Rabu, 07 Juli 2010

Ku pinang Engkau....

Suatu saat, seorang akhwat bertanya kepada saya. Pertanyaannya sederhana,
akan tetapi tidak mudah bagi saya untuk dengan tepat menjawabnya. Saat
itu akhwat kita ini mengajukan pertanyaan retoris, pertanyaan yang
seolah-olah tidak membutuhkan jawaban, akan tetapi sekarang saya bisa merasakan
bahwa ada hal yang diam-diam menjadi masalah. Saya bisa merasakan, ada sesuatu
yang sedang berlangsung namun tidak banyak terungkap karena berbagai sebab.
Ketika itu, akhwat tersebut mengajukan pertanyaan yang pada intinya adalah:
“Apa yang menghalangi ikhwan-ikhwan itu meminang seorang akhwat? Mengapa
ikhwan banyak yang egois, hanya memikirkan dirinya sendiri?”
“Sesungguhnya,” kata akhwat tersebut, “banyak akhwat yang siap.”
Akhwat itu bertanya bukan untuk dirinya. Telah beberapa bulan ia menikah.
Ketika mempertanyakan masalah itu kepada saya, ia didampingi suaminya. Ia
bertanya untuk mewakili “suara hati” (barangkali demikian) akhwat-akhwat lain yang
belum menikah. Sementara usia semakin bertambah, ada kegelisahan dan kadangkadang
kekhawatiran kalau mereka justru dinikahkan oleh orangtuanya dengan lakilaki
yang tidak baik agamanya.
Pertanyaan akhwat itu serupa dengan pertanyaan Rasulullah al-ma’shum. Beliau
yang mulia pernah bertanya, “Apa yang menghalangi seorang mukmin untuk
mempersunting istri? Mudah-mudahan Allah mengaruniainya keturunan yang
memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah.”
Apa yang menghalangi kita untuk menikah? Kenapa kita merasa berat untuk
meminang seorang akhwat secara baik-baik dengan mendatangi keluarganya?
Apa yang menyebabkan sebagian dari kita merasa terhalang langkahnya untuk
mempersunting seorang gadis muslimah yang baik-baik sebagai istri, sementara
keinginan ke arah sana seringkali sudah terlontarkan. Sementara kekhawatiran jatuh
kepada maksiat sudah mulai menguat. Sementara ketika “maksiat-maksiat kecil” (atau
yang kita anggap kecil) sempat berlangsung, ada kecemasan kalau-kalau
keterlambatan menikah membuat kita jatuh kepada maksiat yang lebih besar.
Saya teringat kepada burdah, syair karya Al-Bushiri. Di dalamnya ada beberapa
bait sindiran mengenai saya dan Anda:
Siapakah itu
yang sanggup kendalikan hawa nafsu
seperti kuda liar
yang dikekang temali kuat?
Jangan kau berangan
dengan maksiat nafsu dikalahkan
maksiat itu makanan
yang bikin nafsu buas dan kejam
Sungguh, hampir saja kaki kita tergelincir kepada maksiat-maksiat besar kalau
Allah tidak menyelamatkan kita. Dan kita bisa benar-benar memasukinya
(na’udzubillahi min dzalik tsumma na’udzubillahi min dzalik) kalau kita tidak segera
meniatkan untuk menjaga kesucian kemaluan kita dengan menikah. Awalnya
menumbuhkan niat yang sungguh-sungguh untuk suatu saat menghalalkan pandangan
mata dengan akad nikah yang sah. Mudah-mudahan Allah menolong kita dan tidak
mematikan kita dalam keadaan masih membujang.
Rasulullah Muhammad Saw. pernah mengingatkan:
“Orang meninggal di antara kalian yang berada dalam kehinaan adalah
bujangan.”
Rasulullah Saw. juga mengingatkan bahwa, “Sebagian besar penghuni neraka
adalah orang-orang bujangan.”
Seorang laki-laki yang membujang harus menanggung beban syahwat yang
sangat berat. Apalagi pada masa seperti sekarang ini ketika hampir segala hal
memanfaatkan gejolak syahwat untuk mencapai keinginan. Perusahaan-perusaan obat
memanfaatkan gambar-gambar wanita untuk menarik pembeli. Perusahaan-perusaan
rokok juga memanfaatkan gadis-gadis muda yang seronok untuk mempromosikan rokoknya
di stasiun-stasiun dengan merelakan diri mengambilkan sebatang rokok
sekaligus menyalakan apinya ke laki-laki yang sedang lengah ataupun sengaja
“melengahkan” diri. Saya pernah menyaksikan kejadian semacam ini di stasiun Tugu,
Yogyakarta sekitar bulan Juli tahun 1996 yang lalu.

copas dari : http://taqimudin.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.