Hidayatullah.com -- Jika mau digambarkan, Indonesia saat ini mirip dengan apa yang dijelaskan Allah Subhana wata’ala ada dalam surah Al 'Araf. Dalam surah Al A'raf intinya adalah perintah kepada manusia untuk menentukan sifat. Menetapkan pilihan. Setiap surah dalam Al-Qur'an ada tujuannya. Tujuan dari surah ini adalah perintah agar manusia menentukan pilihan hidupnya.
Surah Al ‘Araf turun saat Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wasallam telah memulai dakwahnya secara terbuka (jahr). Ketika dakwah berlangsung dilakukan secara terbuka, maka timbullah konfrontasi seperti yang kita kenal seperti sekarang. Yakni konfrontasi antara al-Haq dan al-Bathil.
Konfrontasi ini, tentu saja, risikonya sangatlah berat. Namun demikian, konfrontasi semacam ini akan terus berlangsung. Itulah mengapa dalam surah Al ‘Araf banyak menceritakan tentang kisah para nabi. Sebab pada intinya, perjuangan para nabi adalah suatu perjuangan membela kebenaran dan melenyapkan kebathilan.
Kita tahu, perjuangan para Nabi pembawa risalah kebenaran memakan waktu panjang dan sangat berat. Tapi pada akhirnya selalu Al Haq jualah yang menang. Kita ingat ketika kaum terdahulu dihancurkan. Misalnya, hukuman Allah untuk kaumnya Nabi Luth, Nabi Nuh, Fir'aun, dan sebagainya. Atau di kisah yang lain, dalam waktu 23 tahun semenanjung Arab bisa berada di bawah panji Islam. Semua memerlukan waktu yang panjang untuk memenangkan kebenaran.
Kemudian di dalam al-Qur'an juga menceritakan tentang orang-ortang yang menentukan sikap dan orang-orang yang tidak menentukan sikap. Menentukan sikap adalah menentukan pilihan. Sedangkan pilihan dalam hidup hanya ada dua, yaitu kebenaran al Islam dan kebathilan.
Allah telah mengetengahkan banyak contoh tentang orang yang menentukan sikap, misalnya, para tukang sihirnya Fir'aun. Ketika Fir'aun menentang Nabi Musa Alaihi salam dengan membawa tukang sihir. Para Tukang Sihir berkata, kalau kami menang, apa ganjaran yang kami dapatkan. Maka dijawab Fir'aun, saya akan memberi upah yang besar dan akan dekat dengan kami, waminal muqorrbin.
Apa yang terjadi?. Begitu tukang sihir menyaksikan mukjizat yang ada pada Nabi Musa, mereka langsung menyatakan sikap; amannaa bi rabbii musa, saya beriman kepada tuhannya Musa.
Kemudian ketika diancam oleh Fir'aun akan dipotong tangannya, kakinya, dan disalib, tukang-tukang sihir dengan mantap menentukan sikap mereka dengan gagah. “Faqdii maa anta qoodii . Lakukan apa yang kamu mau lakukan,” kata tukang-tukang sihir itu tanpa ragu.
Jelas, bahwa ketika kita sudah mengambil sikap yang tegas dalam pertarungan antara al-Haq dan bathil ini, maka kita diuji oleh Allah. Jika kita bisa bertahan dalam sikap kita, maka syurga yang akan kita dapatkan.
Akibat Tidak Menetapkan Pilihan
Surah Al ‘Araf artinya adalah gunung yang tertinggi di batas surga dan neraka. Dikisahkan dalam al-Qur’an, diantara penghuni gunung yang tinggi itu ada kelompok manusia yang mereka dulunya tidak menentukan sikap. Mereka hanya diam. Akibatnya mereka tidak ke syurga, ke neraka juga tidak. Tapi mereka tetap mendapatkan azab Allah SWT.
Di negara kita, Alhamdulillah sudah semakin semarak orang yang berusaha untuk membangkitkan agama Islam, berusaha melaksanakan perintah Islam. Namun pada waktu yang sama, banyak juga orang-orang yang benci kepada Islam, berusaha memerangi Islam, mereka terus berusaha juga menghancurkan Islam dengan dahsyat.
Jadi sebagai seorang muslim sudah selayaknya kita harus menentukan sikap. Apakah kita memilih Al Haq (kebenaran, Al Mustakim) atau Al bathil (kesesatan, Ad-Dhalliin).
Sebab kalau jadi penonton dan tidak menentukan sikap, maka itulah oleh Allah dimaksud dalam surah Al ‘Araf. Yakni kelompok orang yang diam saja. Diam tapi mendapatkan murka Allah.
Di akhir surah ini dikisahkan tentang Ashabul Sabt. Ketika Allah menuangkan perintah melarang mereka untuk memancing pada Hari Sabtu, maka ummat ini terbagi dalam 3 golongan.
Golongan pertama adalah golongan yang melanggar. Golongan kedua, golongan yang diam saja. Golongan ketiga, mereka yang berusaha mencegah dan berusaha menasehati mereka yang melanggar perintah Allah tersebut dengan dakwah.
Ketika golongan yang ketiga berusaha untuk menyampaikan dakwahnya, tapi dicegah oleh golongan yang kedua. “Buat apa kamu memperingatkan mereka. Kalau orang sudah melanggar, nanti pasti akan disiksa oleh Allah SWT, begitulah kata golongan kedua berusaha menghalangi dakwah mulia tersebut.
Golongan ketiga tetap dalam keyakinan dakwahnya. Kata golongan ketiga, ‘agar kami nanti ada jawaban di hadapan Allah kelak bahwa kami sudah memberikan peringatan. Kalau dibiarkan terus, bagaimana bisa golongan pertama ini akan tahu jika apa yang mereka lakukan adalah salah.
Karena yang membangkang terus membangkang, semakin membandel, akhirnya azab itu turun. Kalau bala Allah sudah turun, maka akan terkena semua. Barangkali mungkin sepertilah yang pernah terjadi di Aceh, karena waktu itu maksiat sedang marak di sana.
Allah mengakhiri kisah ini (Ashabul Sabt) dengan perintah memisahkan keberadaan kaum pembangkang dengan orang yang baik-baik, maka dibangunlah tembok pemisah. Ada daerah untuk kaum yang selalu komitmen dengan dakwah dan memberi peringatan, ada daerah yang dekat pantai yakni daerah untuk yang suka membangkang, dan daerah untuk mereka yang diam bahkan mencegah jalanya dakwah.
Berhari-hari dalam masa pemisahan itu, suara manusia diantara tembok masih terdengar bingar. Suara mereka terdengar yang ada di pasar-pasar, di keramaian, dan lain-lain. Setelah berhari-hari hingga bulan, tiba-tiba sepi tidak ada suara.
Hingga kemudian salah satu orang dari golongan ketiga yang selalu berusaha memberi peringatan naik ke atas bukit dan melihat ke bawah. Memastikan apa sesungguhnya yang sedang terjadi.
Apa yang dia saksikan? Dia hanya melihat sekumpulan monyet!. Siapa yang jadi monyet itu? Mereka itulah yang suka membangkang dan mereka yang hanya diam tidak memberi peringatan.
Tak Diam Menyaksikan Kemunkaran
Bukan saja orang yang mancing yang membangkang yang menjadi monyet, tapi juga orang yang diam. Inilah bukti kebenaran al Qur’an tentang kaum shabt. Mereka yang hanya diam, tidak mau memberi peringatan, atau bahkan melarang untuk melakukan amar ma’rif nahyi munkar. Akhirnya mereka juga mendapat hukuman dari Allah.
Inilah yang sering digembar-gemborkan kelompok kebebasan menafsirkan agama. Kalau ada yang melakukan amar ma'ruf nahi munkar, dianggap berusaha menggangu ketertiban dan kenyamanan orang lain. Mereka dianggap tidak toleran dan sebagainya. Akibatnya, orang pun akan menganggap yang munkar sebagai sesuatu yang ma'ruf. Yang ma'ruf dianggap munkar.
Maka, kaum muslimin semua, kita semua punya kewajiban untuk menegakkan amal ma’ruf nahii munkar. Jangan berhenti menasehati dan memberi peringatan. Kita dukung saudara kita yang berusaha menegakkan kebenaran dan mencegah kemaksiatan pada Alllah SWT.
Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang diam apalagi menghambat dakwah Islam, jika kita tidak mau menjadi monyet. Wallahu ‘Alam Bishawab. [ain/hidayatullah.com/]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.