikan Islam ketika ia telah terperangkap dalam idiologi kapitalis dan meninggalkan idiologi Islam yang menganut paham kebersamaan dan menolak hak istimewa keilmuan.
Pendidikan usrah memiliki nilai-nilai filosofis yang dapat dijadikan acuan dalam membangun sistem pendidikan Islam di era sekarang ini. Seperti nilai ukhuwah yang sangat kuat sebagai landasan pendidikan. Melahirkan outcome dengan keperibadian yang unggul. Proses pembelajaran yang sistimatis, efektifitas dan kondisional belajar peserta didik. Menempatkan pendidikan sebagai amanat Tuhan dan amanat umat sehingga harus ditunaikan dengan tanggung jawab moral. Ilmu bukanlah pelajaran yang sekedar untuk dihafal, tetapi merupakan petunjuk yang harus diamalkan. Pendidikan bukanlah suatu kumpulan teori-teori yang terpendam dalam buku-buku, tetapi apresiasi dan aplikasi ilmu yang dimiliki dalam kehidupan nyata.
Simpulan Usrah adalah salah satu seksi lembaga yang berada di bawah organisasi induk Ikhwanul Muslimin. Ia merupakan perangkat pendidikan yang memiliki hubungan langsung dengan Dewan Penasehat Umum Ikhwanul Muslimin yang bertugas menyusun program-program jama’ah, terutama program pendidikan. Posisi usrah dalam organisasi ini membuat peran yang dimainkannya sangat penting bagi keberlangsungan jama’ah.
Substansi pendidikan usrah menekankan pada beberapa segi; Ketuhanan, komprehensif, kreatif dan konstruktif, keserasian dan keseimbangan, persaudaraan dan kesetia kawanan, beridentitas dan berdikari keenam hal ini merupakan ciri substantif pendidikannay untuk mewujudkan keperibadian peserta didik yang berkualitas baik fisik, jiwa, dan intelektual
Sebagai perangkat pendidikan utama Ikhwanul Muslimin yang lahir di tengah suasana politik, sistem pendidikannya tidak bisa dipisahkan dari nuansa pergerakan, baik gerakan da’wah maupun gerakan politik (meskipun gerakan daw’ahnya lebih dominan dari pada gerakan politiknya) yang lebih menekankan aspek amalan melalui horizontal oriented dan vertical oriented untuk membentuk pribadi manusia sebagai hamba Allah (abdun) yang beraqidah kuat, beribadah dengan baik.
Daftar Pustaka
Abu Fadl Jamaluddin Muhammad bin Mukram Ibnu Manzur, 1990, Lisan al Arab juz empat, Beirut : Dar al Fikr.
Ali Jabir, Husain bin Muhammad, 2001, Menuju Jama’atul Muslimin; Telaah Sistem Jama’ah Dalam Gerakan Islam (terj.), Jakarta : Robbani Press.
Al Banna, Hasan, 1998, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin (terj.), Solo : Intermedia.
Al Mascaty, Hilmy Bakar, tt, Membangun Kembali Sistem Pendidikan Kaum Muslimin, Jakarta : UIA.
Al Qardhawi, Yusuf, 1980, Pendidikan dan Madrasah Hasan al Banna (terj.), Jakarta : Bulan Bintang.
Arifin, 1996, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara.
Azhar, Muhammad, 1997, Filsafat Politik; Pendidikan Antara Islam dan Barat, Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Jalaluddin dan Usman Said, 1996, Filsafat Pendidikan Islam; Konsep dan Perkembangan , Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Mahmud, Ali Abdul Halim, 1997, Ikhwanul Muslimin; Konsep gerakan terpadu (terj.), Jakarta : Gema Insani Press.
______ 1999, Perangkat-perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin (terj.), Solo : Intermedia.
Muhaimin, 2002, Paradigma Pendidikan Islam, Jakarta : RosdaKarya.
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung : Trigenda Karya
http://www. google/Emisna. com/materials/usrah/usrahtunjang. asp.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.