Selasa, 28 Februari 2012

Beberapa Kekeliruan Orangtua Dalam Mendidik Anak

Tanbihun – ”Kawan yang baik lebih baik dari duduk sendirian, duduk sendirian lebih baik dari kawan yang jahat, mengutarakan kebaikan lebih baik daripada diam, dan diam lebih baik dari berkata yang tidak baik” (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Seorang anak ibarat kain putih kosong dan orangtua adalah pembatiknya. Kain itu akan berubah menjadi kain yang berharga jika pembatiknya (ortu) mau membatik dengan goresan yang indah nan mempesona, sebaliknya kain itu akan kurang bernilai jika pembatiknya menodai dengan goresan-goresan tak bermotif alias semrawut. Mendidik anak merupakan pekerjaan terpenting untuk membentuk karakter anak dan tanggung jawab orang tua. Dalam mendidik anak diperlukan beberapa langkah/cara tepat yang dapat mendukung terbentuknya karakter baik bagi anak. Namun, kondisi yang terjadi di masyarakat kadang malah justru sebaliknya, kebanyakan mereka cenderung menggunakan cara-cara ”sadis”/ semaunya sendiri, yang bisa merampas kebebasan bereksplorasi dan membunuh karakter anak. Beberapa kekeliruan tersebut di antaranya adalah: 1.Membuat takut anak/ membohongi Perbuatan ini sering kita jumpai di masyarakat. Misalnya: ”jangan nangis nak, nanti ditangkap polisi lho!” Ucapan ini akan membekas di benak anak sehingga akan tertanam perasaan takut pada polisi sedangkan polisi adalah pelindung/mitra masyarakat. Contoh lain: ”kalau gak belajar, saya pukul pakai sapu”. Hal ini tentu membuat anak selalu merasa terancam jiwanya. Anak melakukan perintah ortu karena perasaan takutnya, bukan karena keinginan hendak menurut. Contoh lagi: ”makan ya nak, nanti kalau gak makan didatangi mak lampir lho!”. Sangat fatal kiranya jika masih kecil saja sudah terbiasa dibohongi. (”Allah menyuruh untuk berbuat kebaikan dan menahan yang salah” [QS Ali Imran: 104]). 2. Banyak menyuguhi mitos-mitos Sangat riskan jika di era sekarang masih ada ortu yang menyuguhkan anak-anaknya dengan mitos-mitos yang sudah jelas tidak benar. Contohnya: ”kamu jangan suka makan kelapa (yang sudah diparut), nanti kamu cacingan (krawiten) lho”. Sudah jelas, ucapan ini sangat mengada-ada dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Selama ini tidak ada buku/berita yang mengabarkan bahwa makan parutan kelapa dapat menyebabkan cacingan. Tidak ada yang memberitakan bahwa dampak negatif makan parutan kelapa adalah cacingan. (secara ilmiah ada di Biologi SMA kelas X, silakan baca sendiri bab avertebrata tentang siklus hidup cacing kremi). Contoh lain: ”kalau ada kupu2 hinggap di sebuah rumah pertanda akan kedatangan tamu”. ”Kalau makan keselek/ kegigit, pertanda dirinya sedang dibicarakan orang lain” (secara ilmiah ada di Biologi kelas XI bab sistem pernapasan & pencernaan). ”Kalau matanya bergetar2 terus, jika yang bergetar sebelah kiri pertanda akan menyaksikan kesedihan kalau yang sebelah kanan akan menyaksikan kebahagiaan”. Alangkah baiknya jika pemikiran nyeleneh itu segera dibuang jauh2. (”Pergunakanlah akal dan ilmu” [QS. Yunus: Ar-Rum: 29, An-Nahl: 43, Az-Zumar: 9). 3.Terlalu banyak larangan dan perintah tanpa teladan Kita tidak boleh melarang anak jika sekiranya sesuatu yang diperbuatnya itu positip (bukan negatip). Jika keinginan anak yang positip dilarang, berarti telah menghalang-halangi bakat mereka dan mematahkan semangatnya. Contoh: ”Sepulang sekolah harus di rumah, tidak boleh keluar, tidak boleh main sepak bola dengan teman2nya”. Kapan lagi mereka bisa bermain? Anak butuh beradaptasi dengan lingkungannya. Anak juga butuh merefresh otaknya setelah berjam2 disuguhi rumus2 matematika di sekolahnya, menghafal ayat-ayat pendek misalnya, anak juga butuh lebih banyak berinteraksi dengan teman2nya, butuh meluapkan keinginannya. Dengan sepak bola mungkin bisa belajar bagaimana bekerjasama dalam teamnya, bisa belajar bagaimana mengatur strategi untuk membobol gawang team lain. Dalam penelitian terhadap lebih dari 500 murid di Kanada, murid yang menghabiskan waktu tambahan setiap harinya di ruang olahraga mampu mengerjakan ujian lebih baik ketimbang mereka yang kurang aktif berolahraga. Di Scripps College California, murid-murid yang berolahraga selama 75 menit seminggu, ternyata bisa bereaksi lebih cepat, berpikir lebih baik dan mengingat lebih cermat (4). Atau kadang juga ortu terlalu banyak perintah tanpa memberi teladan, misal: ”Tutup pintu”, ”Habiskan makan malammu”, ”Selesaikan PR-mu”, ”Pergilah tidur”. ”Jangan merokok!”, tapi ortu tanpa ada perasaan malu merokok di depan anaknya. Percakapan dalam keluarga cenderung berbentuk perintah dan bukan dialog bermakna. Kebutuhan akan keintiman, karenanya, tidak terpenuhi; dan anak-anak seperti ini bisa merasa terasing dan sendirian secara emosional diantara orang banyak kecuali jika mereka memiliki saudara kandung, teman sebaya atau guru yang menyediakan keintiman yang sangat didambakan (3). Seharusnya ortu harus mengisi dialog bermakna meskipun singkat sekaligus menemaninya, ”Mari kerjakan PR yuk, biar nanti bisa lebih mendalam/paham” dll. Contoh lain: ”kamu harus masuk jurusan kedokteran, kalau ga itu mending ga usah kuliah”. Ortu tidak boleh memaksa anaknya harus kuliah di kedokteran kalau IQ atau daya ingat si anak di bawah standar, karena di jurusan kedokteran akan dijumpai ratusan bahasa ilmiah dari strukutur organ tubuh manusia. Akan sangat merepotkan si anak nantinya. Jangan memaksakan anak untuk kuliah di Teknik Mesin sementara dia lebih menyukai dan merasa nyaman di bidang seni. (”Assya’bi meriwayatkan dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah akan merakhmati kepada aba yang membantu anaknya untuk berbakti taat kepadanya. Yakni tidak menyuruh sesuatu yang dikuatirkan anak itu tak dapat melaksanakannya” (1)). 4. Membicarakan tabiat anak di hadapan orang lain/ membanding2kannya dengan anak lain Seorang anak akan merasa ”terhina” jika mengetahui bahwa kesalahan-kesalahannya disiarkan kepada orang lain. Sebaliknya, jika anak mengetahui bahwa kebaikan-kebaikannya dipamerkan kepada orang lain maka anak akan menjadi sombong. Alangkah baiknya, panggilah si anak untuk membicarakan kekurangan-kekurangannya tanpa kehadiran orang lain. Dengan kekurangannya maka sekaligus dicarikan solusi dari ortu kepada anak. Ortu tidak boleh terlalu ambisius memamerkan kebaikan-kebaikan anaknya di hadapan orang lain apalagi dalam suatu majelis/ orang banyak, karena hal ini akan menyebabkan orang lain yang diajak bicara merasa sangat bosan alias boring!. Kadang bahkan seringkali kita dapati ortu yang selalu membanding2kan anaknya dengan anak lain. Misalnya: ”si A itu kok piala/tropinya banyak, tidak seperti kamu kerjaannya cuma nangis”. Ucapan-ucapan ini bukannya menjadikan anak bersemangat untuk memperbaiki, tetapi justru sangat mematahkan semangat si anak dan anak menganggap bahwa ortu lebih sayang pada anak orang lain, seolah si anak sungguh sangat tidak berarti bagi ortu. Sebaiknya ortu bisa membangun kepercayaan anaknya serta menganjurkan supaya berusaha lebih gigih. 5.Mencacimaki anak Jikalau anak mendengar ibu bapaknya mengatakan ”kamu jahat”, maka anak tersebut akan merasa kesal dan cenderung pada perlakuan seorang jahat. Sebaiknya, dikatakan pada anak itu ”kau anak yang baik” dan anak baik itu kan tidak suka marah, tidak pernah berkelahi, rajin mengaji, dll. Alangkah baiknya ortu tidak mengucapkan perkataan2 kotor seperti ini. ”Kamu anak tidak benar, (tambeng, mbeling, nakal), bejat, dsb”. Kadang juga ada yang bilang kepada anaknya: ”kamu itu mau jadi apa si?”. Tepis jauh kata2 kotor itu. Ganti dengan kata2 yang lembut, dan lebih baik lagi jika kata itu bisa menyentuh hati anak. Misalnya: orang baik itu dikasihi Allah lho nak, jadi adik yang baik ya. Adik itu anak yang baik kok, jadi ga boleh marah2 lagi ya, ga boleh suka nangis lagi. (”Sesungguhnya manusia itu adalah makhluk etis. Jiwa (nafs) seorang itu memberinya kemampuan untuk membedakan mana yang buruk (fujur) dan mana yang baik” [QS. As-Syams: 8]). 6.Berbicara terlalu banyak dan suara terlalu lantang Hindarilah berbicara terlalu panjang lebar kepada si anak. Sedikit perkataan tapi jelas dan tepat lebih berpengaruh bagi anak daripada nasihat yang terlalu panjang lebar/ nonstop. Janganlah menyuruh atau melarang anak dengan perkataan yang terlalu banyak sehingga membosankan anak. Dalam rumah tangga juga sebaiknya jangan ada kata-kata yang bernada tinggi. Ucapkanlah perkataan yang lembut yang bisa mendatangkan berkah kepada pendengarnya. Jangan biarkan anak menyaksikan kemarahan, kebengisan, amukan ortu. Anak-anak lebih mengingat nasihat atau kata-kata yang diucapkan tenang dan manis daripada ucapan yang membentak-bentak. Anak yang selalu mendengar suara lantang akan kebal dengannya sehingga suara mengguntur pun tak berarti lagi baginya. Jadi, jangan heran jika suatu saat ada anak yang membalas membentak dari bentakan ortunya, karena rupanya bentakan ortu yang telah disuguhkan kepadanya telah melenyapkan sikap lemah lembut si anak. Jangan sampai ada alasan bahwa dengan dibentak anak akan nurut, dengan dipukul anak akan kapok, karena pada hakikatnya kekerasan/kekasaran tidak akan menyelesaikan masalah dan bukan solusi terbaik. (”Kecenderungan manusia untuk memandang musuh kepada sesamanya, sebenarnya dapat diatasi dengan ”saling menasihati agar bersabar dan saling menasihati agar saling berbelas kasihan” [QS. Al-Balad: 17]). Demikian beberapa kekeliruan ortu dalam mendidik anaknya. Tentu masih banyak kekeliruan2 lainnya yang bisa dijadikan bahan koreksi bagi kita bersama. Tapi ini cukup bisa dijadikan bahan pelajaran untuk kita sehingga bisa memperbaiki jika ada kesalahan/kekurangan, bisa melakukan jika belum sempat dilakukan. Sebaiknya kita juga harus berpikir jernih, kita tidak boleh beranggapan bahwa ”Ah itu kan hanya sekadar teori/ hanya buku yang bilang, tapi kan faktanya tidak/lain!”. Kebetulan referensi yang dipakai adalah referensi yang disertai penelitian2 yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan tentang kejadian2 di masyarakat baik di Indonesia maupun di luar negeri. REFERENSI: (1) Assamarqandi, A. 1977. Tanbihul Ghafilin. Jakarta. hlm 169. (2) Chatib, M. 2009. Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia (Menjadikan guru kreatif!). Penerbit Kaifa. Bandung. hlm 1-12. (3) Given, B.K. 2007. Brain-Based Teaching. Kaifa Publishing. Bandung. 424 hlm. (4) Rakhmat, J. 2009. Belajar Cerdas: Belajar Berbasiskan Otak. Kaifa Publishing. Bandung. 288 hlm. (5) Sarumpaet, R.I. (tanpa tahun). Rahasia Mendidik Anak. Majalah Rumah Tangga dan Kesehatan. (6) Utomo, M.S. 1983. 13 Langkah Orang Tua yang Keliru dalam Mendidik Anak. Volume 75. Buletin Anda. Jakarta. hlm 24-27. Paesan, 11 Agustus 2011 Oleh :Ahkamy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.