SEBUAH bom berkuatan rendah meledak di Komunitas Utan Kayu, Jakarta. Bom ini dikemas dalam bentuk kiriman sebuah buku setebal 400-an halaman. Awalnya, sang pengirim atas nama Drs. Sulaiman Azhar, Lc meminta Ulil Abshar-Abdalla untuk memberikan kata pengantar sekaligus kesediaannya wawancara untuk buku ini. Judul bukunya sangatlah provokatif: “Mereka Harus Dibunuh Karena Dosa-Dosa Mereka Terhadap Islam dan Kaum Muslimin.”
Menurut Ulil, ia sudah terbiasa diteror. Biasanya lewat pesan singkat, terutama saat ia masih aktif-aktifnya sebagai Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), sebuah komunitas kajian yang mendekonstruksi pemikiran Islam arus utama (mainstream). Itu sebelum Ulil melanjutnya program doktoralnya di kampus Harvard, Amerika Serikat. Namun, sekembalinya dari Paman Sam dan ia mulai aktif sebagai salahsatu ketua DPP Partai Demokrat yang dipimpin oleh Anas Urbaningrum, teror ini terjadi. Menurutnya, “ada muatan politis di balik ini.” Ulil tidak berpikiran terlalu jauh bahwa kejadian ini terkait dengan agama—atau pemikiran keagamaan—yang dibawanya.
Bagaimana kita melihat kasus ini? Pertama, peringatan untuk Ulil. Ulil Abshar selama ini dikenal begitu frontal dalam pemikiran keagamaan. Ia pernah menyebut bahwa “MUI itu tolol.” Perkataan “tolol” itu dalam etika kita di Indonesia merupakan bahasa yang sangat kasar, apalagi ditujukan kepada sebuah lembaga keagamaan yang dihormati. Bom ini patut menjadikan Ulil berintrospeksi diri, sisi mana dalam dirinya yang salah untuk diperbaiki.
Dulu, Nurcholish Madjid, cendekiawan yang dijadikan Ulil sebagai patron, pernah juga berencana diteror bom. Namun kemudian tidak jadi dilanjutkan. Cak Nur dengan pemikiran keagamaannya yang dianggap liberal, oleh kalangan tertentu bahkan hendak diselesaikan dengan jalan pembunuhan. Tapi itu urung diteruskan. Bisa jadi, karena Cak Nur—seliberal apapun ia—masih memegang adat ketimuran, ada fatsoen dalam ucapannya, ada etika, dan tidak frontal serta kasar. Berbeda dengan Cak Nur, Ulil terlihat lebih kasar.
“Kekasaran” Ulil juga terlihat dari terlihat sikap bernuansa kesombongan.
Dalam diskusi online antara dirinya dengan H. Muhammad Nur Abdurrahman (dari Makassar), Ulil terlihat kesan memposisikan HMNA sebagai seorang yang berada di bawahnya. Padahal, HMNA dikenal luas di Makassar sebagai ulama, tulisan-tulisannya dalam, ia rutin menulis di harian Fajar (Grup Jawa Pos), dan aktif di MUI serta sebagai Majelis Syuro’ di Komite Persiapan Penegakan Syari’at Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan. Masalah etika dan kesantunan ini, tampaknya menjadi “ganjalan” bagi Ulil untuk diterima secara luas.
Kedua, target untuk Demokrat. Sebelum bom ini terjadi, masih hangat isu pergantian kabinet atau reshuffle. Ulil, dalam sebuah wawancarana di stasiun televisi dengan yakinnya menyebut bahwa reshuffle akan terjadi, dan yang sudah jelas akan kena gusur adalah PKS, begitu juga Golkar. Tampaknya, jelas bahwa bom ini bukan dilakukan oleh orang Demokrat. Kalau melihat dari sisi ini, bisa jadi orang akan menyebut bahwa pelaku bom ini adalah satu dari dua kelompok itu (PKS atau Golkar). Tapi, rasanya tidak tepat juga kalau kedua kelompok itu jadi tertuduh.
Apa alasannya? Golkar, jelas tidak terlalu tertarik bermain-main dengan bom. Setidaknya, berdasarkan informasi umum yang kita dapatkan, Golkar cenderung bermain yang “aman”, dan jauh dari nuansa kekerasan seperti menggunakan bom. Jadi, tampaknya bukan dilakukan oleh Golkar, lagipula SBY ternyata tidak jadi merombak kabinetnya. Untuk PKS juga seperti itu. PKS, walau di dalamnya banyak lulusan dari perguruan Islam bergelar Lc (licence), begitu juga yang alumni al-Azhar (Mesir), tapi tidak menjadi alasan bahwa hal itu dilakukan oleh PKS. Dalam pemikiran PKS tidak dikenal meneror orang menggunakan bom, apalagi partai ini lebih konsen pada “mencari titik temu” untuk membangun negeri ini. Jadi, PKS juga rasanya terbebaslah dari indikasi melakukan teror bom buku itu.
Pesan bom ini—walau menggunakan pesan keagamaan—bisa jadi ditujukan kepada Demokrat atau untuk Presiden SBY. Artinya, sang pengirim ingin memberikan pesan—lewat Ulil—agar pemimpin negeri ini jangan diskriminatif terhadap Islam, atau gerakan Islam. SBY yang tak bisa jauh dari Amerika (termasuk ikutserta dalam parade perang melawan terornya AS), juga dinilai oleh kelompok Islam radikal sebagai ancaman. Buku yang katanya deretan nama dan dosa-dosa tokoh Indonesia yang harus dibunuh itu bisa menjadi ancaman bagi mereka yang anti kepada gerakan Islam.
SBY, seperti juga yang pernah diutarakan sendiri olehnya dalam sebuah konferensi pers, bahwa ada kelompok tertentu yang menjadi poster dirinya sebagai latihan tembak menembak. Kalau dikaitkan sampai di situ, berarti sejak lama SBY (tokoh Partai Demokrat, dekat kepada AS, dan pro “membasmi” terorisme itu) juga berada pada posisi yang tidak aman.
Ketiga, apakah dari kecenderungan yang ada, berarti Islam garis keras sebagai aktornya? Fakta-fakta lapangan itu adalah: nama pengirimnya bernuansa Arab: Sulaiman Azhar. Sulaiman adalah nama nabi yang juga penguasa di negerinya. Azhar, kalau mau dikaitkan berarti terkait dengan Universitas al-Azhar (Mesir). Atau, kata Azhar yang “bunga” itu, dapat juga diartikan sebagai sebuah kode dari rencana menjadikan Indonesia seperti juga Mesir dan Tunisia. Frase “revolusi bunga”, “revolusi melati” bisa jadi itu inspirasi, atau kalau perspektif ini diterima, maka akan ada “revolusi azhar/bunga” yang dilakukan oleh kalangan yang kuat, jaringannya luas (katakanlah itu sebagai beberapa bagian dari sifat Nabi Sulaiman).
Fakta lainnya adalah: dari judul bukunya. Mereka yang setuju pada tindakan membunuh kalangan yang anti-syari’at (walau itu kaum muslim), ternyata ada. Terbunuhnya Anwar Sadat (Presiden Mesir) pada 1981 dilakukan oleh seorang muslim yang kabarnya pengikut al-Ikhwan al-Muslimun. Tapi, al-Ikhwan sejatinya tidak suka pada cara-cara seperti itu. Kalangan yang dewasa ini dikabarkan setuju pada aksi pembunuhan terhadap penentang syari’at, bisa jadi adalah: al-Qaeda. Kalau perspektif ini yang dipakai, berarti ini adalah “cambukan” bagi Indonesia untuk menggiatkan lagi kebijakan anti teror-nya. Artinya, mereka-mereka yang diindikasi sebagai “sel tidur” dari terorisme perlu diamankan kembali. Berarti, kalau ini yang dipakai, maka negara besar seperti AS bisa saja punya peranan disini.
Dari tiga perspektif di atas, kita belum mengetahui pasti kebenarannya berada dimana. Apakah ini dilakukan oleh partai yang anti-SBY dan Demokrat, gerakan Islam garis keras yang suka mengkafirkan (takfiri), ataukah pekerjaan negara besar. Analisis ini tentu masih bersifat sementara, karena pihak kepolisian juga sementara menyelidiki masalah ini.
Dalam perspektif Islam, tentu saja, tindakan seperti itu tidak dibenarkan. Nyawa seorang manusia sangatlah dihormati, bahkan salahsatu tujuan dari adanya syari’at Islam adalah untuk menjaga jiwa. Artinya bahwa, nyawa ini tidak bisa menjadi barang mainan, seperti seorang sutradara film heroik merancang si jagoan atau penjahat dengan mudah membunuh ini dan itu.
Setidaknya, dari kejadian ini—begitu juga teror bom untuk Gories Mere/mantan Densus 88 dan Japto—sebagai bangsa kita perlu memikirkan kembali: apa yang salah dari negeri ini. Bisa jadi, kekasaran Ulil itu haruslah diakhiri olehnya. Ia semaksimal mungkin bersikap santun, walau dalam perbedaan tafsir dengan rivalnya.
Atau, Presiden SBY sendiri perlu berkaca pada kebijakannya: apa yang salah dalam kebijakan anti-terornya? Namun secara umum, kita semua perlu mengambil pelajaran bahwa pendidikan untuk saling menghormati, anti pada kekerasan, perlu ditanamkan sedari dini. Bisa jadi, sikap teror itu muncul karena kegagalan negara bangsa (nation state), dan kita semua dalam mendidik anak-anak sejak puluhan tahun yang lalu. Wallahu A’lam Bisshawab. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.