Jumat, 05 November 2010

Mulia dengan Ucapan Salam

“Assalamu’alaykum Warohmatullaah,” ucap Umar tiap melewati orang-orang yang mereka jumpai, dan disambut salam serupa atau terkadang dijawab lebih panjang oleh orang yang ia salami. Beberapa kali, Umar mengiringi salamnya dengan menjabat tangan. Karena tidak ingin membuat adiknya jengkel, setelah berkeliling memutari pasar, Umar menghentikan ‘aksi salamnya’ dan segera menuju ke warung bakso.

“Kak Umar kurang kerjaan!” gerutu Hanif, ketika mereka sudah sampai di warung bakso.

“Siapa bilang? Aku melakukan yang disunnahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyebarkan salam biar jadi orang mulia. Daripada nonton televisi yang nggak jelas? Udahlah, Hanif mau Bakso kan?”

Umar memang kakak teladan, selalu mensyiarkan syariat islam dengan unik, apalagi dengan adik kecilnya yang baru berumur enam tahun. Di satu sisi Ia tidak ingin mengganggu hari libur adiknya, namun di sisi lain ia tidak tega melihat adiknya terus diracuni tayangan televisi yang tidak bermanfaat. Maka, Ia pun mengalihkan liburan adiknya ke sesuatu yang lebih bermanfaat; menyebarkan salam. Sebenarnya yang dilakukan Umar adalah teladan dari sahabat Abdullah bin Umar. Suatu hari, Thufail Bin Ubay Bin Ka’ab datang lagi ke rumah Abdullah Bin Umar, dan diajak lagi ke pasar. Maka Thufail bertanya, ”Perlu apa kita ke pasar? Kamu sendiri bukanlah seorang pedagang dan tidak ada kepentingan menanyakan harga barang atau menawar barang. Lebih baik bila kita duduk bercengkerama di sini”. Abdullah Bin Umar menjawab, ”Hai Abu Bathn! Sebenarnya kita pergi ke pasar hanya untuk memasyarakatkan salam. Kita beri salam kepada siapa saja yang kita temui di sana!” (HR. Malik dalam kitab Al Muwatha’ dengan sanad shahih).

Hukum mengucapkan salam adalah sunnah yang amat dianjurkan (sunnah mu’akadah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jika seseorang di antara kalian berjumpa dengan saudaranya, maka hendaklah memberi salam kepadanya. Jika antara dia dan saudaranya terhalang pepohonan, dinding atau bebatuan; kemudian mereka berjumpa kembali, maka ucapkan salam kepadanya” (HR. Abu Daud).

Sedangkan hukum menjawab salam adalah wajib. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah yang lebih baik atau balaslah dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu” (QS. An Nisaa’[4]: 86).

Adab dalam mengucapkan salam pun perlu diperhatikan.


Adab Pertama:

Urutan salamyang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Riwayat Bukhary adalah sebagai berikut:

Orang yang berkendaraan memberi salam kepada yang berjalan
Orang yang berjalan memberi salam kepada orang yang duduk
Rombongan yang sedikit memberi salam kepada rombongan yang lebih banyak
Yang kecil (muda) memberi salam kepada yang besar (tua)
Adab Kedua:

Adab salam kedua adalah mendahului salam. Terlepas dari urutan dalam memberi salam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan untuk mendahului dalam memberi salam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan, justru yang memulai salam itulah orang yang lebih mulia.

Sabdanya, ”Seutama-utama manusia bagi Allah adalah yang mendahului salam” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Ya Rasulullah, jika dua orang bertemu muka, manakah di antara keduanya yang harus terlebih dahulu memberi salam?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Yang lebih dekat kepada Allah (yang berhak terlebih dahulu memberi salam)” (HR. Tirmidzi).

Adab Ketiga:

Adab salamketiga adalah menjawab setara atau Lebih. Apabila ada seseorang yang memberi salam kepada kita, maka idealnya kita memberikan jawaban yang sama (setara). Misalkan seseorang mengucapkan salam kepada kita, ”Assalaamu ‘alaikum warahmatuulaah!” Minimal kita harus menjawab, ”Wa’alaikumussalaam warahmatullaah!”

Adab Keempat:

Adab salam keempat adalah menjabat tangan. Selain mengucapkan salam, akhlaq yang indah (karimah) bagi seorang Muslim ketika bertemu dengan saudaranya adalah menjabat tangannya dengan hangat. Seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, ”Wahai Rasulullah, jika seseorang dari kami bertemu dengan saudaranya atau temannya apakah harus menunduk-nunduk?” Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Tidak!” Tanyanya, ”Apakah harus merangkul kemudian menciumnya?” Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Tidak!” Tanyanya sekali lagi, ”Apakah meraih tangannya kemudian menjabatnya?” Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ya!” (HR. Muslim).

Selain memiliki nilai kehangatan dan persahabatan (ukhuwwah), jabatan tangan juga akan menghapus dosa di antara kedua muslim yang melakukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tidaklah dua orang Muslim yang bertemu kemudian berjabat tangan kecuali Allah akan mengampuni dosa keduanya sampai mereka melepaskan jabatan tangannya” (HR. Abu Daud). Yang tetap perlu diperhatikan hendaklah lelaki tidak berjabat-tangan dengan wanita yang bukan mahromnya; demikian pula sebaliknya.

Adab Kelima:

Adab salam kelima adalah berwajah manis dan tidak memalingkan wajah. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Jangan kalian meremehkan kebaikan sedikit pun, meskipun hanya wajah yang manis saat bertemu dengan saudaramu” (HR. Bukhari). Yang dimaksud berwajah manis adalah penampilan yang menyenangkan serta senyum yang mengembang. Tentu saja, ketika mengucapkan salam, diusahakan menatap wajah yang disalaminya.

Makna salam adalah do’a seorang Muslim kepada saudaranya seiman. Kata “Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh” mempunyai makna “Semoga seluruh keselamatan, rahmat dan berkah dianugerahkan Allah kepada kalian”. Nilai do’a dalam kandungan salam ini menjadi salah satu dasar mengapa salam tidak dapat diberikan kepada orang-orang non Muslim.

Do’a seorang muslim kepada non muslim adalah do’a supaya mereka mendapat petunjuk masuk dalam pangkuan Islam. Demikianlah do’a Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang non muslim, ”Ya Allah berilah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka orang yang tidak mengerti” (Sirah Nabawiyah, Abul Hasan ali An Nadwi).

Maroji’:

Imam An-Nawawi, Riyadhus Shalihin
Sayyid Sabiq, Fiqhus sunnah

Penulis: Ari Mami

Muroja’ah: M. A. Tuasikal

Artikel www.remajaislam.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.