Senin, 20 September 2010

Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi segala nikmat dan syari’at yang sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Sebagian orang sering menanyakan, “Bolehkah saya menggabungkan antara puasa Syawal dengan qodho’ puasa (utang puasa)?” Ada memang sebagian orang yang menyatakan boleh, namun kami tidak tahu apa dasarnya sehingga bisa menyatakan demikian. Inilah pembahasan yang akan kami angkat dalam tulisan sederhana berikut ini. Dengan memohon pertolongan Allah, semoga bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian.

Ada suatu masalah yang dikenal di kalangan para ulama yaitu masalah penggabungan atau memasukkan niat ibadah yang satu pada ibadah yang lainnya. Di antara bentuk masalah ini adalah menggabungkan niat amalan wajib dan amalan sunnah.

Para ulama memberikan kaedah dalam hal ini, “Barangsiapa melakukan amalan sunnah, maka itu tidak bisa mencukupi yang wajib.” Misalnya, seseorang berniat puasa ‘Asyura, maka itu tidak bisa mencukupi qodho’ puasa. Namun jika seseorang melaksanakan qodho’ puasa dan bertepatan dengan hari puasa ‘Asyura’, maka qodho’ puasanya sah. Sebagian ulama mengatakan bahwa moga-moga juga ia mendapatkan pahala puasa ‘Asyura sekaligus.[1]

Penulis Mughnil Muhtaj, salah satu kitab Syafi’iyah, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan, “Seandainya seseorang berpuasa di bulan Syawal dengan niatan qodho’ puasa, puasa nadzar atau puasa lainnya, apakah ia pun akan mendapati pahala puasa sunnah atau tidak. Saya belum menemukan ada yang berpendapat seperti ini. Namun pendapat terkuat, ia akan mendapati pahala puasa sunnah tersebut.”[2]

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam Fatawa Ash Shiyam berkata,

“Barangsiapa yang melakukan puasa pada hari ‘Arofah (9 Dzulhijah), atau pada hari ‘Asyura (10 Muharram) sedangkan ia masih memiliki utang puasa Ramadhan, maka puasa sunnah yang ia lakukan tadi sah. Akan tetapi apabila ia berniat melakukan puasa pada hari ‘Arofah atau pada hari ‘Asyura dengan niatan puasa Ramadhan, maka ia akan mendapati dua ganjaran. Ganjaran tersebut adalah ganjaran puasa ‘Asyura disertai dengan ganjaran qodho’ puasa. Penjelasan tadi dimaksudkan untuk puasa muthlaq, yang tidak ada kaitan apa-apa dengan puasa Ramadhan. Adapun puasa enam hari di bulan Syawal, ia adalah puasa muqoyyad, artinya ada kaitannya dengan puasa di bulan Ramadhan. Puasa Syawal boleh dilakukan setelah qodho’ Ramadhan selesai ditunaikan. Seandainya seseorang melakukan puasa Syawal sebelum qodho’ puasa Ramadhan, maka ia tidak mendapati ganjaran puasa Syawal (yaitu pahala seperti puasa setahun penuh, pen). Karena Nabi shallalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من صام رمضان ثم أتبعه بست من شوال فكأنما صام الدهر

“Barangsiapa yang melaksankan puasa Ramadhan, lantas ia ikuti dengan puasa enam hari Syawal, maka seakan-akan ia melakukan puasa setahun penuh.”[3] Sudah maklum bahwa orang yang masih memiliki utang/ qodho’ puasa, belum dianggap melakukan puasa Ramadhan sampai ia menyempurnakan qodho’ puasanya.”[4]

Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah dalam Fatawanya menjelaskan, “Sudah sepatutnya seseorang mendahulukan qodho’ puasa. Ini lebih utama daripada melakukan puasa sunnah (tathowwu’). Namun jika waktu begitu sempit dan khawatir akan luput puasa pada hari yang mulia seperti pada hari ‘Asyura (10 Muharram) atau pada hari ‘Arofah (9 Dzulhijah), maka berpuasalah dengan niatan qodho’ puasa. Semoga dari situ ia pun bisa mendapatkan pahala puasa ‘Asyura atau puasa ‘Arofah sekaligus. Karunia Allah sungguh amat luas. Wallahu a’lam.”[5]

Jika kita perhatikan dengan seksama penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa yang dianjurkan adalah mengqodho’ puasanya dan nantinya pahala puasa sunnah moga-moga juga diperoleh. Dan bukan dimaksudkan di sini adalah menggabungkan niat qodho’ puasa dengan puasa sunnah sekaligus. Niatannya tetap qodho’ puasa yang hukumnya wajib dan berharap bisa pula mendapatkan pahala puasa sunnah. Jadi tidak tepat memahami perkataan ulama-ulama yang telah kami sebutkan dengan memaksudkan bolehnya menggabungkan dua niat puasa, yaitu puasa wajib dan puasa sunnah sekaligus. Pemahaman semacam ini sungguh keliru dan benar-benar salah kaprah. Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap dalam Riset Ilmiyyah dan Fatwa) di Saudi Arabia pernah mengatakan,

لا يجوز صيام التطوع بنيتين، نية القضاء ونية السنة

“Tidak boleh melakukan puasa sunnah dengan dua niat sekaligus yaitu dengan niat qodho’ puasa dan niat puasa sunnah.”[6] Keterangan lebih lengkap silakan lihat di sini(http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2714-hukum-menggabungkan-niat-puasa-syawal-dengan-qodho-puasa.html).

Terkhusus puasa Syawal, tetap lebih utama seseorang melaksanakan qodho’ puasa Ramadhan daripada puasa Syawal. Karena pahala puasa Syawal (pahalanya seperti berpuasa setahun penuh) bisa diraih jika seseorang melakukan puasa Ramadhan secara sempurna. Artinya, jika masih ada utang puasa, maka seharusnya itu lebih didahulukan daripada puasa Syawal. Namun seandainya ia tetap berpuasa Syawal, puasanya tetap sah. Pahala setahun penuh saja yang luput darinya. Menurut pendapat paling kuat -sebagaimana pernah kami jelaskan- boleh melakukan puasa sunnah sementara masih memiliki utang puasa. Keterangannya silakan lihat di sini (http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/3186-bolehkah-mendahulukan-puasa-sunnah-dari-qodho-puasa.html).

Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Hanya Allah yang beri taufik.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.



Diselesaikan di Panggang-Gunung Kidul, 11 Ramadhan 1431 H (19 September 2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com


[1] Lihat Fatwa Al Islam wa Jawab no. 128256, pada link http://islamqa.com/ar/ref/128256/.

[2] Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaj, Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini, Darul Ma’rifah, cetakan pertama, 1418 H, 1/654.

[3] HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub Al Anshori.

[4] Fatawa Ash Shiyam 438. Dinukil dari Fatwa Al Islam wa Jawab no. 128256.

[5] Fatwa Al Islam wa Jawab no. 128256, pada link http://islamqa.com/ar/ref/128256/.

[6] Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al 'Ilmiyyah wal Ifta', soal Ketiga dari Fatwa No. 6497

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.