Senin, 28 Juni 2010

Character Building (part 1)

Beberapa waktu belakangan ini, ‘karakter’ di sebut-sebut sebagai pertimbangan dalam menseleksi eksekutif. “Dia punya karakter”, demikian kata orang, dan tentunya konotasi ungkapan itu terarah positif. Wajar bila kita juga kemudian berespons dalam hati: “Apakah saya punya karakter?” Atau, ”Saya ingin ber-’karakter’, tapi tidak tahu cara mengembangkannya”.

Kita sudah punya karakter sejak lahir, karena karakter adalah kumpulan kualitas dan reaksi dalam diri individu. Permasalahannya adalah apakah ada ciri khas yang membuat karakter kita menonjol dan lebih berarti ketimbang orang lain? Bila ada, maka orang lain bisa dengan mudah menggambarkan karakter kita.

Orang yang berkarakter tidak sama dengan’orang baik’. Salah seorang dosen saya, misalnya, selalu ramah dan baik hati. Namun, cara berjalannya seperti layang-layang putus, bila berjabat tangan terasa jabatan yang tidak menggenggam, tidak ”berarti”. Setelah mengenal lebih lanjut, ternyata ibu dosen ini, di dalam pekerjaannya tidak tegas, tidak membuat perubahan, konformis tanpa sikap kritis sehingga di bawah pimpinannya, bagiannya sama sekali tidak berkembang.
Orang yang dikatakan berkarakter biasanya dikenali sebagi orang yang dikagumi dan direspek, bisa membedakan hal baik dan buruk dengan tegas, serta menjadikan lingkungannya lebih baik. Di Amerika, diperkenalkan sejak dini 6 pilar karakter, yaitu: bisa dipercaya, respek, tanggungjawab, bersikap fair, peduli dan menjadi warganegara yang baik. Pengenalan 6 pilar ini diikuti dengan seperangkat do’s dan don’ts, sehingga mudah digunakan bagi mereka yang ingin jadi orang berkarakter.

Apakah cukup sampai di sini? Tentu tidak. Membangun karakter membutuhkan “excersize”, tempaan, cobaan, tantangan tiada henti, yang memberi kesempatan bagi individu untuk memperkeras kepribadiannya.
“I will be what I will to be“
“Choose your attitude”! Tantangan pertama kita adalah mendesain gambaran pribadi anda sendiri. Apakah ingin menjadi orang yang “low profile”, rendah hati, halus? Ataukah agresif, senang tantangan, dengan “exposure” tinggi. Kita perlu memiliki visi hidup yang jernih sehingga bisa mengarahkan pembentukan karakter.

Karakter Berasal dari “Habbit”
Bila ingin berkarakter menonjol, kita perlu mempermudah orang lain untuk mengenali kekhasan kita. Kesamaan reaksi, gaya bicara dalam menghadapi situasi apapun, dari waktu ke waktu, perlu konsisten. Penting juga untuk
menjaga konsistensi antara apa yang kita katakan dan yang kita lakukan. Jalan pikiran, perasaan dan reaksi, perlu relevan satu sama lain. Seperti halnya kita tidak bisa tertawa terbahak bahak pada saat sedih.
Secara otomatis, konsistensi akan membentuk habit, yaitu
kebiasaan bereaksi pada tiap momen dalam hidup kita. Kenalan dekat saya mempunyai kebiasaan marah dalam setiap situasi yang dihadapinya. Bila anak jatuh, isteri sakit, terjerumus ke lubang, atau berhadapan dengan orang yang sulit, reaksinya satu, yaitu marah. Tidak pelak lagi, ia kemudian dikenal berkarakter pemarah. Habit yang terbentuk inilah yang menghasilkan ”kekuatan pribadi” dan memancarkan aura yang lebih kuat dibanding dengan habit yang tidak terbentuk karena tidak konsistennya reaksi individu.

Kompetensi membentuk karakter
Sering terjadi reaksi individu “pakewuh”, ragu, tidak cermat, karena ia tidak bisa, atau tidak tahu harus berbuat apa dalam menghadapi situasi yang sulit.

Untuk itulah kita perlu berambisi untuk senantiasa memperkuat kompetensi kerja kita. Kompetensi perlu dikembangkan tidak sebatas pada ketrampilan dan pengetahuan saja, tapi juga sikap profesional dan prinsip. Galilah prinsip profesional dari orang-orang yang lebih berpengalaman, pertemuan profesi, buku, jurnal dan pelatihan. Seorang engineer pengeboran tidak akan begitu saja menyetujui instruksi atasan bila menghadapi situasi berbahaya, bila ia berpegang pada pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman profesionalnya. Walaupun ditekan oleh atasan, kompetensi, harga diri dan keputusan moralnya akan mendukung kepercayaan dirinya untuk mengambil sikap. Akhirnya pembentukan karakter dan kompetensi memang seperti lingkaran malaikat, semakin kompeten semakin mudah karakter ditonjolkan.

Tingkatkan kepekaan
Dalam pertemuan kelompok, bila individu ditanya:”Apa yang bisa anda kontribusikan ke tim untuk memperbaiki kinerja?” Ia akan menggagap bila ia tidak peka tentang keberadaanya dalam situasi tersebut. ”Positioning” diri sendiri dalam situasi sosial memerlukan kejelasan dan kepekaan setiap saat, sehingga reaksi yang dibentuk selalu bisa disadari dan dikontrol. Hanya dengan kontrol kuat terhadap reaksi kita, maka kita bisa membentuk reaksi yang relevan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.