Kamis, 14 Oktober 2010

Antara Beda Pendapat vs Beda Pendapatan

Hidayatullah.com--Seorang artis, masih bisa tersenyum di hadapan kamera yang ditonton oleh jutaan orang ketika dirinya mengumumkan keputusan cerai. “Mungkin, ini adalah jalan yang terbaik,“ ujarnya. Seolah-olah tidak ada jalan lain, kecuali menyudahi hubungan rumah tangganya dengan peceraian. Mudahnya artis kawin-cerai, sampai-sampai ada sebuah artikel di media massa dengan judul menarik. “Artis Cerai? Bosen Ah!”

Si penulis mengatakan, akibat ulah para artis yang menggampangkan perceraian, menjadikan citra lembaga pernikahan tak terlalu sakral lagi.

Banyak orang memutuskan hubungan pernikahan hanya karena masalah-masalah sepele. Bahkan sesuatu yang tak ada hubungannya dengan masalah syariat agama. Misalnya hanya karena masalah komunikasi, masalah kurangnya waktu bertemu, sampai-sampai perbedaan gaji yang timpang antara istri dan suami, dan yang tidak kalah mengejutkan, dari penelitian Departemen Agama tahun 2008, sebagian keluarga memutuskan hubungan ikatan hanya karena perbedaan partai politik.

Kenyataannya, tak semua wanita siap menyendiri tanpa pasangan ketika usianya telah di atas 30 tahun. Sebaliknya, tak semua wanita lebih siap, setelah didapati gajinya jauh lebih besar di atas gaji sang suami. Jika tanpa naungan agama yang baik, ‘perbedaan pendapatan’ (maisyah) seperti ini bisa melahirkan ‘perbedaan pendapat’ (khilaf) yang berakhir pada konflik rumah tangga. Gara-gara perbedaan gaji, rumah tangga bisa menjadi kemelut.

Tak hanya masalah gaji atau partai, perbedaan pendapat bisa juga bermula dari banyak hal. Ada hubungan keluarga pecah hanya gara-gara perbedaan organisasi dan harakah. Hubungan kekeluargaanya harus pecah sampai turun-temurun, padaha jika dirunut, urusannya tidaklah teralu serius. Mungkin karena gengsi dan sikap ego, bisa menutup ikatan ‘darah’ nya.

***

Kecuali menyangkut masalah prinsip akidah dan hal-hal yang sudah qoth’i, Islam dikenal sangat menghargai perbedaan. Nabi Muhammad mencontohkan dengan dengan sangat indah kepada kita semua. Betapa indahnya pernikahannya dengah Siti Khadijah. Ia menikah dengan seorang wanita berumur, 40 tahun. Sudah tua, janda pula. Sementara ia (Muhammad) kala itu masih pria muda, 25 tahun. Tak hanya itu, Khadijah adalah seorang pengusaha kaya raya. Meski demikian, tak pernah dalam perjalanan pernikahannya Khadijah menghitung-hitung perbedaan gaji. Siti Khadijah adalah orang pertama yang masuk Islam dari kaum perempuan. Ia seorang istri sekaligus pendorong dan tulang punggung Nabi dalam berdakwah. Karena itulah ketika meninggal, Nabi Muhammad kehilangan setengah kekuatan.

Kehidupan Muhammad dan Siti Khadijah menunjukkan kepada ummatnya bahwa perbedaan gaji dan usia tak menjadi alasan hubungan rumah tangga, apalagi menjadikan perbedaan pendapat.

Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum masalah perbedaan pandangan. Kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah, adalah sebuah kitab yang menyangkut berbagai pandangan dan mazhab dalam bidang hukum Islam. Bahkan tak hanya berlaku masalah hukum saja. Juga menyangkut tafsir, ulumul qur'an, syarh hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa'id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.

Dalam khasanah Islam, para ulama salaf dikenal dengan sikap kedewasaan, toleransi, dan objektivitasnya yang tinggi dalam menyikapi perbedaan. Ucapan Imam Imam Syafi’i yang sangat masyhur sebagi bentuk penghormatan perbedaan pada pihak lain adalah, “Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar."

Adab Berbeda Pendapat dalam Islam

Khilaf (perbedaan pendapat) di mana pun selalu ada. Di mana pun dan sampai kapan pun. Jika tidak disikapi dengan tepat dan bijaksana, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan perpecahan, permusuhan, dan bahkan kehancuran. Karena itu, Islam memberi arahan bagaimana cara menghadapi perbedaan pendapat di antara kita semua. Di bawah ini adalah adab-adab yang harusnya dilakukan kaum Muslim;

1. Ikhlas dan Lepaskan Diri dari Nafsu

Kewajiban setiap orang yang berkecimpung dalam ilmu dan dakwah adalah melepaskan diri dari nafsu tatkala mengupas masalah-masalah agama dan syariah. Mereka hendaknya tidak terdorong kecintaan mencari ketenaran serta menonjolkan dan memenangkan diri sendiri. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, orang yang mencari ilmu karena hendak mendebat para ulama, melecehkan orang-orang yang bodoh, atau untuk mengalihkan perhatian manusia pada dirinya, maka dia tidak akan mencium bau surga (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah).

2. Kembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah

Ketika terjadi perbedaan pendapat, hendaklah dikembalikan pada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Keduanya dijadikan sebagai ukuran hukum dari setiap pendapat dan pemikiran. “…Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Hadits).” (An-Nisaa’: 59).

3. Tidak Menjelekkan

Masing-masing tetap mempunyai hak yang tidak bisa dihilangkan dan dilanggar, hanya karena tidak sependapat dalam suatu masalah. Di antara haknya adalah nama baik (kehormatan) yang tidak boleh dinodai, meski perdebatan atau perbedaan pendapat semakin meruncing. Wilayah pribadi seperti itu tidak boleh dimasukkan dalam materi perbedaan.

4. Cara yang Baik

”…Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125).

Berdialog harus dengan cara yang baik (menarik) sehingga bisa mendapatkan simpati dan lawan bicara mau mendengarkan kebenaran yang dibawa. Cara seperti ini terhindar dari sikap yang keras dan kaku, jauh dari perkataan yang menyakitkan dan mengundang antipati.

Penyeru kebenaran adalah orang yang mementingkan dakwah, bukan kepentingan pribadi. Jika bersikap keras dan kaku, berarti telah mementingkan nafsu pribadi sehingga berakibat orang menjauh dari dakwahnya.

5. Mendalami Nash Syariah dan Pendapat Ulama

Agar dapat keluar dari khilaf dengan membawa hukum yang benar, maka semua nash syariah yang berkaitan dengan masalah itu harus dihimpun. Dengan demikian, persoalan yang umum bisa dijelaskan dengan yang khusus, yang global bisa diperjelas dengan yang terinci, serta yang kiasan bisa dijelaskan dengan yang gamblang.

6. Bedakan antara Masalah yang Sudah Di-Ijma’ dan yang Diperselisihkan

Masalah-masalah yang sudah di-ijma' (disepakati) sudah tidak perlu lagi diperdebatkan dan dipertanyakan. Komitmen kepadanya merupakan keharusan agama, seperti halnya terhadap Al-Qur'an dan Hadits.

7. Pertimbangkan Tujuan dan Dampaknya

Orang yang mencari kebenaran kemudian salah, berbeda dengan orang yang memang sengaja mencari kebatilan lalu dia mendapatkannya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memberikan satu pahala bagi hakim yang memutuskan perkara hukum, namun salah, karena niat dan keinginannya untuk mendapatkan kebenaran. Dan Allah tidak membebankan kewajiban kepada manusia kecuali berdasarkan kemampuannya. (Al-Baqarah: 286). Wallahu Ta'ala a'lam.* [Sahid, dilengkapi cha/ www.hidayatullah.com]



images:Images.com/Corbis
***

Kecuali menyangkut masalah prinsip akidah dan hal-hal yang sudah qoth’i, Islam dikenal sangat menghargai perbedaan. Nabi Muhammad mencontohkan dengan dengan sangat indah kepada kita semua. Betapa indahnya pernikahannya dengah Siti Khadijah. Ia menikah dengan seorang wanita berumur, 40 tahun. Sudah tua, janda pula. Sementara ia (Muhammad) kala itu masih pria muda, 25 tahun. Tak hanya itu, Khadijah adalah seorang pengusaha kaya raya. Meski demikian, tak pernah dalam perjalanan pernikahannya Khadijah menghitung-hitung perbedaan gaji. Siti Khadijah adalah orang pertama yang masuk Islam dari kaum perempuan. Ia seorang istri sekaligus pendorong dan tulang punggung Nabi dalam berdakwah. Karena itulah ketika meninggal, Nabi Muhammad kehilangan setengah kekuatan.

Kehidupan Muhammad dan Siti Khadijah menunjukkan kepada ummatnya bahwa perbedaan gaji dan usia tak menjadi alasan hubungan rumah tangga, apalagi menjadikan perbedaan pendapat.

Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum masalah perbedaan pandangan. Kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah, adalah sebuah kitab yang menyangkut berbagai pandangan dan mazhab dalam bidang hukum Islam. Bahkan tak hanya berlaku masalah hukum saja. Juga menyangkut tafsir, ulumul qur'an, syarh hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa'id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.

Dalam khasanah Islam, para ulama salaf dikenal dengan sikap kedewasaan, toleransi, dan objektivitasnya yang tinggi dalam menyikapi perbedaan. Ucapan Imam Imam Syafi’i yang sangat masyhur sebagi bentuk penghormatan perbedaan pada pihak lain adalah, “Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar."

Adab Berbeda Pendapat dalam Islam

Khilaf (perbedaan pendapat) di mana pun selalu ada. Di mana pun dan sampai kapan pun. Jika tidak disikapi dengan tepat dan bijaksana, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan perpecahan, permusuhan, dan bahkan kehancuran. Karena itu, Islam memberi arahan bagaimana cara menghadapi perbedaan pendapat di antara kita semua. Di bawah ini adalah adab-adab yang harusnya dilakukan kaum Muslim;

1. Ikhlas dan Lepaskan Diri dari Nafsu

Kewajiban setiap orang yang berkecimpung dalam ilmu dan dakwah adalah melepaskan diri dari nafsu tatkala mengupas masalah-masalah agama dan syariah. Mereka hendaknya tidak terdorong kecintaan mencari ketenaran serta menonjolkan dan memenangkan diri sendiri. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, orang yang mencari ilmu karena hendak mendebat para ulama, melecehkan orang-orang yang bodoh, atau untuk mengalihkan perhatian manusia pada dirinya, maka dia tidak akan mencium bau surga (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah).

2. Kembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah

Ketika terjadi perbedaan pendapat, hendaklah dikembalikan pada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Keduanya dijadikan sebagai ukuran hukum dari setiap pendapat dan pemikiran. “…Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Hadits).” (An-Nisaa’: 59).

3. Tidak Menjelekkan

Masing-masing tetap mempunyai hak yang tidak bisa dihilangkan dan dilanggar, hanya karena tidak sependapat dalam suatu masalah. Di antara haknya adalah nama baik (kehormatan) yang tidak boleh dinodai, meski perdebatan atau perbedaan pendapat semakin meruncing. Wilayah pribadi seperti itu tidak boleh dimasukkan dalam materi perbedaan.

4. Cara yang Baik

”…Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125).

Berdialog harus dengan cara yang baik (menarik) sehingga bisa mendapatkan simpati dan lawan bicara mau mendengarkan kebenaran yang dibawa. Cara seperti ini terhindar dari sikap yang keras dan kaku, jauh dari perkataan yang menyakitkan dan mengundang antipati.

Penyeru kebenaran adalah orang yang mementingkan dakwah, bukan kepentingan pribadi. Jika bersikap keras dan kaku, berarti telah mementingkan nafsu pribadi sehingga berakibat orang menjauh dari dakwahnya.

5. Mendalami Nash Syariah dan Pendapat Ulama

Agar dapat keluar dari khilaf dengan membawa hukum yang benar, maka semua nash syariah yang berkaitan dengan masalah itu harus dihimpun. Dengan demikian, persoalan yang umum bisa dijelaskan dengan yang khusus, yang global bisa diperjelas dengan yang terinci, serta yang kiasan bisa dijelaskan dengan yang gamblang.

6. Bedakan antara Masalah yang Sudah Di-Ijma’ dan yang Diperselisihkan

Masalah-masalah yang sudah di-ijma' (disepakati) sudah tidak perlu lagi diperdebatkan dan dipertanyakan. Komitmen kepadanya merupakan keharusan agama, seperti halnya terhadap Al-Qur'an dan Hadits.

7. Pertimbangkan Tujuan dan Dampaknya

Orang yang mencari kebenaran kemudian salah, berbeda dengan orang yang memang sengaja mencari kebatilan lalu dia mendapatkannya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memberikan satu pahala bagi hakim yang memutuskan perkara hukum, namun salah, karena niat dan keinginannya untuk mendapatkan kebenaran. Dan Allah tidak membebankan kewajiban kepada manusia kecuali berdasarkan kemampuannya. (Al-Baqarah: 286). Wallahu Ta'ala a'lam.* [Sahid, dilengkapi cha/ www.hidayatullah.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.