Selasa, 22 Juni 2010

Gara-Gara Begadang Nonton Piala Dunia

At Tauhid edisi VI/25

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sudah dimaklumi bersama bahkan sudah jadi berita di seantero dunia, selama sebulan penuh di benua hitam Afrika diadakan event akbar empat tahunan yaitu Piala Dunia. Dari kota, pedesaan bahkan sampai di pelosok negeri, kalangan muda bahkan sampai yang sudah “sepuh” sekali pun tidak ingin menghilangkan event yang jarang-jarang ini. Acara nonton bareng pun diadakan sambil minum kopi, juga bersorak-sorak mendukung tim kesayangan. Namun acara nonton piala dunia ini kadang melalaikan dari yang wajib-wajib, bahkan inilah yang sering terjadi. Tulisan ini nantinya akan membuktikan sebagian di antaranya. Kelalaian dari yang wajib ini terjadi karena piala dunia biasa ditayangkan di atas jam 9 malam, maka sudah barang tentu banyak penonton yang begadang. Dari sinilah banyak yang akhirnya lalai dari kewajiban shalat dan lainnya.

Kewajiban Shalat Dilalaikan

Tidak jarang kita melihat saudara kita yang begadang hingga tengah malam bahkan hingga jelang waktu shubuh karena menonton bergulirnya bola selama 2×45 menit. Setelah nonton, ia bukanlah memperhatikan kewajiban shalat. Namun karena rasa kantuk yang begitu berat, shalat shubuh yang merupakan kewajiban setiap harinya dilalaikan begitu saja karena badannya butuh istirahat selepas begadang. Shalat pun ditinggalkan tanpa rasa bersalah, tanpa ada rasa berdosa. Jika seseorang tahu bahaya meninggalkan shalat, maka tentu ia tidak akan meninggalkannya. Ia tidak akan meninggalkannya meskipun satu shalat saja.

Perlu kita ketahui bahwa meninggalkan satu shalat saja itu tergolong melakukan dosa besar. Bahkan dosa besarnya bukan seperti dosa besar lainnya karena yang ditinggalkan adalah rukun islam, yang merupakan penegak bangunan islam. Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam golongkan dosa orang yang meninggalkan shalat –secara total- sebagai dosa kekafiran.

Coba kita perhatikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, “(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257). Ini berarti orang yang meninggalkan shalat secara total telah melakukan dosa kesyirikan dan kekufuran. Sahabat yang mulia, ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tidak ada keislaman bagi orang yang meninggalkan shalat.”[1] Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa dosa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja termasuk kekafiran sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq, “Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan seseorang kafir kecuali shalat.”[2]

Adapun jika seseorang meninggalkan satu shalat atau shalatnya bolong-bolong (kadang shalat, kadang tidak), maka ia terjerumus dalam dosa besar yang lebih besar dari dosa besar lainnya sebagaimana dalam penjelasan yang telah lewat. Inilah yang jadi konsensus (ijma’) para ulama. Sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, “Para ulama tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[3]

Bagi orang-orang yang sering melalaikan shalat, kadang shalat dan kadang tidak, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pun telah memberikan nasehat berharga yang patut direnungkan yaitu, “Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat yang lima waktu. Mereka tidak meninggalkan shalat secara total, namun mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini berarti ada pada diri mereka keimanan dan kemunafikan sekaligus. Orang semacam itu tetap diperlakukan sebagai muslim secara lahiriyah seperti mereka masih tetap mendapat warisan. Hukum warisan bisa berlaku bagi orang munafik tulen, maka tentu saja lebih pantas berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.”[4]

Orang yang begadang (seperti karena nonton bola) sehingga lalai shalat shubuh sehingga bangun pagi kesiangan, bukanlah orang yang mendapat udzur. Berbeda halnya dengan orang yang sudah terbiasa shalat shubuh, lalu suatu saat ia ketiduran karena kecapekan atau alasan lainnya, maka inilah yang benar mendapat udzur. Ia tetap diperintahkan untuk shalat ketika ia ingat atau ketika ia bangun dari tidurnya. Meskipun ketika matahari sedang terbit atau matahari sudah meninggi, maka ia kerjakan shalat saat itu juga. Dalam sebuah hadits dari Abu Qotadah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seseorang ketiduran, itu bukanlah berarti ia lalai dari shalat. Yang disebut lalai adalah jika seseorang tidak mengerjakan shalat hingga datang waktu shalat berikutnya. Jika ketiduran, hendaklah seseorang shalat ketika ia terbangun. Jika tiba esok hari, hendaklah ia shalat tepat pada waktunya (jangan sampai telat lagi).” (HR. Muslim no. 681). Hadits ini jelas menunjukkan bahwa yang dimaksudkan seseorang boleh mengerjakan shalat ketika ia bangun tidur karena ketiduran, itu disebabkan suatu udzur. Berbeda halnya jika sudah jadi kebiasaan lembur atau begadang setiap harinya (disebabkan nonton bola atau lainnya), maka ini tentu saja bukan orang yang mendapati udzur. Wallahu a’lam.

Komisi Fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ pernah ditanya sebagai berikut.

Pertanyaan pertama: Ada seseorang mengerjakan shalat shubuh setelah matahari terbit dan ini sudah jadi kebiasaannya setiap paginya dan hal ini sudah berlangsung selama dua tahun. Dia mengaku bahwa tidur telah mengalahkannya karena dia sering lembur. Dia mengisi waktu malamnya dengan menikmati hiburan-hiburan. Apakah sah shalat yang dilakukan oleh orang semacam ini?

Pertanyaan kedua: Apakah boleh kita bermajelis dan tinggal satu atap dengan orang semacam ini? Kami sudah menasehatinya namun dia tidak menghiraukan.

Jawab: Diharamkan bagi seseorang mengakhirkan shalat sampai ke luar waktunya. Wajib bagi setiap muslim yang telah dibebani syari’at untuk menjaga shalat di waktunya –termasuk shalat shubuh dan shalat yang lainnya-. Dia bisa menjadikan alat-alat pengingat (seperti alarm) untuk membangunkannya (di waktu shubuh).

Kita diharamkan lembur di malam hari untuk menikmati hiburan dan semacam itu. Lembur (begadang) di malam hari telah Allah haramkan bagi kita jika hal ini melalaikan dari mengerjakan shalat shubuh di waktunya atau melalaikan dari shalat shubuh secara jama’ah. Hal ini terlarang karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang begadang setelah waktu Isya’ jika tidak ada manfaat syar’i sama sekali.

(Perlu diketahui pula bahwa) setiap amalan yang dapat menyebabkan kita mengakhirkan shalat dari waktunya, maka amalan tersebut haram untuk dilakukan kecuali jika amalan tersebut dikecualikan oleh syari’at yang mulia ini.

Jika memang keadaan orang yang engkau sebutkan tadi adalah seperti itu, maka nasehatilah dia. Jika dia tidak menghiraukan, tinggalkan dan jauhilah dia.[5]

selengkapnya di http://buletin.muslim.or.id/nasehat/gara-gara-begadang-nonton-piala-dunia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.