Assalamu'alaikum . . .
Kini, tatkala semua saudara besarku telah hidup sendiri-sendiri dengan keluarganya masing-masing, saya ingin tetap menemani ibuku sampai batas waktu yang tidak ditentukkan, kecuali hanya Allah yang tahu. Meski tak memiliki banyak keahlian, saya akan berjuang dengan sekuat tenaga menemaninya.
Sementara ini, yang bisa saya lakukan hanya mengajar ngaji Al-Quran di sebuah masjid. Tidak hanya itu, saya juga mengajar bahasa Inggris di sebuah pesantren di Lampung dan sebuah sekolah MTS swasta.
Agar mendapatkan tambahan biaya hidup, saya pun mengajar les pelajaran sekolah ke rumah-rumah. Semua honor yang didapat saya gunakan untuk keperluan ibuku dan kebutuhan sehari-hari.
Kini, umurku memasuki 23 tahun, sebuah masa senang-senangnya mengejar cita-cita. Tapi, saya harus mengabaikan dahulu cita-citaku. Setiap pagi, saya harus memandikan, menyuapin dan membawanya keluar sekedar jalan-jalan kecil mencari sinar matahari.
Hal yang tidak pernah saya lewatkan adalah selalu membimbingnya berzikir. Memotivasi hidup serta mengatakan bahwa sakit adalah bentuk kasih sayang Allah.
Tak hanya itu, usai mengajar, setelah zuhur, saya kembali menyuapinnya. Memijat-mijat kaki kanannya, salah satu karunia Allah yang kini masih tersisa. Saat itu pula saya bimbing dia mengucapkan kalimat-kalimat tauhid. Saya ingin, meski tubuhnya sakit, tapi jiwa dan imannya sehat. Sehingga semangat hidup akan selalu berkobar dalam hidupnya. Begitu juga di malam hari, saya suapi dia dan ajak dia mengucap kalimat tauhid. Demikian setiap hari saya lakukan.
Meski sibuk mencari nafkah dan mengurusi ibu, saya tetap giat belajar. Saat ini saya berada pada tahap akhir kuliah di perguruan tinggi negeri dan sedang menyelesaikan tugas akhir kuliah. Index prestasi komulatif (IPK)-ku juga cukup besar, 3.7. Selama kuliah, beberapa kali menjadi asisten dosen.
Saya menilai, ujian ini adalah anugerah dari Allah. Ada tujuan yang Allah selipkan di balik tiap ujian tersebut. Karena itu, saya bukan menyebutnya ujian, tetapi proses tarbiyah keimanan dan kesabaran dari Allah. Pada diriku, dan saya juga bilang ke ibu, Allah tidak akan memberi ‘pendidikan’ itu kecuali sesuai dengan kemampuan hamba-Nya.
“Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha,” demikian dalam sebuah ayat dalam Al Quran. Dan ayat ini yang senantiasa saya pegang. Di setiap shalat, tak pernah aku lupakan untuk berdoa; “Ya Allah, kuatkanlah kesabaran dalam menghadapi ini semua, terkhusus pada ibuku.”
Dalam tarbiyah ini, saya sangat yakin. Nanti, suatu saat, entah itu kapan, pasti ada kemudahan. Entah kemudahan itu ada di dunia ataukah di surga. Saya sangat yakin akan janji Allah dalam Al Quran. “Inna ma’al ‘Usri yusro.” (Sesungguhnya, dalam setiap kesusahan, pasti ada kemudahan).
Jika ada yang bertanya, “Siapakah orang yang paling berharga dalam hidupku? Jawabnya adalah ibuku. Karena itu, saya pun berazam untuk mengabdikan hidupku kepadanya. Saya berharap, dari kedua telapak kakinya yang masih tinggal satu ini, masih ada kavling surga bagiku.
[Kisah ini diceritakan Abdullah, kepada wartawan hidayatullah.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.