Selasa, 28 Februari 2012

Wartawan VS Wts

Kalau Anda ditanya, “Mana yang lebih mulia, menjadi wartawan atau pelacur?” Secara tradisional, kita akan mengatakan wartawan lebih mulia dari pelacur (WTS atau kini banyak disebut PSK). Tetapi seiring perubahan jaman, perubahan kondisi, kenyataan pun berubah. Kalau Anda kritis dan jeli, Anda akan menyaksikan bahwa para pelacur (WTS) itu saat ini memiliki sekian kelebihan ketimbang para waartawan, khususnya wartawan media-media TV. Kalau dikaji secara serius, sungguh kita akan terkejut. Ternyata, banyak wartawan yang lebih hina, lebih rendah, lebih menjijikkan ketimbang para pelacur yang kerap diistilahkan sebagai “pelayan cinta” itu. Kok bisa begitu ya? Tentu ada alasan-alasannya. Minimal ada 13 kelebihan kaum WTS daripada kaum wartawan. Kelebihan ini bukan karena pekerjaan menjadi tukang zina menjadi mulia. Bukan sama sekali. Pekerjaan melacur tetap hina, haram, dan sangat keji. Tetapi kelebihan WTS ini muncul, karena derajat kaum wartawan itu terjun bebas gak karu-karuan. Dulu mereka dipandang mulia, dipandang berharga. Kini jauh lebih hina daripada kaum WTS. Tapi kehancuran moral kaum wartawan ini tidak tertuju ke wartawan-wartawan media Islam yang selalu istiqamah membela al haq, komitmen dengan Syariat Islam, komitmen membela Ummat dan kaum dhuafa’. Mereka bukan yang dituju oleh tulisan ini. Wartawan yang dimaksud ialah wartawan sekuler, wartawan anti moral, wartawan keji perusak kehidupan masyarakat dan bangsa. Di bawah ini alasan-alasan yang bisa menjelaskan mengapa dalam kondisi saat ini, kaum WTS memiliki kedudukan lebih mulia daripada wartawan amoral. Tanpa menghilangkan status pelacuran itu sebagai perbuatan zina, keji, dan munkar di sisi Allah Ta’ala. [1] Wanita WTS ketika berbuat zina, dia akan merusak dirinya, merusak pasangan zinanya, dan merusak orang-orang di sekitar mereka berdua. Kerusakan itu bersifat lokal. Tetapi kalau wartawan berdusta di media, memfitnah di media, akibatnya merusak kehidupan seluruh masyarakat, bahkan merusak dunia. Bahkan bisa mewariskan kerusakan ke generasi-generasi selanjutnya. [2] Kaum WTS ketika berbuat dosa, dia sadar sedang berbuat dosa. Sekali waktu mereka menyesal, ingin taubat dari pekerjaan keji itu. Tetapi kaum wartawan, meskipun kerjanya memfitnah manusia, membohongi masyarakat, merusak akal generasi muda, mereka tidak pernah menyesal dengan pekerjaannya. Malah berbangga lagi! Sudah berbangga, bergaya lagi. Mereka tak jarang berlagak seperti selebritis. [3] Kaum WTS sebenarnya tidak mau bekerja seperti itu. Hati mereka mengakui semua itu salah. Tetapi karena desakan ekonomi, mereka terpaksa bekerja kotor, menjual kehormatan diri. Berbeda dengan wartawan. Mereka masuk dunia media busuk dengan penuh kesadaran. Mereka banyak tahu informasi, terpelajar, luas wawasan, paham mana yang salah, mana yang benar; bahkan banyak dari mereka berkecukupan; tetapi tetap saja mereka memproduksi berita-berita sampah, memproduksi fitnah, menghancurkan kehidupan rakyat, melemahkan kehidupan bangsa. [4] Para WTS meskipun menjalani profesi yang kotor, mereka berani mengaku diri sebagai pelacur. Tidak jarang mereka terang-terangan merayu laki-laki. Meskipun perempuan, mereka berani gentle mengakui profesi dirinya. Jarang WTS yang mengingkari profesinya. Tetapi para wartawan itu, sudah jelas-jelas merusak masyarakat, menghancurkan moral, menyebar fitnah, menyebar kesesatan, dan seterusnya. Tetapi secara munafik, mereka mengklaim dirinya tetap suci, bersih, tanpa noda. Allahu Akbar. Betapa betapa sangat munafiknya orang-orang itu. Kalau membaca tulisan/isi media seperti “tajuk”, “editorial”, dll. sangat tampak, seolah mereka Malaikat yang suci dari dosa sama sekali. Padahal sejatinya, mereka bobrok dan munafik. [5] Para WTS mencari makan paling untuk diri dan keluarganya. Atau paling untuk biaya kuliah, untuk biaya kost, untuk pergi ke salon, dll. Jadi untuk keperluan hajat primer atau hajat kewanitaan. Tetapi kaum wartawan, mereka bekerja menyebarkan kezhaliman, kerusakan, kebobrokan moral; demi melayani kapitalisme, demi melayani konglomerat hitam, demi melayani regim korup, demi melayani pejabat korup, dll. Jadi pekerjaan WTS itu bahayanya tidak lebih besar daripada pekerjaan wartawan perusak moral. [6] Sekuat-kuatnya seorang WTS, dalam sehari paling hanya mampu melayani beberapa laki-laki hidung belang. Kekuatan mereka sebagai manusia, pastilah terbatas. Tetapi para wartawan itu, siang-malam, 24 jam sehari, 7 hari seminggu, 30-31 hari sebulan, non stop terus merusak kehidupan masyarakat. Mereka tidak ada hentinya menyebarkan kebingungan, analisa palsu, opini bermuatan dendam, mengadu-domba, memfitnah, dll. Kalau tidak melalui koran, melalui TV, atau melalui internet, melalui radio, dan seterusnya. [7] Kaum WTS, meskipun sudah terjerumus profesi keji, bila ada yang menolongnya keluar dari lembah hitam itu, mereka mau bertaubat, mau berubah. Adapun wartawan, meskipun sudah sering diingatkan, sudah sering dikritik, sudah sering dikecam, sudah sering didemo, diboikot, dan seterusnya. Tetap saja mereka tak bergeming. Susah sekali berubah dari tabiat dan kelakuannya dalam berbohong, memfitnah, menyebarkan opini sesat, merusak moralitas, dan seterusnya. [8] Kaum WTS biasanya dari kampung, berpendidikan rendah, pengetahuan kurang. Malah kerap mereka masuk ke dunia hitam itu karena terjebak sindikat kotor. Tetapi kaum wartawan itu keadaan mereka jauh lebih baik, lebih mapan, lebih berpendidikan. Minimal dia sarjana, mungkin master, bahasa Inggris fasih, orang kota, terpelajar, lingkup pergaulan mendunia, dan seterusnya. Tetapi ya itu tadi, mereka mencari makan dengan cara menyebar kebohongan, fitnah, opini sesat, kerusakan moral, dan lain-lain. [9] Seorang WTS dalam berprofesi masih mengenal “kode etik”. Kalau ada temannya mendapat laki-laki hidung belang, dia tak akan merebut “klien” itu. Seakan di antara mereka sudah sama-sama memahami. Tetapi wartawan, demi mencari berita heboh, demi mencari sumber “paling terpercaya”, demi menyajikan “berita terdepan”, demi menjadi “nomor satu”, mereka sangat sering bersaing tidak sehat. Satu media kadang menghantam media lain, satu wartawan memusuhi wartawan lain. Kode etik jurnalistik ada, tetapi entah diikemanakan itu? [10] Seorang WTS, kalau sudah melaksanakan tugasnya, dia akan mendapat upah. Begitulah mekanisme “bisnis” mereka. Tetapi wartawan, meskipun sudah mendapat iklan, mendapat penjualan produk media, mendapat sponsor, mendapat popularitas, mendapat posisi politik, mendapat pengaruh sosial, dll. mereka tidak puas juga. Mereka akan terus merusak dan merusak masyarakat dengan kebohongan, kecurangan, fitnah, opini sesat, dll. Mereka tidak akan pernah berhenti membuat kerusakan, sampai dirinya mati. Kalau mati, media mereka akan mengelu-elukan dirinya sebagai “sosok pahlawan”. [11] Kaum WTS enggan menipu “klien” mereka. Khawatir “rizki” mereka nanti rusak karena sikap seperti itu. Tapi wartawan media, mereka tidak ragu-ragu untuk menghancurkan obyek beritanya, melakukan pembunuhan karakter, merusak masa depan anak-anak, bahkan merusak usaha bisnis orang-orang kecil. Mereka berlaku seperti “bandit” di balik meja redaksi. Lihatlah bagaimana cara media dalam menghancurkan keluarga-keluarga yang mereka sebut teroris! [12] Kaum WTS mengaku dirinya kotor, dirinya salah. Mereka akan mengatakan ke wartawan, “Anda enak Mas, jadi wartawan. Profesi Anda baik dan mulia.” Tetapi para wartawan itu, tak satu pun yang berani menulis atau menayangkan di media-medianya, suatu materi bertema, “Pelacuran itu baik.” Mereka tidak akan mengatakan demikian. Tetapi banyak dari wartawan-wartawan itu yang memakai jasa pelacur, terjerumus seks bebas, terjerumus perselingkuhan, dll. Menyebut pelacuran buruk, tetapi jasanya dipakai juga. Setidaknya, mereka kerap menjadikan materi pornografi sebagai alat untuk mengeruk untung (profit). Lihat iklan-iklan di TV, mulai iklan sabun, sampo, kosmetik, alat fitness, kondom, obat kuat, dll. [13] Selama ini Indonesia tidak hancur karena fenomena pelacuran. Meskipun dampak pelacuran itu sangat besar bagi keburukan masyarakat. Tetapi hancurnya Indonesia selama ini ialah karena kaum wartawan munafik ini. Merekalah perusak bangsa, perusak NKRI, perusak kehidupan Ummat! Dulu, kaum wartawan lebih mulia daraipada WTS. Mereka dulu berperan: mencerahkan akal masyarakat, membela kebenaran, menegakkan keadilan, melawan kezhaliman, melindungi yang lemah, dll. Pokoknya serba mulia. Maka itu mereka digelari julukan “kuli tinta”, atau orang yang banyak bergelut dengan ilmu. Tetapi wartawan di masa kini amat sangat hina derajatnya. Mereka menjadi makelar kapitalisme, makelar kezhaliman regim, makelar mafia hukum, makelar bisnis asing, makelar imperialisme, dll. Bahaya mereka jauh lebih mengerikan daripada bahaya kaum wanita WTS. Meskipun tidak berarti kita mentoleransi wanita-wanita WTS itu. Tidak sama sekali. Islam selamanya mengharamkan zina, dan melaknati tukang zina. Lalu bagaimana hukumnya menjadi wartawan? Lihat dulu medianya. Kalau medianya baik, lurus, menyebarkan manfaat, wawasan, pencerahan, dan kebajikan untuk masyarakat; hukumnya HALAL dan THAIYIB. Tetapi kalau medianya merusak, memfitnah, menyebarkan fitnah, kebohongan, merusak moral masyarakat, merusak bangsa, melemahkan negara; ya jelas hukumnya, yaitu: HARAM. Haramnya merusak akal dan ilmu pengetahuan lebih berat ketimbang haramnya perbuatan pidana biasa, sebab yang dirusak disana adalah akal, kesadaran, dan kehidupan masyarakat luas. Ingat wartawan amoral…ingat WTS. Ternyata, WTS masih lebih baik daripada mereka. Dengan tidak menghilangkan status pekerjaan WTS itu sebagai profesi yang hina, keji, dan dimurkai Allah dan Rasul-Nya. Semoga bermanfaat dan mencerahkan. Allahumma aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.