Selasa, 12 Oktober 2010

Memahami prinsip dasar Islam - Laa ilaaha ilallah (2)

Dalam mengenal dan mengimani nama dan sifat Allah harus dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Menetapkan semua itu dengan lafadz dan maknanya sekaligus. karena sebagian ahlul bid’ah dari kalangan ahlul kalam, mu’tazi-lah dan asy’ariyah dan sejenisnya meneri-ma lafadz-lafadznya tetapi menolak makna-nya dengan tahrif (penyimpangan makna-nya) atau tafwidh (tidak mau menerje-mahkannya secara dhahir dengan alasan menyerahkannya kepada Allah).

Tidak seperti ahlut tahrif, mereka menerima sifat يد (Tangan) bagi Allah tetapi mereka mengatakan bahwa يدmaknanya bukan ta-ngan tetapi kekuatan. Mereka menerima sifat غضب (marah) tetapi mereka mengatakan bahwa غضب maknanya bukan marah tetapi berkehendak untuk membalas. Dengan kata lain ahlul bid’ah tersebut menerima lafadznya tetapi menyimpangkan maknanya kepada makna-makna lain yang diistilahkan oleh Ibnu Taimiyah dengan “at-tahrif”.

Tidak pula seperti golongan ahlu tafwid yang tidak mau menterjemahkan makna dari lafadz-lafadz tersebut dan menyatakan bahwa Allah memiliki يد tapi kami tidak tahu mak-nanya; Allah memiliki sifat غضب. Tetapi kami tidak tahu maknanya, kami serahkan semua-nya kepada Allah. Dan mereka tidak mau mengartikan يد dengan tangan dan غضب de-ngan marah.

Pendapat mereka ini bertentangan de-ngan hikmah diturunkannya al-Qur’an de-ngan bahasa Arab, yaitu untuk dipahami maknanya sebagaimana Allah berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا [يوسف: 2]لَعَلَكُمْ تَعْقِلُوْنَ. …
Sesungguhnya Kami menurunkannya beru-pa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kalian memahaminya. (Yusuf: 2)

b. Kita menetapkan nama dan sifat Allah dengan yakin bahwa Allah tidak sama dengan makhluk-Nya.

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ. [الشورى: 11]
Tidak ada yang serupa dengan-Nya, dan Ia Maha Mendengar lagi maha Melihat. (asy-Syura: 11).

Maka kita harus meyakini Allah memiliki يد (tangan), tetapi tidak sama dengan tangan makhluk-Nya. Kita juga meyakini bahwa Allah mempunyai sifat غضب (marah), tetapi tidak sama dengan kemarahan makhluk-Nya.
Tidak seperti golongan lain dari ahlul bid’ah yaitu para mumatsilin yang mengata-kan bahwa Allah mempunyai tangan seperti kita dan memiliki sifat marah seperti kita marah. Maha suci Allah dari apa yang mereka katakan.

c. Tanpa menanyakan bagaimananya. Mene-tapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah seperti apa adanya di dalam al-Qur’an dan dalam hadits-hadits yang shahih tanpa menanyakan seperti apa atau bagaimana? Kita beriman dengan apa yang Allah beritakan kepada kita tentang diri-Nya dan kita tidak tahu apa yang tidak diberitakan kepada kita. Karena masalah ini adalah perkara ghaib yang tidak mungkin kita mengetahuinya kecuali sebatas apa yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Wahyu telah berhenti, Rasulullah I telah wafat, Islam telah sempurna. Maka siapakah yang akan menjawab pertanyaan kita tentang apa yang tidak diberitakan kepada kita oleh Allah dan Rasul-Nya?!!!

Pertanyaan كيْفَ. (seperti apa atau bagaimana) adalah pintu setan. Sedemikian berbahayanya pintu takyif sampai-sampai para ulama bersikap keras kepada mereka yang memiliki pikiran-pikiran usil dan kotor. Tercatat di antaranya Imam Malik bin Anas, pemilik Kitab Al-Muwatha’, menunjukan rasa marahnya saat seseorang bertanya –tepatnya mempertanyakan—bagaimana isti-wanya Allah di atas arsy-Nya. Beliau rahimahulllah menjawab:
اْلإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ، وَاْلإِيْمَانُ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ. وَمَا أَدْرَاكَ إِلاَّ ضَالاًّ وَأُمِرَ بِهِ أَنْ يُخْرَجَ مِنْ مَجْلِسِهِ.
al-Istiwa’ adalah bukan (kalimat) yang asing, kaifiyah (bagaimana istiwa’nya Allah)nya adalah tidak mungkin diketahui, beriman terhadapnya adalah wajib dan ber-tanya tentangnya adalah bid’ah. Tidaklah aku melihat engkau kecuali orang yang sesat. Kemudian diperintahkan agar ia dikeluarkan dari majlisnya.

Dengan demikian dalam beriman kepa-da nama-nama dan sifat-sifat Allah, kita ha-rus memenuhi syarat-syarat di atas yaitu:
1. Menerima lafadz dengan maknanya secara dhahir.
2. Tanpa tahrif (penyimpangan makna).
3. Tanpa ta’thil (penolakan sebagian maupun keseluruhan).
4. Tanpa tafwidh (tidak mau menerjemah-kannya secara dhahir dengan alasan me-nyerahkannya kepada Allah).
5. Tanpa tasybih atau tamtsil, yaitu tidak me-nyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
6. Tanpa Takyif, yaitu tidak menanyakan se-perti apa dan bagaimananya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.