Selasa, 08 Juni 2010

Kerancuan Kelamin Butuh Deteksi Dini

OLEH HARRY SUSILO

Mencuatnya kasus Alterina Hofan hanya fenomena gunung es dari banyaknya penderita kerancuan kelamin di Indonesia. Namun, kasus itu menunjukkan ironi bahwa penderita kerancuan kelamin masih menjadi korban atas ketidaktahuan masyarakat.

Sebagai gambaran, Alterina Hofan dituntut jaksa tujuh tahun penjara karena dituduh memalsukan identitas—sebelumnya perempuan menjadi laki-laki pada Desember 2006.

Padahal, Alter kemudian diketahui sebagai penderita sindrom klinefelter. Penderita dengan kromosom XXY ini memiliki ciri-ciri fisik layaknya perempuan, seperti payudara yang tumbuh dan tidak munculnya rambut di beberapa bagian tubuh, tetapi berjenis kelamin laki-laki secara genetik.

Ketua tim penyesuaian kelamin Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Kariadi Semarang, Sultana, mengatakan, sindrom klinefelter hanya satu dari sekian banyak kasus kerancuan kelamin. Kerancuan kelamin ini bisa disebabkan penyimpangan kromosom atau mutasi gen. Juga diduga ada pengaruh eksternal, seperti penggunaan obat hormonal pada ibu hamil.

Umumnya, penyakit ini bukan disebabkan faktor turunan. Namun, untuk kasus Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH), penyakit yang dialami penderita didapat dari orangtua yang memiliki gen pembawa (carrier). Penderita CAH adalah perempuan yang mengalami pembesaran klitoris menyerupai penis sehingga sering kali dikenali sebagai laki-laki.

Secara garis besar, penderita kerancuan kelamin dapat saja laki-laki dengan fisik perempuan ataupun sebaliknya, seperti pada kasus CAH. Gejalanya bervariasi tergantung dari stadium.

Biasanya, laki-laki yang menderita kerancuan kelamin memiliki penis dan testis kecil, disertai tumbuhnya payudara. Bahkan, ada juga yang sampai mengalami hipospadia atau bocornya saluran kencing di antara scrotum sehingga air seni tidak keluar melalui ujung penis.

Jika kasus ini menimpa perempuan, penderita akan terlihat seperti laki-laki karena payudara tidak tumbuh, klitoris membesar menyerupai penis, perkembangan tubuh seperti laki-laki, dan kadang berjakun.

Ahli andrologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro sekaligus anggota tim penyesuaian kelamin, Zulfa Juniarto, mengungkapkan, peluang adanya penderita kerancuan kelamin 1 : 4.500 kelahiran bayi.

Deteksi dini

Kerancuan kelamin atau interseks berbeda dengan transeksual. Dalam kasus kerancuan kelamin, perkembangan fisik tidak sesuai dengan gen atau kromosomnya. Sedangkan dalam kasus transeksual, perkembangan fisik tak sesuai dengan psikis dari pasien yang bersangkutan.

”Secara genetik dan fisik, pasien transeksual tidak memiliki masalah. Hanya saja, kejiwaannya tidak sesuai dengan perkembangan fisiknya,” kata Zulfa.

Untuk menangani kasus kerancuan kelamin, perlu deteksi dini berupa pemeriksaan kromosom dan deoxyribonucleid acid (DNA) pada bayi yang baru lahir, mengecek ada-tidaknya kelainan.

Deteksi itu guna menghindarkan dampak psikologis dan hukum yang dapat diterima penderita kerancuan kelamin pada kemudian hari. ”Kesadaran itu belum ada pada diri dokter ataupun penolong persalinan yang tidak tahu,” ujar Sultana.

Dalam kondisi tertentu, pemeriksaan pada masa kehamilan atau prenatal diagnosis juga diperlukan untuk memastikan ada tidaknya kecacatan pada janin. Pemeriksaan ini dilakukan jika terdapat faktor risiko tertentu pada ibu, seperti hamil di atas usia 35 tahun, pernah memiliki anak yang menderita kerancuan kelamin, dan pernah mengalami keguguran berulang.

Kesalahan dalam identifikasi kelamin pada bayi yang baru lahir dapat berakibat fatal ketika si anak sudah telanjur dewasa. Sebagai contoh, seorang yang secara genetik berjenis kelamin laki-laki, tetapi menjalani hidup dari kecil sebagai perempuan, akan terbiasa menggunakan cara pandang dan orientasi seksual seorang perempuan. ”Untuk itu, ketika diputuskan untuk kembali menjadi laki-laki, yang diubah tidak hanya fisiknya, tetapi juga sisi psikologisnya,” kata Anastasia Ediati, ahli psikologi dalam tim tersebut.

Aspek psikologis

Sejak 2004, tim penyesuaian kelamin RSUP dr Kariadi telah menangani lebih dari 500 kasus. Sebelas penderita di antaranya akhirnya menjalani operasi pergantian kelamin.

Dalam tim itu ada berbagai ahli, seperti genetika, andrologi, urologi (rekonstruksi kelamin), psikologi, psikiatri, anestesi, endrokinologi (ahli hormon), radiologi, patologi klinik, dan pemuka agama.

Sebelum memutuskan ganti kelamin, tim dokter harus sudah mengetahui jenis kelamin yang sesuai dengan kromosom atau gen serta aspek psikologis penderita. Penderita akan menempuh proses panjang melalui beragam konsultasi. ”Meski sudah diketahui kromosomnya, jika ada penolakan dari penderita karena belum siap berganti kelamin, kami tidak bisa memaksa,” ujar Anastasia.

Menurut dia, kondisi psikologis penderita sangat dipengaruhi lingkungan sekitar. Adanya penilaian negatif dari masyarakat terhadap kondisi fisik penderita semakin membuat yang bersangkutan menutup diri dan sulit menerima keadaan dirinya. ”Padahal, mereka sangat butuh dukungan karena dianggap berbeda dengan fisik orang pada umumnya,” ucap Anastasia.

Karena itu, faktor penting lainnya adalah perlunya edukasi dan sosialisasi mengenai kerancuan kelamin agar masyarakat dapat menerima penderita.

Selama ini, kendala terbesar dalam penanganan penyakit ini adalah rendahnya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri. ”Biasanya kalau hanya penis dan testis kecil, laki-laki tidak akan datang berobat karena merasa normal. Padahal, kalau tidak diperiksakan mana bisa ketahuan,” kata Sultana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.