Kamis, 14 Oktober 2010

Yuk, Kita Berghibah Yang Halal!

Hidayatullah.com—Istilah ghibah pernah menjadi bahasan secara nasional beberapa tahun belakangan ini. Masalah ghibah mencuat dan menjadi pembahasan nasional tatkala dalam Munas Alim Ulama PBNU di Surabaya tahun 2006, PBNU memutuskan mengharamkan dan mengeluarkan fatwa haram terhadap tayangan infotainment Ghibah.

Tiga tahun sesudahnya, tepat bulan Desember 2009, istilah ini muncul kembali seiring kasus pertengkaran artis Luna Maya dengan wartawan infotaintmen. Bak gayung bersambut, berbagai pihak, khususnya umat Islam kembali menyoroti masalah ini hingga melahirkan pertemuan antara wakil PB NU dengan stakeholders infotainment, di Kantor PWI, Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih No. 34 Jakarta Pusat. Inti pertemuan adalah membahas kesepakatan untuk tidak memberitakan informasi yang bersifat ghibah.

***

Ghibah menurut bahasa adalah membicarakan orang lain tanpa sepengetahuannya baik isi pembicaraan itu disenanginya ataupun tidak disenanginya, kebaikan maupun keburukan. Secara definisi adalah seorang muslim membicarakan saudaranya sesama muslim tanpa sepengetahuannya tentang hal-hal keburukannya dan yang tidak disukainya, baik dengan tulisan maupun lisan, terang-terangan maupun sindiran. Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa nabi SAW pada suatu hari bersabda:

“Tahukah kalian apa itu ghibah? Jawab para sahabat : Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui. Maka kata nabi SAW: Engkau membicarakan saudaramu tentang apa yang tidak disukainya. Kata para sahabat: Bagaimana jika pada diri saudara kami itu benar ada hal yang dibicarakan itu? Jawab nabi SAW: Jika apa yang kamu bicarakan benar-benar ada padanya maka kamu telah meng-ghibah-nya, dan jika apa yang kamu bicarakan tidak ada padanya maka kamu telah membuat kedustaan atasnya.” {HR Muslim/2589, Abu Daud 4874, Tirmidzi 1935]

Ghibah sebagaimana disebutkan Imam An Nawawi, adalah menyebutkan sesuatu dari seseorang mengenai hal yang ia benci (jika orang lain membicarakannya), baik mengenai kondisi fisik, tingkah laku, harta, keluarga, pakaian, atau lainnya. (Al Adzkar, hal. 541). Hukumnya dalah haram, menurut kesepakatan ulama, bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa perbuatan ini termasuk dosa besar. [Al Futuhat, 6/376]

Akan tetapi, para ulama menilai bahwa ada beberapa keadaan dimana ghibah tidak dilarang. Yakni, jika dengan melakukannya kemaslahatan bakal tercapai, dan juga didasari dengan tujuan benar, serta tidak ada cara lain, kecuali dengan melakukan perbuatan itu.

Beberapa keadaan yang dibolehkan di dalamnya melakukan ghibah antara lain:

Melapor

Dibolehkan bagi pihak yang terdhalimi untuk melaporkan pihak yang mendhaliminya kepada penguasa atau wakilnya, yakni aparat, guna menghentikan perbuatan dhalimnya, dengan mengatakan,”si fulan mendhalimi saya” atau dengan ungkapan lain. Karena melaporkan kedhaliman, dibolehkan oleh syariat, maka kebolehan penyebutkan palaku kedzaliman tidak bisa dihindarkan.

Menghilangkan kemungkaran

Imam An Nawawi juga menyebutkan bahwa para ulama juga membolehkan ghibah jika bertujuan menghilangkan kemungkaran. Yakni dengan memberitahu keadaan pelaku kemungkaran kepada pihak yang mampu mencegah nya, misalnya dengan mengatakan, “Fulan melakukan demikian, maka cegahlah ia.”

Ini dibolehkan selama tujuannya menghilangkan kemungkaran, namun apabila ujuannya bukan itu, maka tetap dilarang.

Meminta fatwa

Dibolehkan juga melakukan ghibah, saat meminta fatwa jika masalahnya berhubungan langsung dengan yang dighibah, dengan mengatakan,”si fulan mendhalimi saya dengan ‘begini, begitu’ apakah ini dibolehkan?” Akan tetapi dalam hal ini.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW) pernah dimintai fatwa oleh Hindun, dimana ia mengeluhkan bahwa Abu Sufyan adalah suami yang pelit, hingga ia bertanya, apakah boleh mengambil sebagian dari hartanya? Sebagimana diriwatkan oleh Bukhari. Dan dalam hal ini Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW) tidak menegur Hindun.

Peringatan terhadap kaum Muslimin

Ghibah dibolehkan juga, dengan tujuan untuk memberi peringatan bagi pihak yang memiliki kepentingan dengan pihak yang dighibah. Misalkan, seorang laki-laki yang suka bermaksiat hendak mengkhitbah seorang wanita, maka tidak mengapa bagi kita memberitahu kepada si wanita mengenai sifat-sifat buruk laki-laki itu, agar mengetahui siapa sejatinya laki-laki yang hendak mengkhitbahnya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW) sendiri pernah mengatakan kepada Fathimah binti Qaish mengenai kondisi Muawiyah, yang hendak menikahinya,”Adapun Muwaiyah, dia adalah seorang laki-laki faqir…” (Riwayat Muslim)

Terang-terangan bermaksiat

Mengghibah dilarang demi untuk menutupi aib, sedangkan mereka yang terang-terangan berbuat maksiat, telah membuka aib mereka sendiri di depan umum, sehingga para ulama membolehkan melakukan ghibah terhadap para pelaku maksiat terang-terangan, mengenai apa yang mereka perbuat secara terang-terangan. Adapun maksiat yang mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi, tetap maka tidak boleh dikabarkan kepada orang lain, kecuali karena sebab-sebab di atas.

Julukan

Jika seseorang dikenal dengan julukan yang sudah populer dan ia sendiri menerima julukan itu, seperti si buta, si pincang, si bisu atau yang lainnya, maka dibolehkan juga menceritakan kepada orang lain tentangnya dengan julukan itu. [thoriq/www.hidayatullah.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.