Saudaraku kaum muslimin….
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (QS. Al-‘Asr: 1-3)
Keikhlasan dan kesabaran, dua hal yang mejadi pilar kesuksesan dakwah kemurnian. Kedua pilar ini harus terus ada, seiring dengan semangat dakwah yang ada. Keikhlasan yang tidak diiringi dengan kesabaran dipastikan akan jatuh kepada keputus asaan yang dapat mengakibatkan seseorang mengambil jalan pintas yang salah dalam meraih cita-citanya. Begitu juga kesabaran dalam berdakwah yang tidak diiringi dengan keikhlasan, akan menghasilkan sesuatu yang sia-sia belaka. Sebab Alloh Azza wa Jalla tidak akan menerima amal dakwah yang dihinggapi ketidak ikhlasan.
Sebagaimana yang diriwayatkandari Abu Hurairah Radhiallahu `anhu berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shllallahu `alaihi wa Sallam bersabda : Alloh Azza wa Jalla berfirman: "Aku adalah sekutu yang maha cukup, sangat menolak perbuatan syirik. Barangsiapa melakukan suatu amal dengan dicampuri perbuatan syirik kepada-ku, niscaya Aku tinggalkan dia dan tidak aku terima amal syiriknya". (HR.Muslim,2985)
Kesabaran dibutuhkan pada saat mencari ilmu, mangamalkan serta mendakwahkan ilmu tersebut. Berapa banyak aktifis dakwah yang tidak sabar dalam menuntut Ilmu, dengan alasan apa yang dipelajarinya masih terlalu dasar atau masih terlalu global dan lain sebagainya. Terlebih lagi jika ilmu tersebut terus diulang-ulang. Ia tergesa-gesa untuk mendapatkan ilmu yang lebih dalam dan rinci serta bukan ilmu pokok yang harus diketahui oleh semua orang. Akibatnya ilmu pokok dasar keislaman tidak dia dapatkan dengan sempurna, ilmu yang lebih rinci pun apalagi.
Ada satu kaidah yang mengatakan:“Barang siapa yang tergesa-gesa untuk memperoleh sesuatu sebelum waktunya, maka dipastikan dia tidak akan mendapatkan sesuatunya.”
Kita masih ingat kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidir yang terukir dalam al-Qur’an yang mulia.
Alloh Azza wa Jalla berfirman:. “Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun ….. sampai kepada ayat…..Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya (lihat ayat lengkapnya di QS. Al-Kahfi: 66 – 78)
Perhatikan! bagaimana akibat yang menimpa Nabi musa, karena tidak sabar dalam menuntut ilmu kepada Nabi Khidir, akhirnya beliau tidak mendapatkan ilmu yang sempurna. Dalam beramal pun dibutuhkan kesabaran, karena beramal sholih itu adalah sesuatu yang berat menurut jiwa manusia. Ujian yang berat ketika beramal akan berdatangan silih berganti. Lelah, penuh dengan pengorbanan; baik waktu, tenaga maupun harta dan jiwa sekalipun. Terlebih beramal dengan amalan yang murni di saat sebagian besar merasa asing dengan amalan tersebut. Sehingga amalan yang benar menjadi salah, sebaliknya amalan yang salah menjadi benar di mata mereka.
Begitulah hidup di tengah-tengah keterasingan. Benarlah apa yang disabdakan Nabi SAW dalan haditsnya yang mulia:
“Islam bermula dalam keadaan terasing, dan akan kembali terasing sebagaimana semula. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing” Begitu juga dalam dakwah, kesabaran sangat dituntut. Terlebih ketika berdakwah dalam satu amal jama’i yang terorganisir dan terpimpin. Akan banyak ujian yang akan menimpanya. Ketika berada dalam jama’ah dakwah, seorang aktifis dituntut untuk siap secara ikhlas dan sabar untuk mentaati pemimpin dalam hal kebaikan. Sabar di saat perintah atau keputusannya tidak selaras dengan pendapatnya. Sabar di saat prilaku sang pemimpin tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Selama pada manhaj yang benar, bersabarlah!. seorang aktifis juga dituntut untuk siap secara ikhlas dan sabar untuk ditugaskan di mana saja dan kapan saja. Jika ditugaskan dibarisan terdepan ia siap!, ditugaskan dibarisan belakang ia pun melaksanakan dengan sukarela. seorang aktifis harus siap secara ikhlas dan sabar naik ke satu posisi atau turun ke satu posisi. Hendaklah hal itu jangan sampai menimbulkan rasa sombong pada dirinya bila ia naik ke posisi yang lebih tinggi, dan menimbulkan rasa sempit dan kebencian di dada bila ia harus turun dari posisinya semula. Dalam dua kondisi ini ia bekerja secara ikhlas karena Allah demi meraih pahala dan ganjaran dari Alloh Azza wa Jalla .
Saudaraku kaum muslimin….
Dalam jama’ah dakwah yang selalu bergerak, perubahan akan selalu ada mengiringi perubahan realita atau kondisi yang ada. Seorang aktifis harus memiliki prasangka yang baik dengan adanya perubahan ini, perubahan ini hanyalah untuk mengarah kepada yang lebih baik. Tapi harus diingat! Yang kami maksud dari perubahan ini adalah perubahan pada sistem kerja atau formasi struktur. Bukan perubahan pada manhaj atau perubahan strategi yang mengakibatkan prinsip-prinsip dalam manhaj terabaikan!. Perubahan ini (pada sistem kerja/formasi struktur) tentu akan berdampak pada perubahan yang lainnya. Di mana akan banyak personil yang pindah dalam tugasnya. Di sinilah keikhlasan dan kesabaran dibutuhkan!.
Ikhlas dan sabar memang sulit untuk diterapkan pada kondisi tersebut, namun hal itu bukan berarti tidak bisa untuk dilakukan. Mungkin kita telah merasa betah dengan tugas yang diberikan sebelumnya dan boleh jadi sudah banyak jasa yang telah diperbuat, namun disinilah ujian keikhlasan dan kesabaran dakwah kita. Apakah dakwah kita untuk Alloh Azza wa Jalla atau untuk diri kita, (sekalipun membutuhkan proses pentarbiyahan yang panjang untuk mendewasakannya). Semoga Allah melimpahkan ridho-Nya kepada Khalid bin Walid ayang telah diturunkan dari kepemimpinannya dalam pasukan perang, padahal beliau adalah seorang panglima yang tiada tanding, lalu dengan penuh keikhlasan dan tanpa keraguan ataupun sakit hati ikut berjuang di bawah pimpinan Abu Ubaidaha. Orang-orang yang mukhlis yang mencari keridhoan Alloh Azza wa Jalla dalam dakwahnya, senantiasa melepaskan diri dari keuntungan dan kepentingan pribadi. Merekalah, merekalah yang layak menjadi pasukan dakwah, pengemban risalah dan pewaris para nabi. Merekalah yang mau menolong dakwah sekalipun mereka tidak berharta, tidak berkedudukan dan tidak terpandang di tengah masyarakat. Merekalah yang disebutkan dalam sebuah hadits yang mulia:
“Berapa banyak orang kusut yang ditolak di ambang-ambang pintu, namun seandainya dia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan memenuhinya. [HR. Muslim]
“Sesungguhnya Allah menolong umat ini hanya dengan orang-orang yang lemah di antara mereka, yaitu dengan dakwah, sholat dan Ikhlas mereka. [Shohihul Jami’ Ash-shoghir: no. 2388]
Alloh Azza wa Jalla pernah melarang Rosululloh SAW untuk meninggalkan mereka dan diperintahkan untuk bersabar bersama mereka. Alloh Azza wa Jalla berfirman: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Robbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28)
Benar, sesuatu yang seringkali menimpa dakwah Rabbani adalah keberadaan para penyusup yang mempergunakan dakwah itu sebagai jembatan untuk mendapatkan tujuan dan kerakusan mereka, sambil berpura-pura bertakwa, menggunakan kata-kata manis bak madu, semangat yang dibuat-buat dan sentuhan yang memikat, padahal batin mereka rusak, hati mereka penuh hawa nafsu.
Rosululloh SAW pernah bersabda: “Sengsaralah hamba dinar, hamba dirham dan hamba perut. Jika diberi dia ridho, jika tidak diberi dia murka. Sengsara dan hinalah dia. Jika terkena duri tidak mau mencabutnya. Beruntunglah, bagi hamba yang mengambil kendali kudanya di jalan Allah, yang kusut kepalanya dan yang berdebu kedua telapak kakinya. Jika kuda itu berada di posisi penjagaan, dia pun berada di posisi penjagaan. Dan jika kuda berada di barisan belakang, dia pun berada di barisan belakang. Jika meminta izin dia tidak diberi izin dan jika meminta syafaat dia tidak diberi syafaat. [HR. Bukhori]
Saudaraku kaum muslimin….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.