Semalam seorang sahabat saya mampir ke rumah. Setelah hampir setengah jam berbincang, tiba-tiba ia menangis. Beberapa bulir air matanya tak sanggup lagi ia tahan, sementara selaut tangis-nya siap tumpah dari kubang matanya yang sudah banjir. Hanya satu yang membuat ia menangis, bahwa ia menyesal pernah melakukan kesalahan di masa lalu dan kini ia merasa takut aib dan keburukan masa lalunya itu kelak akan diketahui orang lain, termasuk calon istrinya kelak.
Saya mencoba tersenyum menanggapi tangisnya, dan tentu saja saya tak perlu ikut-ikutan menangis. Sahabat saya itu tak pernah tahu, dan semoga takkan pernah tahu bahwa orang yang dihadapannya, yang menjadi tempatnya bertanya, yang selalu siap menampung keluh kesah sahabatnya ini, dahulu juga pernah menangis. Dengan air mata yang sama, dengan rasa bersalah yang sama, dan penyesalan yang sama dalamnya.
Duhh, sungguh saya ingin juga menangis jika mengingat masa lalu. Dan kalau mau jujur, mungkin semua manusia di muka bumi ini juga akan menangisi dosanya yang masih berlangsung saat ini. Sungguh, betapa Allah masih berkenan tak menunjukan semua aib kita itu dihadapan orang lain. Mungkin, jika sahabat saya itu tahu bahwa di masa lalu saya tak lebih baik darinya, ia takkan pernah mengadukan keluhnya.
Pernahkah kita sadar betapa Allah begitu baik menutupi segala aib, keburukan, dosa, kesalahah kita di masa lalu, sehingga orang-orang yang tak semasa saat itu tak tahu dan bahkan tak perlu tahu apa yang pernah membuat kita begitu nista? Atau bahkan di saat ini, ketika teramat sering perilaku memalukan sering tersimpan rapi di balik wajah kehormatan, di balik pakaian kebaikan sehari-hari di hadapan orang lain? Begitu besarnya kebaikan Allah menyimpan semua aib kita, sehingga tak semua orang tahu sisi lain diri kita.
Sepatutnya kita bersyukur Allah tak membuka aib kita kepada para tetangga, mereka hanya tahu kita warga yang baik, rajin ke masjid, aktif di lingkungan. Mungkin tetangga tak pernah tahu sedikit banyak aib yang kita lakukan di luar sepengetahuan mereka. Allah juga berkenan tak membuka aib seorang suami di hadapan istrinya, ketika ia berada di kantor atau di luar rumah. Dia juga tak serta-merta membuka aib istri saat suami sedang di kantor. Allah yang Maha Mengetahui juga menjaga agar teman sekantor tak tahu apa yang dilakukan teman di meja sebelahnya, di balik lacinya. Dia mengunci rapat-rapat celah yang memungkinkan seorang bawahan mendengar dan tahu banyak kesalahan yang dilakukan atasannya. Dia yang tak pernah iseng membeberkan keburukan seorang guru di hadapan muridnya, menelanjangi seseorang dengan kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuat di depan orang yang mengaguminya. Sungguh, Allah begitu santun menyimpan semua aib dan keburukan setiap hamba, meski Dia juga akan teramat mudah membukanya lebar-lebar.
Kepada sahabat itu, saya katakan bahwa yang paling pantas mendengar, menampung, memberi nasihat, dan mencarikan jalan keluar bagi masalahnya hanyalah Allah. Kepada Allah-lah kita harus mencurahkan segala masalah, ketakutan, kekhawatiran, dan semua beban seberat apa pun. “Kita hanya bisa bertobat dan mohon ampun, dan berharap Allah tetap menutupi aib kita di masa lalu,” satu pesan yang juga berlaku buat yang memberi pesan.
Kemudian bersamanya, saya membaca sebuah ayat yang semakin membuat hati saya menangis,,,
“Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai...” (QS. At-Tahrim: 8)
Sebagai manusia, mungkin kita tak pernah luput dari berbuat kesalahan, sekecil apa pun itu. Kata kunci yang selalu saya pegang, “Mohon ampun sekarang juga atau siap-siap Allah membuat saya malu di hadapan orang lain karena aib saya yang terbuka.”
Subhanallah, walhamdulillah
(Oleh: Bayu Gawtama)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.