Klaim yang Terbantahkan
Pembaca yang dimuliakan Allah, sudah jelas bahwa terdapat perbedaan berarti antara Islam dengan agama-agama selainnya. Oleh karenanya, sungguh aneh masih saja ada kalangan yang hendak menyamakan antara Islam dengan agama selainnya, terutama dengan apa yang mereka sebut sebagai agama-agama samawi (langit)[4]. Sebagian pengusung paham ini justru berani mengklaim bahwa agama yang membawa misi tauhid adalah Yahudi, Nasrani, dan Islam. Padahal, berdasarkan penjelasan sebelumnya, kita dapat menilai bahwa pernyataan tersebut sangat jelas salahnya. Bahkan, klaim bahwa Yahudi dan Nasrani merupakan agama yang membawa misi tauhid adalah klaim yang sangat tidak tepat, mengingat keduanya justru tidak menegakkan ajaran tauhid, namun menegakkan lawannya, yaitu kesyirikan.
Para pengusung paham ini sering mencomot dalil-dalil dalam Al Quran kemudian melakukan “malpraktik penafsiran”[5] untuk mendukung paham mereka sehingga umat Islam terkelabui. Salah satu dalil[6], -tepatnya dalih-, yang sering diangkat untuk membenarkan klaim mereka bahwa semua agama sama adalah firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Rabb mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah: 62).
Berdasarkan ayat ini, kaum pluralis menyimpulkan bahwa siapa pun yang beriman kepada Allah, beriman kepada hari akhir, melakukan amal kebaikan, maka mereka akan mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Dengan kata lain, keimanan kepada Allah, hari akhir dan moralitas yang baik adalah prinsip dasar bagi benarnya keberagamaan seseorang. Oleh sebab itu, meskipun seseorang secara formal tidak memeluk dan menjalankan syari’at Islam, namun bila ia mempunyai tiga prinsip dasar tersebut maka ia akan mendapatkan keselamatan.[7]
Kesimpulan tersebut tidak tepat berdasarkan alasan berikut:
Pertama: Ibnu Katsir rahimahullah telah membawa riwayat dari As Suddi. Beliau menyatakan bahwa ayat ini terkait dengan para sahabat Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhu. Dia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa para sahabatnya melakukan shalat, berpuasa, beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersaksi bahwa beliau akan diutus sebagai seorang Nabi. Ketika Salman selesai memuji mereka, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Wahai Salman, mereka adalah ahli neraka.” Hal itu terasa berat di hati Salman. Lalu Allah menurunkan ayat tersebut. As Suddi kembali melanjutkan bahwa dengan demikian keimanan Yahudi (dalam ayat tersebut) adalah keimanan orang yang berpegang kepada Taurat dan ajaran Musa ‘alaihissalam sampai datangnya ‘Isa ‘alaihissalam. Ketika ‘Isa datang, siapa yang berpegang kepada Taurat dan ajaran Musa, tidak meninggalkannya dan tidak mengikuti ‘Isa, maka dia adalah orang yang celaka. Dan keimanan Nasrani (dalam ayat tersebut) adalah keimanan orang yang berpegang kepada Injil dan syariat-syariat ‘Isa, maka dia menjadi seorang yang beriman dan diterima – imannya – sampai datangnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, siapa yang tidak mengikuti Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mereka, dan meninggalkan ajaran ‘Isa dan Injil dia menjadi orang yang celaka.[8]
Ayat ini tidaklah bertolak belakang dengan firman-Nya dalam surat Ali ‘Imran ayat 19. Ibnu Katsir menandaskan bahwa ayat di surat Ali ‘Imran itu merupakan pemberitaan bahwa setelah nabi Muhammad diutus, segala bentuk jalan (thariqah) atau amal yang dilakukan seorang tidak akan diterima oleh Allah melainkan harus sesuai dengan syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun, sebelum diutusnya beliau, siapa saja yang mengikuti seorang nabi yang ada pada zamannya, dia berada dalam suatu petunjuk, jalan kebenaran, dan keselamatan.
Jadi, ayat ini terkait dengan umat Yahudi dan Nasrani sebelum diutusnya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, setelah diutusnya beliau, keabsahan iman umat Yahudi dan Nasrani tergantung keimanan mereka kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika mereka menolak, maka tidak bisa dikatakan sebagai orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Dengan demikian, keimanan kepada Allah memiliki hubungan yang erat dengan keimanan kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Ayat-ayat Al Quran saling menjelaskan satu sama lain. Sehingga, tidak sepatutnya kita mencomot salah satu ayat tanpa menghiraukan ayat yang lain. Kaum pluralis ini hendak menyamakan keimanan Islam dengan agama-agama lainnya. Tapi, apakah bentuk keimanan kita sama dengan bentuk keimanan mereka? Jawabnya adalah tidak. Allah telah menegaskan hal ini dalam firman-Nya. Allah memberitakan perihal Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani (yang artinya), “Maka jika mereka beriman seperti keimanan kalian, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Baqarah: 137).
Firman Allah ini jelas menyatakan keimanan mereka tidaklah sama dengan keimanan kaum muslimin. Oleh karena itu, mereka tidak akan mendapatkan petunjuk sebelum beriman seperti keimanan kaum muslimin.
Ketiga: Meskipun mereka beriman kepada Allah, tapi bentuk keimanan mereka adalah keimanan yang bercampur dengan kesyirikan. Oleh karena itu, Allah mengecap mereka dengan kekufuran.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al masih putera Maryam.” (QS. Al Maidah: 17).
Beriman kepada Allah akan tetapi juga beriman kepada tuhan selain Allah itu adalah kesyrikan kepada Allah dan itu merupakan kekufuran. Maka tidak ada bedanya antara orang-orang-orang kafir Quraisy dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, tidak ada beda di antara mereka, karena mereka adalah orang-orang yang musyrik kepada Allah. Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al Bayyinah: 6).
Keempat: Dengan adanya penyimpangan tersebut, Allah pun mengutus nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memperjuangkan, mendakwahkan, dan menegakkan Islam sehingga Islam menjadi agama yang paling tinggi.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.” (QS. Ash Shaf: 9).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menyatakan, “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang pun dari umat ini yang mendengarku, baik dia adalah serang Yahudi atau Nasrani, kemudian meninggal dan tidak beriman kepada ajaranku, niscaya dia termasuk ke dalam penduduk neraka.”[9]
Luntur dengan Sendirinya
Demikianlah, para pembaca yang dimuliakan Allah, uraian mengenai kebatilan pluralisme. Paham ini sebenarnya berusaha untuk melunturkan akidah kaum muslimin dengan menggiring secara perlahan-lahan, menggunakan bahasa yang indah memukau, yang dibungkus dengan slogan toleransi beragama. Namun, pada hakekatnya, hal tersebut merupakan upaya untuk menanggalkan akidah kaum muslimin, karena keimanan seorang yang mengamini paham tersebut bisa luntur dengan sendirinya, tanpa intervensi (paksaan) dari pihak lain. Wal ‘iyadzu billah.
Jika dikatakan bahwa pluralisme ini bertujuan untuk menghilangkan berbagai konflik kekerasan antar umat beragama yang kerap terjadi karena enggan menghargai keberagaman. Maka hal ini dapat dijawab bahwa Islam telah mencontohkan bagaimana hidup saling menghormati dan menghargai antar sesama pemeluk agama yang berbeda-beda. Sejarah telah mencatat kegemilangan Islam dalam hal ini. Islam menghargai keberagaman, tapi hal itu bukan berarti kaum muslimin harus menanggalkan akidah bahwa agama Islam adalah agama yang benar dan memberikan keselamatan bagi umat manusia. Konsep menghargai keberagaman (pluralitas) tanpa membenarkan pluralisme itupun banyak ditunjukkan dalam ayat-ayat yang menerangkan tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Dalam konsep Islam, siapa yang mau beriman, silahkan beriman, siapa yang mau kafir, silahkan kafir. Akibatnya tanggung sendiri.[10][11] Wallahul muwaffiq. [Muhammad Nur Ichwan Muslim]
http://buletin.muslim.or.id/aqidah/pluralisme-paham-yang-terbantahkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.