Rabu, 14 Juli 2010

Kita Seperti Elang Mengejar Seekor Bangkai

Francis Fukuyama berpandangan, pertarungan peradaban akan dimenangkan oleh kapitalisme yang mengusung demokrasi liberal. Betulkan demikian? Padahal, Fukuyama mendasarkan teorinya pada filsafat Barat, Hegel. Lantas, apakah ada pemikiran brilian dari kalangan Islam yang mendasarkan ”teorinya” dari khazanah keilmuwan Islam sendiri.

Jawabannya ada. Salah satunya, kita harus kembali pada konsep membangun peradaban yang dicontohkan Rasulullah dan khulafaurrasyidin. Untuk mulai membangun, tumpuannya berada pada generasi muda yang mampu menegakkan empat soko guru (tiang utama) sebagaimana dibentuk oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Setelah sebelumnya berhasil membangun pondasi keimanan sebagaimana dirintis oleh Rasulullah saw.

Itulah pendapat Tokoh NU Betawi KH Syaifudin Amsir, yang disampaikan kepada Sabili. Dalam wawancara yang berlangsung di rumahnya, kawasan Kalimalang, Jakarta Timur, kiai ini juga berpesan agar kita jangan tertipu dengan pesona dunia kekufuran. Padahal, itu hanya tipuan dunia yang secuil.

”Berapa banyak orang yang kaya kian berminat untuk bunuh diri, karena apa yang mereka anggap banyak, ternyata terus mengecil. Inilah yang menyebabkan Abdurrahman bin Auf tak sungkan-sungkan menyerahkan 30 ribu kuda untuk jihad fii sabilillah. Saya melihat kecenderungan para ulama yang tak nyampe-nyampe dalam belajar, tapi ingin punya otoritas gede. Akibatnya, selalu bermusuhan dengan orang-orang yang membawa misi kebaikan,” terangnya. Berikut kutipan wawancara selengkapnya:



Menurut kiai, bagaimana cara membangun masyarakat yang islami?

Dalam membentuk masyarakat seperti pada zaman Rasulullah saw, konsep Islam sangat sederhana. Apakah Rasulullah dan sahabatnya membuat perubahan dengan sistem yang bisa disebut ilmiah? Apakah para sahabat mengenal sains dan teknologi? Ternyata tidak. Yang paling pokok dalam perubahan adalah meluruskan sikap manusia, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan untuk berbuat, berpikir dan mempunyai tujuan hidup yang benar. Bukan menjadi penguasa atas yang lain dalam otoritasnya yang menyebabkan adanya perbedaan antara yang mengusai dan yang dikuasai.

Yang jadi kendala dalam kehidupan adalah ilmuwan terlalu percaya diri, bahwa dialah yang bisa menata hidup dengan benar. Begitu juga hartawan, dengan kekayaannya merasa layak menjadi pengatur segalanya. Ilmu yang dipadukan dengan kekayaan untuk membentuk kekuatan (power), lahirlah kapitalisme. Sejak dulu, kapitalisme selalu mengatur orang, tapi gagal. Sebaliknya lawan dari kapitalisme justru menjadi bumerang yang menabrak kapitalisme dengan gayanya sendiri. Akhirnya, mereka tak percaya lagi dengan ilmu dan harta benda. Tapi percaya pada kekuatan dan kebuasan. Inilah tabrakan yang tak ada habis-habisnya.

Pada masa Rasulullah saw apa juga terjadi demikian?

Ini tidak terjadi di zaman Rasulullah saw. Pada masa itu, wujud kehidupan dinyatakan dalam al Qur’an sebagai wujud masyarakat terbaik. Kuntum khaira ummatin, ukhrijjat linnas, ta’muru nabi ma’rufi watanhauna anil munkar dan seterusnya. Jadi, yang paling fundamental dalam membentuk suatu kehidupaan jika tidak sejajar, ia bisa mengimbanginya. Karena manusia mempunyai potensi yang melekat di dalam dirinya untuk mengenal kebaikan, suara hati, panggilan jiwa yang tidak bisa mengingkari al ma’ruf (kebaikan-kebaikan). Jadi, kebaikan itu tidak dipelajari, karena kebaikan milik manusia. Manusia diberikan oleh Allah kecenderungan untuk mengenal dan mengakrabi kebaikan. Wataunhauna anil munkar (mencegah dari segala kejahatan).

Jadi, perubahan menuju kebaikan sebenarnya sudah ada di dalam diri setiap manusia?

Ya, itu saja patokannnya. Kita disebut sebagai umat terbaik karena memiliki kemampuan untuk mengingkari atau menutup pintu munkar. Jika para pemikir dan mereka yang memiliki otoritas (kekuasaan) menyadari hal ini, upaya menjalankan amar ma’ruf nahi munkar mudah dijalankan. Contoh, buku Fiqih Lintas Agama. Mereka ingin mengatakan, agama ini menjadi parah, salah, terlalu fanatik, sehingga harus dihilangkan. Tak ada lagi atribut keagamaan dan ketuhanan, agar manusia berada di tangan manusia itu sendiri.

Mereka ingin membanggakan apa yang disebut eksistensi manusia sendiri. Jadi, manusia diakui sebagai pengada, meski tidak menyebut sebagai pencipta alam. Tapi sangat mengandalkan keberadaan manusia sampai disebut Sang Pengada. Karenanya, yang tidak dikenal manusia dianggap tidak ada. Akhirnya mereka menggugat, kenapa manusia harus ditata oleh nabi yang bersumber dari Tuhan, padahal Tuhan tidak dikenal. Mereka juga bertanya, kenapa yang dikenal harus diatur oleh yang tidak dikenal? Ini prinsip dasar filsafat dari dasar kemanusian yang menimbulkan kerusakan paling dasyat sepanjang peradaban manusia.

Lantas, apa yang harus dipersiapkan umat Islam untuk melahirkan sosok pendobrak?

Memahami dan menjiwai identitas baik dan buruk. Manusia dalam rentangan hidupnya selalu berhadapan dengan orang-orang yang tidak mau diatur oleh sebuah otoritas, karena dianggap sebagai otoritas di luar dirinya. Dia ingin otoritas itu ada pada dirinya. Tapi yang muncul adalah monarki bahwa raja tak pernah salah. Fir’aun mengatakan, yang pantas menjadi Tuhan, ya saya sendiri. Ini berulang-ulang dijelaskan al Qur’an. Seperti, keyakinan Kaum Zahiriyah bahwa kita dimatikan dan dihidupkan bukan oleh Tuhan, tapi oleh masa. Tunggu gilirannya. Jika anak muda diajarkan seperti ini, akan timbul kekacauan sendiri.

Terkait kisah Thalut dan Jalut, yang akhirnya muncul sebagai pendobrak jumlahnya sangat sedikit. Konteks kekiniannya bagaimana?

Merujuk ayat itu, banyak sekali kelompok kecil yang bisa menumbangkan kelompok besar atas izin Allah. Ketika pemimpin A tidak lagi taat dengan pemimpin B, maka si A bertindak sekehendaknya, sampai membuat kengerian dalam komunitas mereka. Jadi, kita tinggal menunggu giliran dibelah kepalanya dari belakang atau dari depan. Itu kehidupan yang mereka ciptakan. Mereka tidak percaya otoritas di luar diri. Apalagi, mereka tidak percaya bahwa mereka bisa hidup selamanya dalam keadaan aman, karena ternyata alam masih menyimpan misteri di luar dugaan. Tsunami, sulit dideteksi. Itulah akibatnya jika manusia tidak percaya dengan kekuasaan Allah. Akhirnya melakukan perbuatan aneh.

Kongkritnya kiai?

Harus ada kelompok yang jumlahnya sedikit tapi tidak terkalahkan oleh pemegang otoritas dari kelompok yang banyak atau yang sedang berkuasa. Hanya kelompok seperti ini yang bisa menjadi pendobrak menuju perubahan.

Saya teringat ungkapan Hassan al-Banna bahwa prioritas dakwah adalah merebut kekuasaan. Tapi, ketika penguasa tidak bisa menjalankan fungsinya, apakah gagasan al-Banna itu relevan?

Hasan al-Banna punya sisi-sisi kebenaran. Kebenaran itu menjadi sangat bertabrakan ketika dihadapkan pada kebathilan. Karena itu, belajar meneliti mana yang benar dan mana yang salah, menjadi kewajiban yang sangat diperlukan bagi orang yang memiliki semangat untuk maju, meniru peradaban seperti yang ada pada zaman sahabat. Khalifah Umar, secara postur maupun perangai ia sosok yang sangat otoriter, tapi pada saat dikukuhkan sebagai khalifah, ada orang awam yang berkata, ”Kalau kau bengkok wahai Umar, aku yang akan memenggal lehermu.” Umar justru memuji orang itu. Orang seperti ini yang aku suka, kata Umar.

Berbeda dengan penguasa sekarang?

Betul. Umar tidak menyelidiki siapa orang itu dan siapa konco-konconya? Khalifah Utsman juga demikian. Ketika melihat ada otoritas tertentu yang menyuruhnya bertindak tegas, menyerahkan sekretarisnya untuk dibunuh. Ustman bertanya, apa buktinya? Utsman berkata, aku tidak akan menanggalkan baju yang Allah kenakan untuk diriku karena keinginan-keinginan kalian. Jika kalian menganggap aku telah menulis surat untuk membunuh sekretarisku, maka aku telah kehilangan cincinku. Aku memang tidak melihat ia mencuri, tapi mana bukti bahwa ia telah mencuri? Jika dalam kondisi ini aku harus menyerahkan diri, dan menanggalkan baju kekhalifahanku, aku tidak ingin orang lain yang mengusai daerah Allah. Jika ini dijadikan sebagai dalil, nanti setiap khalifah di dunia Islam, akan menjadi bulan-bulanan selera orang. Biar sejarah membetulkan urusannya. Itu semua dalam tuntunan amar maruf nahi mungkar.

Jadi, dalam konteks negara, para sahabat mempunyai strategi dalam membangun peradaban Islam?

Iya. Khalifah Abu Bakar berkonsentrasi pada pembangunan ekonomi. Abu Bakar menyadari, karena Islam masih muda, maka harus diperkuat sisi ekonominya untuk membangun kekuatan lain. Tidak mungkin umat Islam bisa berjuang mandiri jika tidak memiliki sumber-sumber ekonomi yang kuat. Amar ma’ruf dalam bidang ekonomi memunculkan pengusaha-pengusaha Muslim yang berorientasi akhirat bukan dunia.

Kedua, setelah pondasi ekonomi kuat. Khalifah Umar memperkuat internal umat Islam dengan penegakan hukum. Hukum diterapkan tanpa pandang bulu. Pejabat yang korup langsung diadili dan dipecat. Hukum tidak kebal bagi umat Islam sendiri, meski kelihatan seperti membela kelompok non-Muslim. Tapi yang dimunculkan oleh Umar adalah ketegasan dan kepastian hukum. Keputusan ini memang tepat, karena pada saat Islam mulai menanjak maju terjadi yang namanya euforia. Ini yang diluruskan oleh Umar bahwa perjuangan belum selesai.

Ketiga, setelah pondasi ekonomi dan kepastian hukum tegak, Khalifah Utsman bin Affan mulai menjalankan ekspansi dan ekspedisi ke penjuru dunia memperkenalkan kebenaran Islam agar tidak hanya dimiliki oleh dunia Islam saja, tapi harus menjadi rahmat seluruh umat manusia. Karenanya, khalifah memilih orang-orang berbakat dibidangnya untuk maju ke garis depan menjadi diplomat, utusan khalifah atau panglima perang. Akhirnya, munculah sahabat nabi seperti Abi Dzar al-Ghifari berhadapan dengan panglima perang tentara Nasrani yang sangat mewah. Dalam kontkes ini, kezuhudan Utsman tidak perlu dipajang dan dipamerkan di mana-mana. Untuk berhadapan dengan dunia luar, khalifah menyebarkan panglima-panglimanya yang parlente dan cakap dalam bidangnya. Pada masa inilah, sejarah mencatat, Islam menyebar ke mana-mana.

Keempat, Allah menyempurnakan Islam dengan sikap dan kepemimpinan Ali. Sekali lagi, pada saat Islam makin meninggi, euforia makin menjadi-jadi. Ketamakan pada dunia dengan sendirinya mulai terjadi di dalam tubuh umat Islam sendiri. Ali sendiri mengatakan, ”Hai dunia aku telah talak engkau tiga kali, tapi kenapa masih saja mengejar aku juga.” karena itu, konsentrasi yang dijalankan oleh Sayyidina Ali adalah meluruskan kekuatan yang menjadi keindahan Islam. Keindahan Islam ternyata bukan pada ketamakan menumpuk harta, tapi kepastian hukum, keadilan dan pengelolaan harta untuk jihad fii sabilillah.

Bisa tidak generasi sekarang menerapkan empat konsep ini?

Itulah pertanyaannya. Bisa nggak generasi sekarang membangun empat soko guru yang dibentuk oleh sosok Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Keempatnya harus mendukung dinamika umat Islam dengan kecepatan yang luar biasa. Dunia terkagum-kagum ketika Nabi Muhammad saw beserta para sahabatnya, dinilai oleh Napoleon Bonaperte. Napoleon mengatakan, 15 tahun rentang antara Muhammad dan sahabatnya itu lebih berarti dalam mengubah peradaban dari pada 15 abad rentang antara Musa dengan Isa.

Jadi, saya tidak punya konsep bertele-tele. Sekarang ini orang kebanyakan urusan, sok liberal, padahal ia hanya mabuk duit saja. Karena titel tidak bisa memperkaya diri, lalu dijual titel itu ke luar negeri dengan mengorbankan adalah al Qur’an, hadits dan moralitas Islam. Bahkan, mereka lebih setuju dengan orang yang memunculkan nabi dari pada orang yang memuculkan konsep-konsep pembenaran. Ini kesalahan fatal.

Di negeri ini, ketika tokoh Islam memegang kekuasaan mereka begitu mudah tergoda harta hingga berbuat korup. Kok jauh dari perilaku para sahabat?

Cara mengecilkan Islam adalah dengan memiskinkan Islam sehingga tidak dibiarkan Islam mengartur dirinya sendiri. Pembicaraan saya tidak ingin melebar, nanti saya dibilang iri hati dengan duitnya para pejabat atau pemimpin partai.

Bukankah itu apriori?

Bukan apriori, ini amar ma’ruf nahi munkar. Kalau duit sudah langka, lalu hukum apa yang bisa ditegakkan, kalau yang tercipta adalah ketergantungan. Jika orang sudah banyak duit, tapi tidak ada kepastian hukum, gimana jadinya. Pada zaman Khalifah Umar, pedagang susu yang mencampur air, dihukum cambuk. Sekarang kan gak jelas.

Terkait dakwah, kadang-kadang umat Islam mengalami kedangkalan kenapa?

Begini. Jangan tertipu dengan pesona yang melimpah ruah dari dunia kekufuran. Seolah menentukan segala-galanya. Itu hanya dunia yang secuil. Berapa banyak orang yang kaya makin berminat bunuh diri. Karena apa yang mereka anggap banyak, ternyata makin mengecil. Ini yang menyebabkan Abdurrahman bin Auf tidak sungkan-sungkan menyerahkan 30 ribu kuda untuk jihad fii sabilillah. Saya melihat ada kecenderungan para ulama yang tidak nyampe-nyampe dalam belajar, tapi ingin punya otoritas gede. Sehingga selalu bermusuhan dengan orang-orang yang membawa misi kebaikan.

Jika begitu, mungkinkah Islam mengalami kejayaan?

Tentu saja bisa. Terutama ketika orang sudah nggak nonton pangkat lagi, tidak glamour. Selama ini, kita memuji-muji kehebatan burung elang. Kita kerap mengatakan, betapa hebatnya elang memandang segala sesuatu dengan tajamnya dari atas, menangkap dan membanting dengan tangkas, bahkan membunuh dengan cepat. Elang pun begitu terpesona dengan mangsanya, padahal yang dikejar hanya seekor bangkai yang membusuk. Itulah dunia.

sumber : http://www.sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2226:kita-seperti-elang-mengejar-seekor-bangkai&catid=83:wawancara&Itemid=200

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.