Sudah jadi hal yang begitu ma’ruf di negeri ini, di penghujung bulan Ramadhan, menjelang lebaran atau Idul Fithri, kaum muslimin begitu sibuk untuk mempersiapkan mudik lebaran. Bahkan sejak jauh-jauh hari mereka sudah memesan tiket dan memilih kendaraan yang lebih nyaman nan selamat. Namun amat jarang yang memikirkan bagaimanakah ajaran Islam mengajarkan persiapan untuk melakukan perjalanan jauh. Jika seseorang memperhatikan ajaran tersebut dalam melakukan persiapan perjalanan jauh lantas ia mengamalkannya, maka sungguh mudik yang ia jalani akan begitu berkah. Keberkahan ini diperoleh karena ketaatannya dan semangatnya dalam mengikuti ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Di antara persiapan sebelum mudik:
Pertama, melakukan shalat istikharah terlebih dahulu untuk memohon petunjuk kepada Allah mengenai waktu safar, kendaraan yang digunakan, teman perjalanan dan arah jalan. Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengajari para sahabatnya shalat istikhoroh dalam setiap urusan. Beliau mengajari shalat ini sebagaimana beliau mengajari surat dari Al Qur’an.” [1]
Kedua, jika sudah bulat melakukan perjalanan, maka perbanyaklah taubat yaitu meminta ampunan pada Allah dari segala macam maksiat, mintalah maaf kepada orang lain atas tindak kezholiman yang pernah dilakukan, dan minta dihalalkan jika ada muamalah yang salah dengan sahabat atau lainnya.
Ketiga, menyelesaikan berbagai persengketaan, seperti menunaikan utang pada orang lain yang belum terlunasi sesuai kemampuan, menunjuk siapa yang bisa menjadi wakil tatkala ada utang yang belum bisa dilunasi, mengembalikan barang-barang titipan, mencatat wasiat, dan memberikan nafkah yang wajib bagi anggota keluarga yang ditinggalkan.
Keempat, meminta restu dan ridho orang tua atau keluarga, tempat berbakti dan berbuat baik.[2]
Kelima, melakukan safar atau perjalanan bersama tiga orang atau lebih. Sebagaimana hadits,
“Satu pengendara (musafir) adalah syaithan, dua pengendara (musafir) adalah dua syaithan, dan tiga pengendara (musafir) itu baru disebut rombongan musafir.”[3]
Yang dimaksud dengan syaithan di sini adalah jika kurang dari tiga orang, musafir tersebut sukanya membelot dan tidak taat.[4] Namun larangan di sini bukanlah haram (tetapi makruh) karena larangannya berlaku pada masalah adab.[5]
Keenam, mengangkat pemimpin dalam rombongan safar yang mempunyai akhlaq yang baik, akrab, dan punya sifat tidak egois. Juga mencari teman-teman yang baik dalam perjalanan. Adapun perintah untuk mengangkat pemimpin ketika safar adalah,
“Jika ada tiga orang keluar untuk bersafar, maka hendaklah mereka mengangkat salah di antaranya sebagai ketua rombongan.”[6]
Ketujuh, hendaklah melakukan safar pada waktu terbaik.
Dianjurkan untuk melakukan safar pada hari Kamis sebagaimana kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Ka’ab bin Malik, beliau berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju perang Tabuk pada hari Kamis. Dan telah menjadi kebiasaan beliau untuk bepergian pada hari Kamis.”[7]
Dianjurkan pula untuk mulai bepergian pada pagi hari karena waktu pagi adalah waktu yang penuh berkah. Sebagaimana do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu pagi,
“Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.”[8]
Ibnu Baththol mengatakan, “Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan waktu pagi dengan mendo’akan keberkahan pada waktu tersebut daripada waktu-waktu lainnya karena waktu pagi adalah waktu yang biasa digunakan manusia untuk memulai amal (aktivitas). Waktu tersebut adalah waktu bersemangat (fit) untuk beraktivitas. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan do’a pada waktu tersebut agar seluruh umatnya mendapatkan berkah di dalamnya.”[9]
Juga waktu terbaik untuk melakukan safar adalah di waktu duljah. Sebagian ulama mengatakan bahwa duljah bermakna awal malam. Ada pula yang mengatakan seluruh malam karena melihat kelanjutan hadits. Jadi dapat kita maknakan bahwa perjalanan di waktu duljah adalah perjalanan di malam hari[10]. Perjalanan di waktu malam itu sangatlah baik karena ketika itu jarak bumi seolah-olah didekatkan. Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hendaklah kalian melakukan perjalanan di malam hari, karena seolah-olah bumi itu terlipat ketika itu.”[11]
Kedelapan, melakukan shalat dua raka’at ketika hendak pergi[12]. Sebagaimana terdapat hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika engkau keluar dari rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang dengan ini akan menghalangimu dari kejelekan yang berada di luar rumah. Jika engkau memasuki rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang akan menghalangimu dari kejelekan yang masuk ke dalam rumah.”[13]
Kesembilan, berpamitan kepada keluarga dan orang-orang yang ditinggalkan.
Do’a yang biasa diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang hendak bersafar adalah,
“Astawdi’ullaha diinaka, wa amaanataka, wa khowaatiima ‘amalik (Aku menitipkan agamamu, amanahmu, dan perbuatan terakhirmu kepada Allah)”[14].
Kemudian hendaklah musafir atau yang bepergian mengatakan kepada orang yang ditinggalkan,
“Astawdi’ukallaha alladzi laa tadhi’u wa daa-i’ahu (Aku menitipkan kalian pada Allah yang tidak mungkin menyia-nyiakan titipannya).”[15]
Kesepuluh, ketika keluar rumah dianjurkan membaca do’a:
“Bismillahi tawakkaltu ‘alallah laa hawla wa laa quwwata illa billah” (Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada-Nya, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Nya)[16].
Atau bisa pula dengan do’a:
“Allahumma inni a’udzu bika an adhilla aw udholla, aw azilla aw uzalla, aw azhlima aw uzhlama, aw ajhala aw yujhala ‘alayya” [Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan diriku atau disesatkan orang lain, dari ketergelinciran diriku atau digelincirkan orang lain, dari menzholimi diriku atau dizholimi orang lain, dari kebodohan diriku atau dijahilin orang lain][17].
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.