Hidayatullah.com--Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia. Mereka dianugerahi akal agar digunakan untuk berfikir tentang segala hal, masalah ketuhanan, kehidupan, lingkungan, dan lain sebagainya.
“Afala tatadzakkarun, afala ta’qilu,” adalah di antara redaksi firman Allah, yang menganjurkan manusia untuk memfungsikan akalnya untuk berfikir. Karena demikian, tidak sedikit dari manusia harus berselisih antarsesama, karena perbedaan cara pandang dalam menela’ah suatu masalah.
Kullu ra’sin ra’yun (setiap kepala –manusia-- itu mempunya pendapat), demikianlah bunyi pribahasa bahasa Arab yang menggambarkan betapa manusia itu memiliki keberekaragaman pendapat dalam mengkaji sesuatu.
Dalam hidup bermasyarakat, manusia tidak bisa mengelak dari hal ini; di perkuliahan seorang dosen akan berdebat dengan mahasiswanya, presiden dengan bawahannya (lawan politik ataupun masyarakat biasa), penjual dengan pembeli, dan lain sebagainya.
Karena dorongan hawa nafsu (baca: ingin menang sendiri), maka, tidak sedikit kasus silang pendapat ini, justru menjadi awal perpecahan dan pertikaian. Debat tidak lagi bertujuan untuk memecahkan suatu masalah, tapi justru dijadikan ajang saling menyalahkan, menghina, mencemooh, dan lain-lain, yang ujungnya –terkadang-- berakhir dengan anarkis.
Sebagi gambaran, ‘drama’ kekacauan sidang paripurna kasus Century, yang ditayangkan secara live oleh beberapa TV swasta beberapa waktu lalu, adalah salah satu potret betapa perbedaan pendapat, bisa berakhir dengan mempertaruhkan martabat, bahkan nyawa sekalipun.
Itu baru sekelumit contoh debat yang berakhir dengan bad ending. Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain, yang pastinya tidak kalah seru.
Sejatinya perselisihan pendapat telah dimulai semenjak dahulu, sebelum manusia itu diciptakan. Ketika Allah menerangkan kepada para malaikat, bahwa Ia akan menyiptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi, mereka (para malaikat) ‘mendebat’-Nya, seraya mengajukan argumen mereka, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana (bumi), sedangkan kami senantiasa bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu? …” (Al-Baqarah 30).
Protes yang lebih keras keluar dari golongan iblis. Mereka tidak hanya menyatakan ketidaksenangan mereka terhadap hadirnya Adam, juga memperkeruh dengan menyombongkan diri karena alasan bahwa bahan penciptaan mereka (api) lebih mulia daripada Adam yang terbuat dari tanah.
Namun, setelah menyaksikan kebesaran kekuasaan Allah yang diperlihatkan melalui perantara Adam, maka malaikat pun tunduk terhadap kebenaran Allah. Adapun Iblis karena sifat iri, dengki yang menyelimuti, tetap membangkang, hingga dilaknat dan terusir dari surga.
Perselisihan pendapat, juga terjadi antara bapak manusia (Adam) dengan anaknya Qobil, ketika turun perintah, agar ia menikah dengan kembaran dari adiknya Habil, sedangkan Habil dipasangkan dengan kembarannya Qobil sendiri. Ia (Qobil) menolak perjodohan tersebut, dengan dalih kalau ia lebih pantas bersanding dengan kembarannya sendiri.
Meskipun demikian, bukan berarti setiap perbedaan itu harus berakhir dengan tragis. Allah dan Rasulullah-Nya telah mengajarkan kita, untuk berdialog dengan baik, ketika terjadi perselisihan pendapat, sehingga, dampak dari adu argumen tersebut, tidak harus berakhir dengan adu jotos.
Kemenangan yang mengagumkan oleh kaum muslimin atas orang-orang Quraisy (Fathul Mekah), tidak terlepas dari hasil dialog yang dilakukan oleh Nabi dengan utusan orang-orang Quraisy, Suhail bin Amru, dalam perjanjian perdamaian. Nabi tidak terprovokasi dengan syarat yang diajukan oleh Suhail, seperti, Muhammad Rasulullah diganti dengan Muhammad bin Abdillah, harus mengembalikan sanak keluarga orang-orang Quraisy yang kabur tanpa seizin ahlinya, untuk memeluk Islam, dan lain-lain. Dan benar saja, justru dengan cara ini, kaum muslimin bisa meraih kemenangan tanpa harus bersusah-payah menghunuskan pedang.
Singkatnya, perselisihan pendapat itu bisa dibilang sudah menjadi sunnatullah. Tugas kita, bagaimana meramunya agar tidak melebar menjadi perpecahan.
Jidal (debat)
Apa jadinya bila ada seseorang yang terkenal kealimannya, kejujurannya, amanahnya, tapi, pada suatu hari, masyarakat mengetahui bahwa orang tersebut talah melakukan penipuan? Sudah barang tentu, citranya akan rusak. Dan untuk mengembalikannya ke pada posisi semula, bukanlah perkara yang mudah, atau yang lebih ekstrim lagi, sangat tidak mungkin.
Hal itu juga berlaku dalam bermujadalah. Esensinya, tujuan yang ingin dicapai untuk mencari kebaikan. Namun, ketika proses dan akhirnya justru melahirkan kerusuhan, alih-alih akan mendatangkan manfaat, justru ini akan memperparah permasalahan. Dampaknya, tentu citra pribadi, lembaga, agama, dan negara akan tercoreng.
Kasus kericuhan di gedung DPR RI (kasus Century), secara tidak langsung telah mencemari nama baik lembaga tersebut di mata masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Dan yang lebih memalukan lagi, mayoritas dari mereka adalah muslim. Dan ini, tentu juga telah menjadi tamparan bagi umat Islam.
Sebab itu, perlu kiranya para peserta menjaga kode etik dalam bermujadalah (berdebat), demi melancarkan acara tersebut, sehingga melahirkan citra positif/baik di mata masing-masing peserta, lebih-lebih publik.
Adabul Mujadalah
Dalam bahasa Arab, perdebatan dikenal dengan istilah al-mujadalah. Kata al mujadalah seakar dengan kata al-jidal yang artinya perdebatan sengit. Pendapat lain mengartikannya dengan tali yang terikat kokoh. Dari sini, kata al-jidal mengandung arti debat yang dilakukan dengan cara yang baik dan didasari dalil yang kuat dan benar.
Dan untuk mewujudkan itu semua, berikut di antara etika yang perlu diperhatikan dan diterapkan dalam bermujadalah (debat) :
1. Meluruskan Niat
Meluruskan niat dalam bermujadalah sangatlah penting. Ketika niat kita benar-benar murni mengharap ridla Allah untuk mencari kebenaran, maka, keputusan apapun yang dihasilkan, kita akan berlapang dada menerimanya. Yang terpenting bagi kita adalah telah menyampaikan pendapat kita yang diyakini kebenarannya. Sifat memaksakan kehendak, dan mencela pendapat orang lain, akan terhindari, karena kita faham bahwa hal tersebut dilarang oleh Allah.
Dan akan sangat berbeda ketika unsur duniawi (ingin dipuji, terkenal, uang, dan lain-lain), yang melandasi mujadalah ini. Ia akan mati-matian mempertahankan pendapatnya, sekalipun kesalahan telah tampak di pelupuk mata. Oleh sebab itu, jagalah niat.
2. Jujur Kembali kepada Rujukan
Di antara yang menyebabkan sukarnya menemukan benang merah dalam berdebat, karena kedua belah pihak di dalam menyampaikan argumen, tidak berlandaskan rujukan. Argumen, “menurut saya”, justru menjadi penyebab dari kesia-siaan debat.
Dalam memilih rujukan, kita pun harus selektif. Jangan sampai orang yang kita jadikan sandaran, ternyata orang yang salah, atau secara ilmu, kurang memumpuni. Ingat, hujjah yang sedikit namun kuat, itu lebih baik daripada hujjah yang banyak, namun lemah dan terbantahkan.
3. Berpegang Teguh pada Kebenaran
Sangat mustahil untuk menghasilkan titik temu antarpeserta mujadalah, apabila di antara mereka ada yang menutup-nutupi kebenaran. Sebagai seorang muslim, pantang baginya untuk menyembunyikan kebenaran, meskipun hal tersebut berasal dari lawan kita. Kita harus gentle mengakui kekeliruan kita. Dengan ini, mujadalah akan berakhir dengan menghasilkan satu keputusan yang jelas.
Debat adalah perkara yang diperintahkan syariat untuk menyatakan yang haq dan membatalkan yang batil. Dalilnya antara lain adalah firman Allah swt berikut :
“Serulah (manusia) pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. (TQs. An-Nahl : 125)
4. Memperhatikan Diri
Memang pada hakekatnya, mujadalah yang kita lakukan bertujuan untuk mengoreksi pendapat orang lain, yang menurut kita –mungkin- kurang benar. Meskipun demikian, bukan berarti kita lepas diri untuk mengevaluasi pernyataan kita sendiri. Sebab, sekiranya dari hasil mujadalah itu lawan kita akhirnya berubah menjadi lebih baik, maka itu merupakan satu keuntungan baginya.
Dan untuk meminimalisir kesalahan kita, perlu kiranya kita mengoreksi segala macam pembicaraan, sikap dan segala hal yang berkaitan dengan mujadalah kita.
5. Sportivitas
Ibarat pertandingan sepak bola, kedua pihak tentu menginginkan satu sama lain, bermain secara sportif. Dan di antara bukti yang menunjukkan kesportivitasan tim, mereka menerima kekalahannya ketika kalah, dan mengakui keunggulan lawan atas tim mereka.
Begitu pula dalam hal bermujadalah. Ketidakmampuan menerima kekalahan secara apa adanya menunjukkan bahwa peserta mujadalah telah terjebak dalam tipu daya, yang jauh dari kondisi sesungguhnya.
6. Menghormati Pihak Lain
Secara fithrah, semua orang membutuhkan kehormatan. Marahnya akan meledak-ledak, ketika kehormatannya tersebut diacak-acak oleh seseorang. Lebih menyakitkan lagi, kalau hal itu dilakukan di depan umum. Bagi para peserta mujadalah, harus saling menghormati antarmereka, terkait apakah pendapatnya diterima oleh lawan, ataupun ditolaknya.
Namun, hal ini bukan berarti menuntut peserta untuk berkompromi murahan atau kemunafikan yang rendah, atau berbohong dengan menunjukkan sifat-sifat yang kurang patut. Tidak demikian. Pernyataannya harus tetap dengan perangai tegas namun etis. Dan ini akan menumbuhkan perasaan dan akhlak karimah, yang merupakan sifat-sifat terpuji. Pada gilirannya, hal itu akan meningkatkan kemampuannya dalam memuaskan pihak lain dan kemungkinan gagasannya didengar oleh orang lain akan lebih besar.
7. Senantiasa Memilih yang Lebih Baik
Pernyataan yang baik dengan diiringi perilaku dan sikap yang terpuji, akan memberikan stigma yang berbeda kepada pihak lawan debat kita, sekalipun, mereka (lawan kita) itu menunjukkan sikap yang berbeda.
8. Perbedaan Pendapat dan Kasih Sayang
Ada orang bijak yang mengatakan, “cukuplah perbedaan (pendapat) itu berada di otak (akal), tapi tidak merasuk ke hati”. Artinya, jangan sampai silang pendapat menjadi titik awal terperciknya api permusuhan, perpecahan, dan lain sebagainya.
Kita harus senantiasa menjaga hati, jangan sampai mujadalah yang fungsinya untuk mencari kemaslahaan (kebaikan), tapi justru berakhir dengan kemafsadatan (kerusakan).
9. Tidak Emosional
“Awwalul ghadhabi junuunun wa akhiruhu nadamu,” (permulaan marah adalah gila, dan akhirannya adalah penyesalan). Demikianlah peribahasa menggambarkan sifat emosi/marah. Orang yang dikuasi oleh emosi, tidak lagi menggunakan akal pikirannya dalam bertindak. Yang ada hanyalah nafsu, nafsu, dan nafsu. Adapun akal sehat itu tenggelam, terkendalikan oleh nafsu amarah, maka hilanglah kejernihan otaknya untuk menganalisa suatu permasalahan.
Dalam bermujadalah, hal ini harus dihindari. Alih-alih akan menghasilkan keputusan yang tepat, justru nantinya kerusakan yang lebih parah akan terjadi, ketika para peserta mujadalah berdebat dengan emosi.
10. Tidak Menampakkan Kurang Perhatian
“Hormatilah orang lain, maka orang lain pun akan menghormatimu”. Prinsip ini sangat perlu dipegang erat-erat oleh para peserta mujadalah. Jika seseorang terlihat kurang memberikan penghargaan, penghormatan dan perhatian pada orang lain, hal ini sama artinya bahwa ia tidak ingin dihargai atau diperhatikan orang lain.
Ketika proses mujadalah tidak berlandaskan hal ini, besar kemungkinan kericuhan akan terjadi. Sebab itu saling perhatian merupakan salah satu hal yang perlu tercipta dalam suasana mujadalah.
Demikianlah di antara prinsip-prinsip dalam mujadalah yang harus dimiliki oleh para peserta, sehingga, mujadalah yang dilakukan tersebut, benar-benar membawa kemaslahatan.
11. Tak Mendebatkan Al-Quran
Yang terpenting adalah, tidak ada yang memperdebatkan ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang kafir (QS Al-Ghafir : 44).
Berdebat tentang Al-Quran untuk menetapkan bahwa Al-Quran itu bukan mukzijat atau bukan berasal dari Allah, merupakan suatu kekufuran dan dianggap keluar dari Islam.
Rasulullah saw bersabda: “Berdebat tentang Al-Quran adalah kekufuran.” [HR. Ahmad dari Abu Hurairah). [Robin Sah/www.hidayatullah.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.