At Tauhid edisi VI/41
Mengenal Cinta (Mahabbah)
Cinta dan keinginan merupakan asal/sebab setiap perbuatan/amal dan gerakan di alam semesta ini, kedua hal itulah yang mengawali segala perbuatan dan gerakan sebagaimana benci dan rasa ketidaksukaan adalah asal/sebab yang mengawali seseorang untuk meninggalkan dan menahan diri dari sesuatu[1].
Ibnul Qoyyim rohimahullah menyebutkan bahwa dasar ibadah, kesempurnaan serta kelengkapannya adalah cinta. Karena itulah seorang hamba tidak boleh mempersekutukan Allah dengan kecintaan kepada selainNya[2]. Bahkan dua kalimat yang seseorang tidak akan masuk islam kecuali dengannya yaitu dua kalimat syahadat tidaklah sah jika seseorang yang mengucapkannya kecuali dengan rasa cinta[3]. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya), “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah (melebihi cinta orang musyrik kepada berhala mereka)” (QS. Al Baqoroh [2] : 165). Bahkan hakikat peribadatan adalah menghinakan diri dan tunduk kepada yang dicintai. Dengan kata lain yang dinamakan hamba adalah orang yang dihinakan oleh rasa cinta dan ketundukan kepada orang yang dicintai. Oleh karena itulah tingkatan yang paling mulia bagi seorang hamba adalah penghambaan kepada yang dicintainya. Lihatlah betapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut mahlukNya yang paling mulia dan paling dicintaiNya yaitu Rosulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam dengan sebutan hamba. Sebagaimana dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla (yang artinya), “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha” (QS. Al Isro’ [17] : 1)[4].
5 Cinta yang Harus Dibedakan
Terdapat 5 macam cinta yang harus dibedakan, sebab orang yang tidak membedakannya pasti akan tersesat kerenanya.
Mahabbatullah/cinta kepada Allah. Hal ini saja belum cukup untuk menyelamatkan seseorang dari adzab Allah dan mendapatkan pahalaNya. Sebab kaum musyrikin, penyembah salib dan yahudi juga mencintai Allah[5].
Mahabbatu maa yuhibbullah/mencintai perkara yang Allah cintai. Hal inilah yang memasukkan pelakunya ke dalam islam dan mengeluarkannya dari kekafiran.
Al Hubb lillah wa fillah/mencintai karena Allah dalam keta’atan kepadaNya. Hal ini merupakan konsekwensi dari mencintai perkara yang Allah cintai. Sungguh mencintai sesuatu tidaklah akan benar-benar terwujud kecuali dengan mencintai hal itu karena Allah dan dalam keta’atan kepadaNya.
Al Mahabbatu ma’allah/mencintai selain Allah bersama Allah. Ini adalah kecintaan orang-orang musyrik kepada Allah. Barangsiapa yang mencintai sesuatu bersama Allah bukan karena Allah, bukan sebagai sarana kepada kecintaan pada Allah dan bukan dalam keta’atan kepadaNya maka dia telah menjadikan sesuatu tersebut sebagai tandingan bagi Allah. Seperti inilah kecintaan kaum musyrikin.
Al Mahabbatu ath Thobi’iyah/cinta yang sejalan dengan tabi’at. Cinta ini bentuknya berupa kecenderungan seseorang terhadap perkara yang sesuai dengan tabi’atnya seperti seseorang yang haus mencintai air, seseorang suami dan ayah mencintai istri dan anak dan seterusnya. Kecintaan jenis ini tidaklah tercela selama kecintaan tersebut tidak melalaikan dari mengingat Allah (ibadah) dan menghambat kesibukan hamba dalam mencintai Allah. Semisal seorang yang karena cintanya kepada anaknya menyebabkan ia lalai dari sholat jama’ah karena bekerja untuk memberi nafkah anaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (QS. Al Munafiqun [63] : 9).[6] Jika demikian celaan Allah pada hal-hal yang mubah maka bagaimanakah celaan Allah terhadap kecintaan seseorang terhadap perkara yang haram semisal seorang pemuda yang mencintai pacarnya[7] apalagi jika kecintaan ini menghalanginya dari ibadah kepada Allah, semisal melalaikan sholat jama’ah. Maka tentulah celaan Allah untuk orang yang demikian bertumpuk-tumpuk banyaknya.
Makna Takut (Khouf)
Ibnu Qudamah rohimahullah mengatakan, “Rasa takut merupakan sebuah ungkapan dari rasa sedihnya hati disebabkan hal-hal yang dibenci yang akan terjadi pada masa yang akan datang, rasa ini berbanding lurus dengan sebab-sebabnya kuat dan akan melemah jika sebabnya melemah pula”[8]. Terdapat tiga jenis rasa takut:
Takut karena tabi’at, takut jenis ini semisal seseorang takut binatang buas, api, tenggelam dan lain sebagainya. Takut jenis ini tidaklah menyebabkan pemiliknya tercela. Jika takut jenis ini menjadi sebab seseorang meninggalkan yang hukumnya wajib atau melakukan perbuatan yang hukumnya haram maka takut jenis ini menjadi takut yang hukumnya haram.
Takut dalam rangka ibadah, misalnya seseorang takut kepada seseorang yang rasa takut tersebut bernilai ibadah kepadanya. Perasaan takut jenis ini hanya boleh kepada Allah semata. Barangsiapa yang menyekutukan Allah dalam jenis ketakutan yang semisal ini maka ia telah berbuat kesyirikan besar.
Takut sirr, yaitu perasaan takut yang tersembunyi. Misalnya seseorang takut kepada penghuni kubur dan yang semisal. Takut yang semisal ini digolongkan para ulama sebagai salah satu bentuk syirik[9].
Takut yang Bernilai Lebih dan Takut yang Tercela
Takut yang bernilai lebih adalah takut yang didasari ilmu, manusia yang paling takut kepada Allah adalah manusia yang paling mempunyai ilmu/kenal dengan Robbnya. Oleh karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Aku adalah orang yang paling mengetahui/kenal dengan Allah adan akulah orang yang paling takut kepada Allah diantara kalian (ummat beliau)[10]”.
Takut kepada Allah adalah dapat menjadi sebuah hal yang terpuji dan pada kedaan yang lain dapat saja tercela. Jika rasa takut tersebut melahirkan keterpalingan diri pemiliknya dari maksiat dalam artian rasa takut tersebut membawa pemiliknya untuk melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang haram maka rasa takut yang demikian merupakan rasa takut yang terpuji. Namun jika rasa takut tersebut menggiring pemiliknya kepada rasa putus asa dari rahmat Allah, patah semangat dan semakin terjerumus dalam kemaksiatan karena putus asa (dan meninggalkan amal ibadah) maka takut yang demikian adalah takut yang tercela[11].
Makna Rasa Harap (Roja’)
Ibnu Qudamah rohimahullah mengatakan, “Rasa tenang dalam penantian terhadap suatu perkara yang dicintai, namun hal ini akan terwujud dengan disertai adanya sebab yang mewujudkannya. Adapun jika tanpa adanya sebab maka hal ini bukanlah rasa harap akan tetapi sekedar angan-angan”[12]. Harapan mengandung dua unsur yaitu adanya perendahan diri (serendah-rendahnya) dan ketundukan (sepasrah-pasrahnya) kepada yang diharapkan. Maka harapan yang demikian hanya boleh diberikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga barangsiapa yang menyekutukan Allah pada harapan yang semisal ini maka ia telah terjatuh dalam kemusyrikan[13].
Rasa Harap yang Terpuji dan Tercela
Ketahuilah bahwa rasa harap terdiri dari dua jenis,
Rasa harap yang tepuji, semisal rasa harap terhadap pahala dari Allah ketika seseorang yang melaksanakan keta’atan kepada Allah di atas ilmu/cahaya Allah. Demikian juga rasa harap akan diterimanya taubat yang ada pada orang yang bertaubat dari perbuatan dosa.
Rasa harap yang tercela, semisal rasa harap akan diterimanya taubat dari sebuah dosa seseorang yang senantiasa melakukan dosa tersebut. Maka rasa harap yang demikian bukanlah rasa harap melainkan sebuah ketertipuan, angan-angan kosong dan rasa harap yang palsu[14].
Sebahagian orang keliru dalam menafsirkan sebuah hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Seseungguhnya Aku bersesuaian dengan persangkaan hambaku”[15]. Dalam riwayat yang lain, “Seseungguhnya Aku bersesuaian dengan persangkaan hambaku maka hendaklah ia berprasangka kepadaKu sebagaimana yang ia mau”[16]. Mereka menafsirkannya dengan berprasangka baik kepada Allah bahwa Allah akan mengampuni dosa mereka padahal mereka tetap dalam kemaksiatannya. Maka penafsiran demikian keliru sebagaimana lanjutan teks hadits yang hadits di atas, “Dan Aku akan bersamanya jika ia mengingatKu, jika dirinya mengingatKu maka Aku akan mengingatnya,…. jika ia mendekatkan dirinya (dengan keta’atan) kepadaKu sejauh sejengkal maka Akan mendekatkan diriKu padanya sehasta”[17]. Maka jelaslah yang dimaksud dengan bersesuaian dengan persangkaan hamba-hambaKu dalam hadits di atas adalah persangkaan akan adanya pahala dari Allah pada orang-orang yang beramal keta’atan kepadaNya. Hal yang tak jauh berbeda juga dikatakan Al Hasan Al Bashriy rohimahullah, “Sesunguhnya mukmin yang berbaik sangka kepada Robbnya adalah orang yang membaguskan amal keta’atannya. Sesungguhnya orang yang fajir adalah orang yang berburuk sangka kepada Robbnya maka ia akan beramal keburukan”[18].[Aditya Budiman]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.