Kerusuhan yang banyak terjadi di mana-mana -sejak masa kampanye pemilu, hingga akhir-akhir inimembuktikan benarnya asumsi ini. Orang-orang yang merasa tidak turut mengecap hasil, sementara dia merasa ada haknya dalam hasil itu, biasanya akan menimbulkan kecemburuan sosial.
Ada pula ketidakadilan dalam menilai dan memperlakukan pihak lain, seperti dalam pemilu misalnya. Ketidakadilan yang sangat mengancam, ialah perlakuan diskriminatif dalam menegakkan hukum. Pada prinsipnya, hukum/peraturan harus berlaku untuk semua orang tanpa kecuali. Setiap yang bersalah harus dikenakan hukuman. Tak seorangpun yang kebal terhadaphukuman. Maka di dalam Islam dikenal asas "equality among the law" (persamaan kedudukan di mata hukum) yang belakangan diadopsi oleh hukum barat sebagai salah satu asasnya. Prinsip ini di dalam Islam sangat dipegang teguh.
Hingga Nabi Saw. sendiripun pernah mengeluarkan statemennya: "Law anna Fathimat binta Muhammad saraqat,
laqatha`tu yadaha" (andaikan Fatimah, sang puteri Nabi mencuri, pasti kupotong tangannya)(H.R. al-Bukhari).
Umar ibn al-Khattab menghukum putera gubernurnya di Mesir karena memukul seorang pemuda kristen Koptik dengan cambuk. Pemuda koptik itu disuruh Umar membalas pukulannya atas putera Gubernur.
Tidak seorangpun yang kebal hukuman baik karena jabatan ataupun karena status sosial. Yang salah harus dipersalahkan demi keadilan.
Isyarat kehancuran akibat tidak menegakkan keadilan itu datang dari hadits Nabi sendiri, yaitu: "Sesungguhnya penyebab kehancuran bangsa-bangsa sebelum kamu dahulu, adalah (perlakuan yang diskriminatif) jika yang mencuri itu berasal dari rakyat jelata, mereka tegakkan hukum. Tetapi, jika pencurinya orang-orang elit, mereka bebaskan begitu saja
hellip;." Dalam dunia peradilan, praktik "kolusi" atau "suap menyuap" bukan hal baru lagi.
Kongkalikong antara hakim, jaksa dan pengacara sudah menjadi rahasia umum. Bahkan ada yang namanya "mafia
peradilan" atau "putusan yang ditenderkan". Orang yang jelas-jelas bersalah bisa lepas dari hukum, sementara orang yang tidak berdosa, entah bagaimana skenarionya, bisa dijerat oleh hukuman dan masuk penjara.
Kasus-kasus yang santer di media massa hanyalah sebagian kecil dari praktek kezaliman di masyarakat. Kasus terbunuhnya Udin
di Yogyakarta penuh dengan misteri dan pembunuhnya konon belum didapatkan. Sementara yang dikorbankan adalah orang yang tak tahu menahu duduk persoalannya. Terbunuhnya empat mahasiswa Trisakti juga mengundang tandatanya besar. Siapa penembak yang sesungguhnya, apakah polisi atau ada pasukan lain? Lebih penting dari itu, kenapa di pengadilan yang dipersoalkan adalah kesalahan prosedur, padahal seharusnya siapa pelaku dan perancang pembunuhan? Demikian juga banyaknya tahanan yang mati di dalam penjara tanpa diketahui duduk perkaranya. Pencuri seribu rupiah bisa mati digebuk massa, tetapi pencuri milyaran, bahkan trilyunan
rupiah hidup bebas dan bahkan terhormat.
Pembantai ribuan nyawa manusia di Tanjung Priok, Lampung dan Aceh sampai hari ini belum diajukan ke meja hijau. Kasusnya ditutup begitu saja, karena alasan politik. Dengan
gampangnya, Try Sutrisno menjawab kepada wartawan: "Kasus Tanjung Priok sudah ditutup". Siapakah yang menutupnya? Kenapa ditutup dan apa alasannya? Kalau ada, kuatkah alasan itu? Padahal sebetulnya tak satu kejahatanpun dapat dinyatakan "selesai" sebelum perkaranya diputuskan di pengadilan. Di era reformasi ini
dalam pelepasan napol (narapidana politik) dan tapol (tahanan politik) saja sudah terlihat benih diskriminasi. Yang banyak dilepaskan adalah tahanan yang mendapat dukungan Amerika. Alasan pemerintah sementara ini, ialah bahwa tapol dan napol berkelas-kelas. Yang dibebaskan hanya napol yang terlibat penghinaan terhadap pemerintah Orde Baru. Sementara Tapol dan Napol Islam tetap mendekam di dalam sel. Kenapa? Karena mereka tidak masuk
daftar "pesanan", dan orang Islam tidak punya pembela, kecuali Allah swt. Kasus ini juga membuktikan bahwa persoalan Islam masih dianggap "berat" oleh penguasa.
Tahanan yang dipenjarakan karena memperjuangkan Islam masih menempati urutan paling berbahaya dalam pandangan mereka. Untuk itu pelepasannya tidak bisa dengan segera. Sementara oposisi yang didukung Amerika, pemerintah enggan menghalanginya.
Nah sekarang, sesudah dilepaskan, Pakpahan justru jadi "PR" pemerintah. Di sana sini membuat move dan psy-war. Itu rasanya
tidak akan terjadi pada tapol dan napol Islam yang istiqomah dengan Islamnya. Jadi selama ketidakadilan masih mendominasi dan keadilan tidak kunjung tegak, maka sangat dikhawatirkan ancaman Allah tadi akan jadi kenyataan.
Kufur ni`mat. Selain ketidakadilan, kufur terhadap ni`mat Allah juga berpotensi mendatangkan kemurkaan Allah alias bencana. Karunia Allah tidak semata-mata bukti atas keridhaan Allah pada manusia. Tetapi bisa menjadi ujian bagi kecerdasan manusia. Bila mereka kurang pandai bersyukur, maka nikmat tadi bisa saja dicabut Allah secara mendadak (uncountable) dan akhirnya mereka jatuh dalam kemelaratan yang berkepanjangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.