Sabtu, 12 Februari 2011

MENGHINDARI KESESATAN HIDUP BERAGAMA-lanjutan

Maka saya pun langsung menyelidiki keadaan diri saya. Ternyata saya telah tenggelam dalam simpul-simpuln keduniwian. Saya juga memandang diri saya dari segala segi. Saya amati amalan-amalan saya terutama aktivitas mengajar.

Ternyata saya juga telah terjebak menerima dan mengajarkan ilmu-ilmu yang tidak penting dan tidak bermanfaat untuk kebahagiaan akhirat. Saya selidiki juga niat saya dalam mengajar, ternyata niat itu juga tidak murni untuk Allah semata, melainkan didorong oleh pencarian kehormatan dan keharuman nama.

Dari sini saya yakin bahwa saya berada ditepi jurang neraka. Aku tidak akan selamat dari jilatan api neraka, jika tidak bersegera memperbaiki keadaan diri tersebut.

Selama beberapa waktu saya terus dicekam pikiran bahwa saya telah jauh dari maqam pilihan. Saya pun merencanakan niat bahwa pada suatu saat kelak untuk keluar dari kota Baghdad dan meninggalkan kondisi-kondisi yang ada selanjutnya menuruti azam (niat) dengan melangkahkan kaki bersegera pergi.

Pagi-pagi aku memang terobsesi mencari akhirat, namun ia selalu ditumpangi oleh pasukan hawa nafsu, sehingga tercerai-berai lagi pada sore harinya. Syahwat keduniaan begitu kuat menarikku dengan segala tali pengikatnya, sementara panggilan keimanan terus mendengungkan nasihatnya:

“pergi! Pergi! Umurmu hanya tinggal sedikit, sementara di depanmu masih terbentang jalan yang maha panjang, padahal semua yang ada padamu baik ilmu maupun amal, hanyalah riya‘ dan imajinasi. Maka jika kamu tidak pergi sekarang, kapan lagi kamu akan bersiap untuk menghadapi akhirat? Jika tidak kau putus sekarang kaitan-kaitan itu, terus kapan lagi?

Ketika itulah hasrat untuk menyingkir dan meninggalkan keduniwian semakin kuat. Selanjutnya, datang setan menggoda:

“ini hanyalah rintangan, kamu harus bisa menundukannya. Ia akan cepat menghilang. Jika kamu mendengarkannya dan meninggalkan segala kemuliaan yang ada, kedudukan nyaman yang sepi dari segala gangguan dan goncangan, serta keamanan dan ketentraman yang bersih dari konflik permusuhan. Mungkin ia akan berpaling darimu dan engkau tidak akan pernah kembali lagi”.

Aku masih terus dicekam kebimbangan di antara tarikan syahwat keduniwian dan dorongan akhirat selama kurang lebih 6 bulan. Puncaknya terjadai pada bulan Rajab 488 H.

Saat itu, masalah ini telah melebihi batas maksimal kemampuanku. Allah telah mengunci mulutku sehingga aku terpaksa berhenti mengajar. Suatu hari, aku pernah mengajar demi menyenangkan hati orang-orang yang berkunjung ke majlisku. Namun, mulutku sama sekali tidak bisa mengucap meski hanya satu kata. Gagu dalam mulutku ini telah menorehkan kesedihan tersendiri dalam hati, hingga merusak system pencernaan dan nafsu makanku.

Aku tidak bisa makan meski hanya mengunyah bubur, dan menelan sesuap makanan. Sehingga kekuatan tubuhku semakin lemah dan menurun. Sampai-sampai para dokter pun telah putus harapan akan kesembuhanku. Mereka berkata:

“ada sesuatu yang turun di hati, dan dari sana naik ke otak. Maka tidak ada lagi jalan kesembuhan kecuali dengan mengurai rahasia tentang beratnya beban yang menghimpit”.

Tatkala kurasakan kelemahan diri dan tuntasnya usaha maksimal yang telah kulakukan, aku bersimpuh meminta kekuatan kepada Allah sebagai orang yang tidak berdaya. Maka Tuhan adalah Yang Maha Menjawab atas do‘a orang yang sedang ditimpa kesusahan bila ia memohon kepada-Nya. Allah kemudian memudahkan hatiku untuk berpaling dari segala kehormatan, harta, anak-anak dan rekan sejawat.

Kusampaikan hasratku untuk pergi ke Mekah sambil menyusun rencana untuk menetap di Syam ( Damaskus), karena aku tidak mau khalifah (Raja) dan beberapa rekan sejawat, menghalangi keinginanku untuk tinggal di negeri Syam

. Aku pun bertindak dengan penuh taktis untuk keluar dari kota Baghdad sambil berjanji kuat tidak akan kembali lagi selamanya. Kukunjungi seluruh Imam-imam Irak. Tidak ada diantara mereka yang membolehkan kepergianku dari posisi yang kujabat dan segala jabatan hidupku sebagai bagian dari bidang agama. Mereka menganggap semua jabatan dan ketenaran adalah posisi tertinggi dalam agama serta puncak dari ambisi keilmuan mereka.

Banyak orang yang terperangah kaget dengan simpang-siurnya alasan keputusanku. Orang yang jauh dari Baghdad berpikiran bahwa kepergianku dari Baghdad merupakan penyingkiran oleh pihak penguasa. Sementara orang yang dekat dengan lingkaran kekuasaan, melihat dengan sendirinya simpati dan dedikasi penguasa terhadapku, aku berpaling dari mereka dan tidak mengindahkan permintaan mereka untuk tetap tinggal di Baghdad. Orang-orang ini berkomentar:

“Ini adalah urusan langit yang tanpa memiliki sebab-musabab, kecuali merupakan musibah yang menimpa ummat Islam dan kalangan akademisi”.

Aku tinggalkan Baghdad dan meninggalkan semua ambisi yang saya miliki. Aku hanya membawa sekedar keperluan secukupnya untuk hidup dan bekal anak-anak. Seluruh kekayaan di Baghdad aku wakafkan demi kemaslahatan kaum Muslimin. Aku tidak melihat di dunia ini kekayaan yang diambil oleh seorang ulama untuk keluarganya yang lebih baik dari pada itu.

Aku kemudian masuk dan menetap di Syam kurang lebih dua tahun. Tidak ada kesibukan yang aku lakukan selain hanya uzlah, khalwah, riyadah, dan mujahadah demi mensucikan jiwa, menata akhlaq dan memurnikan hati untuk selalu ingat kepada Allah Swt. sebagaimana yang aku dapatkan dari ilmu tasawwuf. Aku selalu beri‘tikaf beberapa waktu di mesjid Damaskus, untuk kemudian naik ke menara mesjid sepanjang siang dan mengunci pintunya rapat-rapat.

Dari sana , aku kemudian mengadakan perjalanan ke Bait al-Maqdis (yerusalem). Setiap hari aku masuk masjid. Di sana aku juga menutup pintu masjid sendirian. Selanjutnya muncul panggilan untuk menunaikan ibadah Hajji dan menyerap barakah kota Makkah dan Madinah, serta menziarahi makam Rasulullah Saw. selepas menjiarahi makam al-Khalil, Nabi Ibrahim As. Maka aku pun mengadakan perjalanan ke Hijaz (kota Makkah dan Madinah).

Kemudian panggilan dan kerinduan pada anak-anak menarik aku kembali ke tanah air. Aku pun pulang setelah menjadi makhluk yang paling jauh untuk kembali. Di sana aku tetap membiasakan uzlah demi menjaga khalwah dan pensucian hati untuk zikir.

Peristiwa-peristiwa dalam perjalanan, kewajiban terhadap keluarga dan kebutuhan dasar hidup telah mengubah maksud tujuan dalam diriku serta mengacaukan kesucian khalwah.

Memang, kesucian adalah sesuatu yang belum pernah aku dapatkan keculai hanya kadang-kadang saja, namun aku terus berambisi untuk meraihnya. Banyak rintangan yang menjauhkan saya dari khalwah, namun saya terus mencoba kembali dan kembali berkhalwah. Keadaan ini berlangsung selama 10 tahun.


http://bukusufigratis.cjb.net/
bersambung......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.