Islam, -sebagai agama yang diridhai oleh Allah-, tidak henti-hentinya menghadapi berbagai macam tantangan. Tantangan yang cukup serius adalah tantangan di bidang pemikiran keagamaan, baik internal maupun eksternal.
Kita sudah mafhum, fanatisme, taklid buta, bid’ah, dan khurafat (kesyirikan) telah menjadi tantangan internal bagi Islam. Namun, masuknya pluralisme[1] ke dalam wacana pemikiran Islam telah menjadi salah satu tantangan eksternal yang sangat berbahaya karena berusaha meruntuhkan konstruksi tauhid dalam Islam.
Misi Tauhid = Misi Para Nabi
Pembaca yang dimuliakan Allah, Allah Ta’ala telah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengeluarkan manusia dari kesyirikan menuju tauhid sebagaimana Dia mengutus para nabi dan rasul sebelum beliau. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah segala bentuk penyembahan kepada thaghut.” (An Nahl: 36).
Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa tujuan diutusnya setiap rasul adalah untuk mengeluarkan manusia dari kesyrikan menuju tauhid, dari penyembahan kepada makhuk menuju penyembahan hanya kepada Allah Ta’ala. Tujuan inilah yang menjadi titik temu antara ajaran agama yang dibawa oleh setiap nabi, dari yang pertama hingga nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah mengutus seorang rasul untuk setiap umat, di setiap generasi dan golongan, mereka semua menyeru (umatnya) untuk beribadah kepada Allah dan melarang untuk beribadah kepada selain-Nya. Maka Allah senantiasa mengutus para rasul-Nya untuk mendakwahkan hal tersebut sejak munculnya kesyirikan pertama kali pada anak Adam, yaitu pada kaum nabi Nuh. Beliaulah rasul pertama yang diutus oleh Allah kepada penduduk bumi hingga Allah mengakhiri para rasul tersebut dengan pengutusan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dakwahnya diperuntukkan bagi jin dan manusia, baik yang berada di Timur dan di Barat sebagaimana disinyalir Allah Ta’ala dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada sembahan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian” (QS. Al Anbiya: 25)”.[2]
Oleh karena itu, dapat kita jumpai Al Quran sering memberitakan seruan utama para rasul kepada kaumnya yang berisi ajakan untuk menauhidkan Allah dan menjauhi lawannya, yaitu kesyirikan.[3]
Konsepsi Keimanan dalam Islam
Ironisnya, setelah dakwah tauhid menghampiri mereka, umat-umat dari setiap nabi meninggalkan atau menyimpang dari ajaran yang dibawa oleh para nabi. Mereka mengganti tauhid yang diajarkan oleh para nabi tersebut dengan kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, mereka menjadikan nabi-nabi tersebut, yang telah mengajarkan tauhid kepada mereka, sebagai sembahan di samping Allah Ta’ala. Mereka telah meninggalkan konsepsi tauhid yang merupakan konsepsi keimanan seluruh nabi yang diutus oleh Allah Ta’ala. Jadilah mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mempersekutukan Allah Ta’ala (musyrikin). Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara Islam dengan agama selain Islam.
Diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk meluruskan penyimpangan tauhid tersebut. Beliau diutus untuk menegakkan konsepsi tauhid para nabi dan itu ditegaskan secara gamblang dalam surat Al Ikhlas (yang artinya), “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Zat yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” (QS. Al Ikhlas: 1-4).
Inilah konsepsi tauhid dalam Islam dan merupakan pondasi dasar keimanan seorang muslim. Sangat berbeda dengan konsepsi keimanan Yahudi dan Nasrani. Meskipun kita sama-sama meyakini bahwa Allah adalah sembahan kita, adanya hari berbangkit, yang di sana kita akan bertanggungjawab atas perbuatan kita di hadapan Allah Ta’ala. Namun, terdapat perbedaan mendasar antara kita dengan mereka. Allah telah memberitakan perbedaan yang mendasar tersebut.
Allah Ta’ala befirman (yang artinya), “Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al masih itu putera Allah.” (QS. At Taubah: 30).
Ayat ini memberitakan bahwa keimanan mereka sangatlah berbeda dengan apa yang difirmankan Allah dalam surat Al Ikhlas di atas.
Mereka beriman kepada Allah, namun keimanan mereka kepada Allah dicampurkan dengan kesyirikan. Allah telah menyatakan hal itu dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)” (QS. Yusuf: 106).
Betul, mereka meyakini eksistensi Allah dan meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta dan penguasa di alam semesta. Namun, mereka memiliki sembahan selain daripada Allah Ta’ala. Dengan demikian, keimanan mereka kepada Allah adalah keimanan yang bercampur dengan kesyirikan, sehingga keimanan mereka pun adalah keimanan yang batil, keimanan yang rusak, karena keimanan tersebut bukanlah keimanan yang murni mentauhidkan Allah ta’ala.
Pembaca yang dimuliakan Allah, konsepsi tauhid inilah yang telah membedakan Islam dengan agama selain Islam. Konsepsi inilah yang membuat Islam sebagai agama satu-satunya yang diridhai oleh Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam” (QS. Ali ‘Imran: 19).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.