Kamis, 02 September 2010

Surga Ibu di Meja Makan

Surga Ibu di Meja Makan
oleh Tentara Hati pada 26 Agustus 2010 jam 8:00

MEJA MAKAN

oleh: Ndika Mahrendra


UDARA seperti bintik-bintik salju yang mengembang, terasa dingin dan menggigilkan. Di luar, tak ada katak berdengking, tak ada suara-suara, selain sebentang rasa hening yang menciptakan sebentuk suasana yang asing yang sulit dijelaskan.

Penunjuk angka di jam dinding berdengkit di atas angka tiga dini hari. Suaranya yang berisik tak mengganggu seisi rumah yang sedang tertidur pulas, tak jarang, sesekali mendengkur, atau sekedar menarik selimut hingga genap menutupi sekujur badan dalam keadaan tak sadar.

Tapi seorang wanita paruh baya bangkit dari ranjang, membenahi letak bajunya, mengenakan jilbab yang tergantung di dinding, lalu berjalan membuka pintu kamar. Dari wajahnya yang pias, terlihat ia sangat lelah, belum sempurna menghilangkan kantuk, terlebih saat melihat telapak tangannya memukul-mukul bibirnya yang menguap.

Tapi ada sebuah tugas yang harus ia tunaikan sebagai seorang istri yang shalih, sebagai seorang ibu yang baik hati. Dan di atas semua itu, ada sebuah tugas mulia sebagai seorang hamba kepada Tuhannya.

Sesampainya di dapur, perempuan itu membuka penutup meja makan, melihat mana yang harus dipanaskan, dan menu apa yang harus dipersiapkan. Lalu terdengarlah suara itu, suara nyala api dari sebuah kompor gas, minyak goreng yang mendidih dan meletik-letik, dan desis serupa hembusan napas ular saat beberapa bongkah tempe terjebur di kedalaman minyak goreng mendidih.

Sayur dihangatkan, dituang ke dalam baskom kecil, lalu ditata di meja. Sebelah butir cabai rawit, dua buah siung bawang putih, bongkahan garam dan serbuk penyedap rasa digerus di lemper hingga halus, lalu ditaruh di atas meja makan. Selanjutnya menyeduh lima gelas susu coklat yang mengepulkan asap ke udara.

Baru ketika yakin seluruh keperluan sahur telah pungkas disajikan di meja makan, perempuan itu membangunkan suami dan anak-anaknya untuk bersahur.

Makan dini hari dengan sedikit perbincangan itu telah rampung, puluhan menit sebelum suara serupa sirine dari masjid yang menandakan imsak berbunyi. Sang suami segera mengambil air wudhu, menyempatkan shalat malam, sementara tiga anak lelakinya yang telah remaja tengah asyik menonton ‘Sahurnya OVJ’ yang tak memperkaya jiwa. Sementara perempuan yang mulai menua itu, segera mengemasi sisa makan, mengangkut ke sumur, dan mencucinya hingga bersih dan keset.

Baru ketika terdengar adzan shubuh, ia mengemasi dirinya, mengambil wudhu, dan shalat berjamaah di masjid kecil yang tak jauh dari rumah. Khotbah serampung shalat subuh yang kerap kali tak menyentuh, sesekali membuat wanita itu liyer dan mengantuk. Kepalanya seringkali mengangguk keras.

***

Demikianlah potret ibu yang tengah meretas jalan menuju syurga dari meja makan. Tampak sederhana, memang..., tapi sungguh, butuh sebuah kerja keras dan keihlasan yang agung dan menggetarkan.

Bayangkanlah olehmu, selama puasa, kapankan seorang ibu terlihat menganggur dan menikmati waktu luang? Sebab saat kita tengah lelap tidur, ia telah lebih dulu bangun, menyiapkan sayur yang hangat, tempe atau ikan asin yang menggairahkan. Juga segelas susu, atau teh panas.

Saat menunggu adzan subuh dan kita asyik menonton televisi, dia, ibu..., sibuk membersihkan sisa makan. Dan saat pagi kita kembali tidur lagi, ia telah bertempur dengan baju-baju yang harus dicuci, halaman dan lantai yang butuh disapu, juga mengatur siasat lauk dan sayur apa untuk buka dan sahur berikutnya.

Sore hari, saat kita mengikuti kajian di televisi, atau menonton sinetron relejius ‘Ketika Cinta Bertasbih’ yang lebih tepat disebut ‘Ketika Cinta Beristighfar’ karena begitu banyak penyesuaian kepada pasar dan pemodal demi mengaduk-aduk emosi pemirsa, demi tuntutan sesembahan pasar sinetron bernama ‘rating’, ibu kita begitu sibuk menyiapkan buka puasa.

Bahkan saat kita telah bersiap tarawih, ibu kita yang mulia—semoga keridhaan Tuhan untuknya—, belum juga selesai mengemasi bekas buka kita yang makan seperti seorang membalas dendam.

Lantas, apa gerangan yang mampu membuat ibu kita begitu tabah mengerjakan laku yang begitu berat dan mengenaskan? Dan mengapa ibu kita begitu ikhlas bekerja, bahkan saat kita masih tidur pulas, atau telah bersantai menonton televisi?

Hanya Allah dan ibu kita yang tahu seluruh rahasia yang mempesona dan menggetarkan itu..... ][



Catatan: Artikel untuk rubrik Senandika di buletin 'Tempias'
Redaksi: 085643188110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.